Friday, February 23, 2018

MENGUJI NYALI MENITI TEBING DOA PUNCAK TIMUR GUNUNG MANGLAYANG


Gunung Manglayang yang terletak di sebelah timur kota Bandung menawarkan pesona wisata yang patut untuk kita nikmati sensasinya. Selain bumi perkemahan Kiara Payung yang sudah sangat terkenal, gunung ini juga memiliki obyek wisata yang tidak kalah menarik seperti kawasan wana wisata Batukuda. Buper Batukuda ada dalam wilayah Perum Perhutani KPH Bandung utara BKPH Manglayang barat, berada di Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung.
 
Puncak Prisma & puncak utama Manglayang


Di kawasan wanawisata Batukuda para wisatawan bisa melakukan beragam kegiatan outdoor seperti hiking, camping, dan bersepeda. Kawasan yang sejuk di tengah hutan pinus memungkinkan kita juga untuk membawa serta keluarga menikmati alam gunung Manglayang. Posisi Batukuda di ketinggian 1150 mdpl juga menjadi destinasi para goweser untuk mengunjunginya, jarak tempuh 6 km dari jl raya Cibiru dengan elevasi sekitar 400 m cukup menarik untuk ditaklukkan para goweser pecinta uphill. Para pencinta hiking dan mendaki gunung pun turut dimanjakan, beberapa jalur pendakian menuju puncak gunung Manglayang dengan beragam karakteristik jalur tersedia untuk memuaskan para penjelajah yang ingin menjejakkan kaki di salah satu titik tertinggi di timur Bandung ini.

Buper Batukuda

Secara umum pendakian menuju puncak Manglayang (1824 mdpl) bisa dilalui melalui 2 jalur, yaitu Batukuda di Cibiru Wetan dan Barubeureum yang terletak di sekitar Buper Kiarapayung Jatinangor, namun di luar itu para pendaki terkadang ada juga yang mencoba menggapai puncak Manglayang melalui Palintang, atau curug Cilengkrang. Di Batukuda sendiri sejatinya terdapat dua jalur menuju puncak, yaitu melalui jalur normal/ reguler dengan menyusuri punggungan di sebelah barat buper Batukuda namun pada kenyataannya banyak juga pendaki yang mencoba melalui jalur di sebelah timurnya yang dikenal dengan “jalur tebing doa”. Mengapa dinamakan Tebing Doa? karena di jalur tersebut kita harus melintasi tebing dengan kemiringan lebih dari 60˚ dan kanan kirinya diapit jurang yang cukup dalam, ketika melintasinya seketika muncul rasa takut akan terjatuh atau sebagainya sehingga kita tidak lepas berdoa sepanjang tebing ini, mengharap keselamatan.
 
Tebing doa


Sebenarnya jalur Tebing Doa bisa dilewati dengan aman apabila kita melengkapi diri dengan peralatan memanjat seperti kernmantel, harness, figure-8, dan carabiner, karena disana sebenarnya sudah tersedia anchor untuk menambatkan tali, dengan peralatan memanjat lengkap dan didampingi oleh teman yang sudah ahli dalam hal artificial climbing justru membuat pendakian melewati jalur ini menjadi mengasyikkan dan menawarkan sensasi tersendiri yang tidak akan didapatkan apabila kita melalui jalur reguler. Saya mendapatkan kesempatan yang sangat langka untuk bisa menggapai puncak Manglayang melalui Tebing Doa ini bersama beberapa teman dengan peralatan climbing standar dan dua teman yang sudah sangat faham teknik artifisial climbing.

Titik start buper Batukuda


Dari lokasi parkir Batukuda, jarak menuju Tebing Doa sekitar 1.5 km menanjak dengan elevasi sekitar 350 meter, lepas dari lokasi bumi perkemahan kondisi  jalur pendakian berubah menjadi ladang – ladang petani di kemiringan lereng, semakin ke atas ladang pun berganti menjadi semak ilalang dan pepohonan bambu, dan lembah di kiri kanan jalur mulai terlihat semakin dalam. Terlihat di kejauhan beberapa tenda berdiri di puncak bukit Papanggungan, salah satu spot  untuk menikmati sunrise menarik yang ada kawasan gunung Manglayang ini selain di spot puncak timur. Pemandangan yang tersaji di sepanjang jalur pendakian cukup membuat mata segar, hamparan pemandangan Bandung selatan terlihat jelas, di kiri kanan lembah yang dalam dipenuhi pepohonan lebat, mereka inilah yang akan selalu menjamin ketersediaan air di kawasan Bandung Timur dan sekitarnya. Setelah 1,5 jam perjalanan tibalah kami di spot Tebing Doa, jalur pendakian seperti buntu dan berakhir di sebuah tebing setinggi sekitar 10m, tegak berdiri dengan kemiringan lebih dari  60ยบ, namun sebenarnya di tebing pertama ini terdapat “chicken way”, yaitu jalur setapak di sebelah barat tebing yang langsung menuju puncak tebing.




Beberapa teman yang memang ingin mencoba mencicipi tebing ini segera mengeluarkan peralatan pemanjatan dan mempersiapkan diri untuk melakukan pemanjatan. Beruntung sudah ada beberapa anchor yang sudah dipasang oleh para pemanjat sebelumnya sehingga memudahkan teman – teman kami untuk memanjat tebing ini, ada 3 orang teman yang melewati tebing ini, sedangkan saya dan 5 orang teman lainnya memilih untuk melewati jalur di sebelah barat dan menunggu teman – teman yang tengah berupaya melewati tebing ini. Sambil menunggu saya melemparkan pandangan ke arah selatan, pemandangan semakin indah tersaji di sini, namun sayang tidak lama kemudian kabut datang menutupinya. Hampir 45 menit teman – kami menaikinya, dan pukul 12 kami semua sudah berada di atas tebing pertama, ini belum habis karena tebing kedua sudah menghadang, dan di sini sudah tidak ada lagi “chicken way” sehingga mau tidak mau kami semua harus menaiki tebing yang kedua ini.


Leader kami sedang melakukan persiapan pemanjatan




Tebing yang kedua ketinggiannya hampir sama namun tingkat kemiringan tidak seekstrem tebing pertama, hanya saja walau tidak semiring tebing pertama, tebing kedua ini hampir tidak memiliki tonjolan batu untuk pegangan atau pijakan, khususnya untuk kami yang sangat awam akan dunia climbing. Teman kami yang sudah faham teknik pemanjatan kemudian menjadi orang pertama yang menaiki tebing ini sekaligus memasang tali pengaman di sepanjang tebing, dan ternyata di tebing kedua inipun sudah terdapat anchor sehingga memudahkan untuk memasang tali.




Setelah semua terpasang sempurna dan aman, satu persatu kami menaiki tebing ini, dengan instruksi yang diberikan kami semua merayap, dan dengan peralatan yang selengkap ini memang mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi kami khususnya yang awam sehingga kami dengan percaya diri mampu melewati tebing kedua, memakan waktu satu jam untuk kami semua bisa melewati tebing kedua ini, setelah semua berada di atas perjalanan pun dilanjutkan. Uji nyalinya sudah berakhir di sini? Ternyata belum, selepas tebing kedua kami harus berjalan di jalur setapak menanjak selebar kurang dari 75cm, ditambah hamparan bebatuan lepas membuat kami gemetaran ketika melewatinya, di sisi kiri dan kanan jurang menganga dengan kedalaman lebih dari 100 m. dan akhirnya tepat pukul 13.30 akhirnya kami semua tiba di puncak timur gunung Manglayang atau yang dikenal juga dengan Puncak Prisma (1660 mdpl).





Di Puncak Prisma kami beristirahat sekaligus mengisi perut yang sejak tadi minta diisi, hampir 1 jam kami menghabiskan waktu di sini, dan tepat pukul 15.00 kami segera berkemas dan bersiap pulang dengan melalui jalur Batukuda, dan untuk mencapai jalur Batukuda kami terlebih dahulu harus mencapai puncak utama Manglayang (1824 mdpl). Satu persatu kami mulai meninggalkan puncak timur menuju puncak utama, dan mulai melangkah pelan meyusuri jalur menanjak curam, jarak dari puncak timur ke puncak utama sekitar 700 m dengan elevasi ±200 m. pukul 15.45 kami semua tiba di puncak Manglayang, beristirahat sejenak melemaskan otot. 


Foto keluarga di puncak prisma berlatar kabut

Tracklog & elevation profile

Hari mulai mendung, tak lama beristirahat kami segera beranjak turun menuju Batukuda, saya berada di posisi terdepan dan turun agak buru – buru berhubung saya ada rencana lain yang harus diselesaikan hari itu. Hanya berhenti sejenak untuk mengenakan jas hujan melanjutkan perjalanan turun sendirian, tepat pukul 17.00 saya tiba di buper Batukuda, segera membersihkan diri, menyantap makanan ringan sambil menunggu teman – teman yang lain. 20 menit berselang 2 orang teman sampai di Batukuda, saya segera pamit dan langsung meluncur ke Bandung yang semakin beranjak senja.


*foto-foto diambil dari koleksi team "Ayo Nanjak" Bandung


Wednesday, February 21, 2018

TREK UPHILL CANGKRING – GENTONG , TREK EKSOTIS YANG TERSEMBUNYI DI PERBUKITAN BALEENDAH


Setelah sekian lama berkutat dengan trek – trek bersepeda Bandung Selatan yang berada di seputaran Soreang dan Pangalengan, saya seakan melupakan potensi jalur bersepeda lainnya yang masih banyak terdapat di Bandung Selatan. Salah satu trek bersepeda yang cukup menarik untuk dikunjungi adalah trek Cangkring  - Gentong  yang berada di daerah Jelekong, sekitar 5 km arah timur Dayeuhkolot, di jalan raya Laswi/ Baleendah – Ciparay. Trek ini kalah terkenal dibandingkan dengan trek Ciparay – Situ Cisanti, Pangalengan atau Monteng – Kamojang yang sudah melegenda di kalangan goweser. Tapi dengan ketidakterkenalannya bukan berarti trek Cangkring ini tidak cukup menantang, trek ini saya yakin bisa memuaskan hasrat para goweser pecinta uphill, meskipun secara level memang trek ini tidak bisa dibandingkan dengan trek – trek legendaris tadi, tapi saya kira trek ini layak juga untuk dimasukkan dalam list jalur gowes di seputaran Bandung. Level tanjakannya berada di antara Warung Bandrek Bandung Utara dan Kiara Payung di kawasan timur Bandung. Tidak begitu berat memang, tapi tetap layak juga untuk dimasukkan ke dalam agenda para goweser uphill,  atau bagi para goweser Bandung Selatan dan sekitarnya yang sudah merasa bosan atau merasa kejauhan bila harus menjajal trek di utara atau timur Bandung.


Seperti halnya trek Warung Bandrek, Caringin Tilu, Palintang, Batukuda atau Kiara Payung, trek Cangkring  inipun bisa ditempuh dalam waktu yang tidak begitu lama, hanya dengan 4 – 5 jam kita sudah bisa menjelajahi trek ini. Satu kelebihan dari trek ini adalah akses menuju lokasi yang tidak begitu ramai, berbeda dengan kalau kita ingin bersepeda di kawasan yang tadi saya sebutkan di atas. Pun ketika kita bersepeda di treknya, treknya relatif sepi sehingga kita bisa menikmati setiap gowesan kita. Titik start trek ini ada di tiga titik di sepanjang jalan raya Laswi/ Baleendah – Ciparay, yaitu jalan desa Jelekong, jalan Cangkring  dan yang terakhir adalah jalan TPA (tempat pembuangan akhir) Cangkring yang berada sekitar 1 km arah timur Jelekong. Jalur Jelekong  menyatu dengan Cangkring di sebuah pertigaan tepat sebelum jalan menanjak menuju Gentong, tepatnya di depan TPU Cangkring, dan akan menyatu dengan jalur TPA di sebuah persimpangan di kampung Gentong  (±930 mdpl) yang merupakan titik tertinggi dari trek ini.

Terdapat 2 pilihan variasi trek yang ditawarkan jalur ini. Bagi goweser yang ingin mengayuh sepeda dengan santai, sambil menikmati suasana dan pemandangan sekitar, menikmati setiap kayuhan menyusuri tanjakan – tanjakan yang tidak begitu curam dan beraspal mulus, jalur TPA Cangkring  bisa dijadikan pilihan, plus kita bisa mendapatkan “bonus” dengan mengunjungi Curug Cangkring  yang lokasinya berada di tengah – tengah perjalanan menuju Gentong . Sedang bagi goweser yang lebih memilih trek yang lebih menantang dengan tanjakan yang lebih curam ditambah kondisi jalan yang tidak begitu bagus bisa mengambil titik start dari pertigaan Cangkring  atau Jelekong . 

Untuk trip kali ini saya memilih untuk gowes menyusuri jalur TPA dan pulang ke jalur Jelekong, keseluruhan trip ini dari kediaman saya di Margahayu Raya sampai finish kembali ke rumah memakan waktu sekitar 4 jam, cukup singkat, sangat cocok bagi para goweser yang memiliki waktu gowes yang sempit. Sebenarnya dari pertigaan Gentong, perjalanan masih bisa dilanjutkan menuju Arjasari, dan dari sana bisa mengambil finish di Banjaran atau Ciparay. Dari pertigaan Jelekong, di dekat Padepokan wayang Giriharja, sepeda diarahkan menuju timur sekitar 1 km, ke arah pertigaan jalan TPA Cangkring, kemudian belok ke kanan, dan dari sana kemudian sepeda pun mulai menapaki jalan TPA Cangkring. Di awal perjalanan saya belum menemui tanjakan – tanjakan, jalur masih datar, lumayan untuk sekedar pemanasan dan mempersiapkan tubuh kita untuk menghadapi tanjakan di depan sana. Setelah 5 menit gowes, selepas Tugu Selamat Datang di kampung Cilayung barulah saya bertemu dengan satu tanjakan lumayan panjang, namun masih cukup landai. Tanjakan ini berujung di pertigaan menuju Pengolahan Sampah TPA Cangkring , tanjakan selamat datang ini cukup membuat dengkul menjadi panas, keringat mulai bercucuran dan nafas menjadi sedikit lebih cepat. Tiba di ujung tanjakan, saya berhenti sejenak sambil menunggu teman yang masih berjibaku di tanjakan pertama tadi, di depan sana terlihat 1 lagi tanjakan landai tapi cukup panjang, bagus untuk melatih ritme putaran kayuhan (cadence) dan melatih daya tahan/ endurance bersepeda kita. Membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan gowesan santai untuk mencapai ujung tanjakan ini, dan di ujung tanjakan sambil beristirahat kita bisa melemparkan pandangan kita ke arah utara, menyaksikan hamparan persawahan dan bangunan – bangunan terhampar. 


View kota Bandung dari ujung tanjakan TPA

Sekitar 50 meter selepas tanjakan ini bertemulah saya dengan sebuah persimpangan, lurus menuju Gentong, ke kiri menuju komplek perumahan Delima Indah dan ke kanan akan membawa kita menuju Curug Cangkring , sayang rasanya bila gowes ke sini tanpa mengunjunginya, akhirnya saya membawa sepeda berbelok ke kanan menuju jalan menurun menuju Curug Cangkring. Tidak terlalu jauh ternyata untuk menuju ke lokasi curug, sekitar 100 m dari persimpangan jalan TPA, kemudian kita berbelok ke sebuah gang di kanan jalan yang berada tepat di samping sebuah warung. Kondisi jalan berubah menjadi singel trek menurun (sebuah kondisi yang khas/ tipikal apabila kita akan mengunjungi sebuah curug, kita akan selalu menemui turunan – turunan untuk tiba di lokasi curugnya). Dan setelah sekitar 25 m berjalan, sepeda sudah tidak mungkin lagi untuk dibawa, akhirnya sepeda disimpan di satu tempat yang posisinya berada tepat di atas curug, dan kita masih harus menuruni lagi singel trek ini untuk mencapai curugnya. Sekitar 15 meter saya dan teman berjalan menuruninya, akhirnya sampai juga kami di Curug Cangkring  (796 mdpl). Curugnya lumayan tinggi, sekitar 15 m dan terdiri dari 2 buah curug, sekarang kami berada di depan curug pertama, dan curug yang kedua berada di bawah kami. Sayang saat itu debit airnya sangat sedikit, jadi lebih terlihat sebagai sebuah tebing saja. 15 menit kami habiskan waktu untuk beristirahat dan menikmati suasana curug, dan kami pun kembali menuju tempat sepeda tersimpan dan kembali menuju jalan TPA.



Curug Cangkring


Sampai di persimpangan jalan TPA – Curug Cangkring , sepeda kemudian saya arahkan ke selatan menuju Gentong. Kondisi jalan masih beraspal mulus sampai di mulut komplek perumahan Bukit Griya Indah, barulah selepas komplek perumahan tersebut jalan hotmix berubah menjadi aspal curah, dan mulai dari sini juga tanjakan menjadi lebih curam. Dari titik ini jalur sudah mulai mengarah ke barat, berarti tidak lama lagi saya akan sampai ke pertigaan Gentong. Tapi setelah sekitar 10 menit kita mengayuh pedal, di sepanjang kampung Panyawian, kampung terakhir sebelum menuju perempatan Gentong, jalan aspal kondisinya semakin buruk dan di beberapa titik tertutup tanah merah longsoran dari tebing di sekitarnya dan dari limpasan parit – parit yang membawa material tanah merah membuat jalan menjadi licin, apalagi pada malam sebelumnya daerah selatan diguyur hujan yang cukup lebat, sulit mengayuh sepeda di jalan yang licin seperti ini. Dan di satu tanjakan terakhir saya menyerah dan memutuskan untuk TTB saja, ban belakang yang sudah sedikit gundul membuat roda belakang kehilangan traksi dan selalu selip ketika pedal dikayuh. 






Di ujung tanjakan yang berada di sebuah punggungan, kami beristirahat sambil menikmati pemandangan ke arah utara. Sayang saat itu cuaca sedikit berkabut sehingga pandangan tidak bisa lepas menikmati seluruh kota Bandung dan jejeran pegunungan di sebelah utara. Di sini aspal sudah hampir seluruhnya hilang, yang tersisa hanyalah jalan makadam berhias tanah merah, di sini terdapat juga pertigaan yang menuju kampung Rancakole kecamatan Ciparay, trek berikutnya yang harus saya datangi. Dan setelah sepeda melaju sekitar 50 meter mengarah ke barat melalui jalan yang hancur itulah kami akhirnya sampai di persimpangan Gentong - Cangkring  (930 mdpl), di sana terdapat juga sebuah warung, kita bisa beristirahat sambil menikmati cemilan tradisional seperti gorengan dan lontong, cukup untuk mengganjal perut sebelum kita melanjutkan perjalanan pulang. 


View kota Bandung dari titik tertinggi jalur ini

Perempatan Gentong

Persimpangan ini adalah titik tertinggi dari trek uphill Cangkring  – Jelekong, arah timur adalah arah TPA arah yang tadi saya tempuh, arah barat menuju kampung Cipeuteuy – balai desa Pinggirsari dan tembus ke jalan raya Arjasari - Banjaran. Ke arah utara menuju ke kampung Jelekong kemudian menuju jalan raya Laswi, sedangkan ke arah selatan menuju jalan raya Arjasari – Ciparay. Bagi yang masih ingin melanjutkan acara gowesnya bisa mengambil arah ke selatan atau ke barat yang keduanya akan menuju jalan raya Ciparay – Arjasari – Banjaran. Sedang bagi yang ingin menyudahi acara gowesnya bisa mengambil arah utara yang akan membawa kita menuju jalan Laswi/ Baleendah – Ciparay dengan melewati desa Jelekong, daerah tempat lahirnya maestro wayang golek Giriharja, Ki dalang Asep Sunandar Sunarya. Dan di sepanjang jalan desa Jelekong  yang juga merupakan daerah sentra lukisan, sambil gowes kita bisa menyaksikan deretan workshop – workshop lukisan, mungkin ada yang menarik minat kita dan ingin membelinya sekedar untuk buah tangan dari daerah Jelekong  ini, dan jalan desa Jelekong  berakhir di jalan raya Laswi tepat di samping padepokan wayang Giriharja. 

Sedikit saran dari saya, bagi goweser yang ingin mencari trek yang lebih menantang, anda bisa mengambil titik start dari jalan Cangkring , belokannya ada di sebelum pertigaan jalan TPA.  Dari sini tanjakan yang ditemui lebih berat dan curam, meskipun jarak tempuh menuju pertigaan Gentong  lebih dekat dibandingkan dengan jalur TPA. Sedangkan bagi anda yang ingin menggowes sepeda dengan santai sambil refreshing, tanpa harus dikejutkan dengan tanjakan – tanjakan curam, jalur TPA adalah jalur yang cocok bagi anda. Sedangkan untuk pilihan jalur pulang bisa menempuh jalur – jalur yang sudah tadi saya sebutkan di atas. Selamat gowes…..  



Tuesday, February 20, 2018

HAL – HAL YANG PENTING DIPERHATIKAN SEBELUM BERSEPEDA XC

Aktifitas bersepeda seperti juga olahraga luar ruang lainnya tentu saja memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan ketika kita akan melakukannya, khususnya yang berkategori XC atau lebih yang akan membawa kita menjelajahi alam dengan segala karakteristiknya, seperti berbagai kondisi jalur yang dihadapi (makadam, singel trek, dsb) ataupun kondisi alamnya itu sendiri yang seperti faktor cuaca. Persiapan yang kita lakukan sebelum kita melakukan aktifitas bersepeda dengan kategori XC atau lebih tidak cukup hanya mengandalkan fisik dan mental saja, tetapi perlengkapan lain yang berhubungan dengan sepeda kita seperti part sepeda cadangan, toolset portabel, atau yang berhubungan dengan fisik kita seperti makanan, minuman, dan yang kita kenakan saat kita bersepeda seperti sarung tangan/ glove, sepatu, kacamata/ google, jas hujan dan body protector. Semuanya dipersiapkan agar kita mendapatkan kenyamanan sekaligus keamanan saat kita menjelajah alam dengan sepeda kita.



Pertama yang akan kita bahas adalah yang berhubungan dengan sepeda sebagai tunggangan kita, resikonya akan fatal bila diabaikan. Yang wajib kita bawa diantaranya adalah :

  1. Ban dalam cadangan dan pompa portabel. Kita tidak akan pernah tahu kapan ban kita tiba-tiba kempes, adakalanya ketika di jalur offroad yang rentan membuat ban bocor ban kita baik-baik saja, tapi ketika dalam perjalanan pulang, di jalan mulus pula, ban tiba-tiba kempes. Atau kita mengalami snake bite yang sering terjadi ketika melalui jalur offroad khususnya jalur yang berbatu atau makadam. Snake bite terjadi ketika ban menginjak batu yang agak tajam atau meruncing dan mengakibatkan ban dalam sepeda bocor dengan bentuk bocoran 2 lubang yang mirip dengan bekas gigitan ular. Ketika hal tersebut terjadi, kita bisa langsung mengganti ban dalam dengan cadangannya dan dapat kembali melanjutkan perjalanan, tanpa harus panik mencari alat penambal ban atau pun tukang tambal ban yang belum tentu ada di jalur yang kita lalui. 
  2. Hanger/ anting RD (Rear derailleur). Ketika kita bersepeda menembus semak-semak atau di jalur yang banyak terdapat potongan ranting atau dahan seperti saat bersepeda di kebun teh, atau ketika kita bersepeda di jalur tanah merah basah dan berlumpur adakalanya ranting, dahan atau lumpur tersebut tiba-tiba masuk dan terbawa roda kita kemudian mengunci RD, sehingga ketika kita tanpa sadar mengayuh sepeda, RD tersebut akan tertarik ke atas dan otomatis akan membengkokkan atau mematahkan hanger yang menjadi adaptor RD ke frame sepeda kita. Bahkan dalam beberapa kasus hal tersebut dapat membuat RD rontok. Memang apabila kita masih cukup beruntung hanger yang bengkok masih bisa diluruskan lagi meskipun cukup sulit mengingat hanger terbuat dari bahan logam yang cukup kuat, dan kalaupun bisa kembali lurus biasanya kerap terjadi masalah dalam proses shifting/ perpindahan giginya. Apabila sudah tidak dapat diperbaiki lagi maka pilihan terakhirnya adalah membuat sepeda kita menjadi single speed dengan mematikan atau mencopot RD dan menempatkan rantai pada satu gigi saja. Konsekuensinya adalah stamina akan cepat terkuras karena kita harus melanjutkan sisa perjalanan dengan hanya menggunakan 1 speed saja. Untuk menghindari hal tersebut terjadi maka sangat penting untuk membawa hanger RD cadangan, bahkan untuk perjalanan yang bermedan berat dan memakan waktu lama disarankan juga untuk membawa RD cadangan.
  3. Pin dan mata rantai cadangan. Setelah kita menempuh jalur basah dan berlumpur biasanya rantai mengering dan terasa menegang sehingga rawan putus. Atau proses perpindahan gigi yang tidak tepat dan kasar ketika kita memindahkan speed terutama pada saat menanjak bisa juga mengakibatkan rantai putus. Bila dalam perjalanan rantai kita putus maka pin dan mata rantai cadangan akan sangat membantu kita.
  4. Brakepad atau kanvas rem, ketika menempuh jalur terutama jalur basah atau berlumpur atau bersepeda di tengah hujan, aktifitas pengereman dalam kondisi basah membuat brakepad kita akan cepat habis. Lumpur atau pasir halus yang menempel di rotor atau rims seakan menjadi ampelas yang akan menggerus brakepad kita. Kita tentu tidak mengharapkan brakepad habis ketika kita masih di tengah perjalanan, oleh karenanya cukup bijaksana apabila kita membawa brakepad cadangan. 
  5. Senter sepeda, persiapan kalau-kalu kita kemalaman di perjalanan. 
  6. Toolset portabel akan berguna kalau ada part sepeda yang longgar, rusak atau perlu diganti di tengah perjalanan.
  7. Pisau lipat, terlihat seperti mengada-ada melengkapi diri dengan pisau lipat ketika bersepeda. Tapi kita tidak pernah bisa memprediksi hal-hal darurat yang mungkin terjadi dan pada saat itu terjadi pisau bisa menjadi penolong kita. Cukup bijaksana bila kita membawanya ketika kita bersepeda.

RD yang rusak terkena hantaman kayu

Proses penggantian ban dalam yg bocor oleh ban dalam cadangan

Yang kedua yang perlu diperhatikan adalah perlengkapan yang berhubungan dengan diri kita sebagai pengendaranya, hal itu adalah : 

  1. Helm sepeda, ini adalah yang paling utama, karena berhubungan langsung dengan keselamatan kita ketika bersepeda.
  2. Kacamata/ google, sangat berguna pada saat sepeda kita menembus semak belukar, kita dapat berkonsentrasi pada jalur yang kita lalui tanpa khawatir mata kita terkena semak-semak atau ranting pohon yang melintang karena mata sudah terlindungi kacamata/ google. Atau pada saat kita terjatuh, kita tidak dapat mengontrol posisi jatuh, setidaknya mata kita sudah terlindungi oleh kacamata yang kita pakai dari kemungkinan terkena atau tergores sesuatu.
  3. Sarung tangan/ glove, fungsinya melindungi jari-jari kita ketika menembus semak belukar. Penggunaan sarung tangan yang model half atau full finger bisa disesuaikan dengan kondisi jalur yang dihadapi. Apabila jalur yang dihadapi banyak melalui semak belukar, ada baiknya kita memakai sarung tangan full finger sehingga dapat lebih maksimal melindungi jari-jari kita dari kemungkinan terkena duri atau ranting-ranting. Disarankan juga untuk memakai pakaian tangan panjang untuk menghindari tangan kita tergores sesuatu. 
  4. Sepatu, ketika kita melalui jalur offoad, akan lebih nyaman dan aman bila kita mengenakan sepatu dibandingkan dengan apabila kita memakai sandal gunung sekalipun.
  5. Body protector, biasanya terdiri dari pelindung siku, dengkul dan tulang kering akan sangat melindungi kita dari kemungkinan cedera ketika kita bersepeda di jalur menurun, atau juga menjadi pelindung tangan dan kaki kita ketika kita menembus semak-semak.
  6. Jas hujan, ketika bersepeda di musim hujan atau di musim yang tidak menentu dan cuaca yang susah untuk diprediksi seperti saat ini, kita sebaiknya tidak meninggalkan jas hujan ketika bersepeda. Dan jas hujan bisa berfungsi juga sebagai penangkal angin atau dingin ketika kita harus melanjutkan perjalanan di malam hari, terutama ketika melalui jalur menurun.
  7. Makanan dan minuman. Tubuh kita membutuhkan pasokan energi dan air yang cukup ketika bersepeda, ketika kita melalui jalur yang jauh dari keramaian seperti di tengah hutan atau perkebunan akan susah mencari warung penjual makanan, dan pada saat stamina kita menurun, bisa mengonsumsi makanan dan minuman yang kita bawa untuk mengembalikan stamina. Untuk makanan ringan disarankan untuk membawa makanan yang bisa mengembalikan energi seperti biskuit, roti, coklat atau pisang, dan untuk minuman saya pribadi menyarankan untuk membawa air mineral saja. Untuk perjalanan yang estimasi waktunya seharian atau fullday trip disarankan untuk membawa nasi sebagai santapan siang kita di tengah perjalanan. 
Tool standar yang bisa dibawa saat bersepeda 


Hal berikutnya yang harus diperhatikan adalah kondisi sepeda kita. Ada baiknya sehari sebelum bersepeda kita mengecek kondisi dan kesiapan sepeda, seperti tekanan angin, rem, setelan drive train dan lain sebagainya secara menyeluruh, karena di luar hal-hal tersebut di atas ada saja kejadian-kejadian yang di luar perkiraan kita, seperti seatpost patah, pedal copot, jari-jari roda putus dan lain sebagainya. Untuk lebih meyakinkan, lebih baik mengecek kondisi sepeda ke bengkel sepeda langganan kita. 

Selanjutnya persiapkan dan rencanakan rute yang akan kita jelajahi. Penting juga bagi kita untuk mengetahui dan memiliki gambaran atau informasi tentang jalur yang akan dijelajahi seperti daerah tempat jalur itu berada, jalan menuju ke jalur tujuan, kondisi jalur, komposisi tanjakan-turunan dan estimasi waktu tempuh. Kita bisa mencari tahu hal tersebut dengan bertanya kepada komunitas-komunitas sepeda yang sudah mengenal jalur yang akan kita jelajahi, atau mungkin dengan mengajak teman yang sudah pernah menjelajahi jalur tersebut. Bagi yang memiliki perangkat GPS bisa mencari tracklog (rekaman data jalur yang dilalui dari suatu trip) yang biasanya mudah didapatkan di dunia maya, kemudian menjelajahi jalur tersebut dengan berpedoman pada tracklog yang sudah didapatkan sebelumnya. Atau bisa juga langsung menjelajahi jalur tersebut dengan berpegang pada perangkat GPS tanpa harus berpedoman pada tracklog yang ada.

Dan setelah segala sesuatunya siap, kita pun siap untuk bersepeda XC menjelajahi alam sekitar. Ketika bersepeda ingatlah untuk selalu menghormati alam dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak pepohonan atau hal-hal lain yang merusak alam sekitar, nikmatilah setiap gowesan kita dan keindahan alam yang tersaji di sekeliling kita. Tetaplah untuk selalu berpegang kepada prinsip dan etika penjelajahan yaitu, "jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto dan jangan membunuh apapun kecuali waktu". Selamat bersepeda…!!!


Dimuat di HU Pikiran Rakyat edisi 1Juli 2012



Thursday, January 25, 2018

PAKET LENGKAP TRIP GOWES GUNUNG GALUNGUNG TASIKMALAYA

Membaca judul di atas tampak sekilas seperti iklan sebuah trip wisata, namun sedikit uraian berikut akan menjelaskan mengapa saya memakai istilah tersebut untuk judul artikel ini. Kawah Galunggung yang berada di barat kota Tasikmalaya saat ini sudah menjadi salah satu destinasi wisata andalan, pesona alam kawah Galunggung, air terjun, dan pemandian air panas selalu ramai dikunjungi wisatawan. Begitupun bagi pencinta gowes, kawasan wisata Galunggung menawarkan sensasi bersepeda yang bisa memuaskan hasrat para goweser, baik untuk para goweser pencinta uphill/ tanjakan maupun para goweser pencinta turunan dan penggemar downhill. Bagi pencinta bike-camping/ Gemboler disini juga sudah tersedia beberapa spot camping ground yang dapat digunakan untuk bermalam. Bukan hanya di bagian atas/ kaldera, para goweser juga bisa menikmati sajian wisata di kawasan Cipanas Galunggung yang menawarkan kolam – kolam pemandian maupun kamar rendam air panas alami untuk merelaksasi otot yang tegang setelah mengayuh sepeda. Selain itu juga warung – warung yang berada di sekitar kolam banyak menawarkan kudapan, dari mulai gorengan sampai liwet dan nasi timbel yang patut dicoba. Oleh karena itulah saya rasa tidak berlebihan apabila saya menyebut gowes ke kawasan ini dengan istilah trip gowes paket lengkap.



Kawasan wisata kawah Galunggung berada di ketinggian ± 1150 mdpl, sedangkan parkir atas/ tangga menuju kaldera sebagai titik finish para goweser berada di ketinggian ±1070 mdpl. kota Tasikmalaya sendiri berada di ketinggian ±400 mdpl, dengan elevasi ±700 m dapat dipastikan jalur obyek wisata Galunggung menjadi surga bagi para goweser pencinta uphill. Tidak hanya itu, di sana juga sudah tersedia jalur Downhill yang cukup menarik dengan beberapa obstacle yang sangat menantang untuk ditaklukkan. Jalur downhill  sepanjang kira - kira 1,2 km ini bisa juga digunakan untuk para goweser dengan sepeda standar XC karena di beberapa obstacle sudah diberi “chicken way” sehingga yang tidak ingin melewati rintangan yang dibuat untuk para goweser DH bisa menggunakan chicken way yang berada di sampingnya.

Saya berkesempatan untuk gowes mencicipi jalur Galunggung ini dengan naik memakai jalur normal dan turun menggunakan jalur DH hingga ujungnya di gerbang 2. Jarak dari kediaman saya di Singaparna sekitar 15.7 km hingga ke parkiran atas. Saya berangkat bersama teman yang sengaja gowes dari Bandung ke Tasikmalaya untuk liburan tahun baru. Tepat pukul 08.00 kami mulai mengayuh pedal menyusuri jalan ber-hotmix mulus menuju Tawang Banteng, di sepanjang jalan sawah terhampar luas sehingga membuat gowes menjadi lebih mengasyikkan. Tak lama kemudian kami tiba di pertigaan Sukaratu – Cipanas, lalu lintas terasa ramai, sebagian besar tampaknya mengarah ke obyek wisata Galunggung. Pukul 08.20 kami tiba di perempatan jalan raya Mangin – Cipanas, di sini banyak goweser yang tengah beristirahat sebelum memasuki jalur menanjak menuju Galunggung.


Lepas dari perempatan Mangin jalan mulai menanjak sedang tapi cukup membuat napas ngos – ngosan ternyata, dan 2.5 km kemudian barulah kami bertemu tanjakan yang membuat napas semakin terengah – engah dan keringat bercucuran. Akhirnya pukul 08.35 kami sampai juga di gerbang 1 Galunggung/ gerbang Cipanas (±733 mdpl). Berarti kami sudah menempuh jarak sekitar 9.5 km, di sini sudah terdapat banyak goweser tiba lebih dulu. Kendaraan roda 2 maupun roda 4 semakin banyak berdatangan karena hari itu adalah hari terakhir di tahun 2017 yang bertepatan juga dengan libur panjang akhir tahun dan tahun baru.




Saya dan teman bergabung dengan 2 orang goweser dari kota Tasikmalaya, sehingga kami melanjutkan trip ini berempat. Di hadapan sudah menanti tanjakan curam, pukul 09.25 sepeda mulai bergerak menuju tanjakan pertama, ternyata memang berat tanjakan ini, berbelok kemudian masih disusul tanjakan berikutnya, meskipun tidak securam tanjakan pertama tapi tenaga sudah kadung terkuras di tanjakan sebelumnya. Hampir 15 menit kami berjibaku melahap tanjakan sepanjang hampir 500 m ini. Masih ada tanjakan - tanjakan lagi untuk mencapai gerbang 2 (±921 mdpl), kami istirahat sejenak untuk mengatur napas dan melemaskan otot kaki.




Pedal kembali dikayuh, masih ada sekitar 1,2 km lagi untuk mencapai gerbang 2. Gowesan semakin terasa berat, akhirnya pukul 10.05 kami tiba di gerbang 2, disini kami bertemu dengan para goweser DH yang akan mencicipi jalur DH Galunggung. Sambil beristirahat kami berfoto – foto sejenak di plang “Galunggung” yang tepat berada di pertigaan menuju parkir barat dan parkir timur kaldera Galunggung. Masih ada sekitar 1 km lagi untuk menuju titik finish di parkiran atas/ tangga kaldera.




Kembali sepedah melaju di jalanan menanjak, kayuhan semakin terasa berat saja, saya 3 kali berhenti beristirahat untuk melewati 2 tanjakan terakhir ini, teman saya sudah lebih dahulu finish dan setelah berjuang hampir 50 menit akhirnya pukul 11 tiba juga di parkiran atas (±1070 mdpl). Kami beristirahat sambil menikmati pemandangan sekitar yang sangat memanjakan mata, ditemani teh manis dan beberapa potong gorengan.







Setelah puas beristirahat kami beranjak menuju sebelah timur parkiran. Single track bertipikal pasir sudah menanti, pasti akan sangat menyulitkan untuk mengendalikan sepeda, khususnya saya yang terbiasa bersepeda offroad di jalur bertipikal tanah. Beberapa goweser downhill sudah lebih dahulu meluncur, saya yang memakai sepeda XC dan “buta jalur” sama sekali hanya bermodal nekad berusaha untuk mengendalikan sepeda di jalur berpasir yang sangat licin itu. Beberapa obstacle drop off rendah dari tumpukan karung lancar terlewati, namun ketika harus berhadapan dengan jembatan bambu dengan drop off lebih dari 1m saya memilih untuk TTB melewatinya. Ada beberapa obstacle jembatan bambu seperti ini dengan ketinggian drop off bervariasi. Semakin ke bawah pasir licin semakin berkurang membuat saya semakin nyaman melewatinya. Namun naas di ujung jalur akibat “buta jalur” tadi saya tidak mengantisipasi sebuah drop off  gundukan karung yang ternyata di baliknya terdapat parit selebar 50cm lebih, kadung kaget saya menekan rem dan akhirnya saya terjungkal karena roda depan nyangkut di ujung parit, sayang sekali setelah lulus melewati hampir keseluruhan jalur DH ini, saya harus menyerah di ujung yang hanya berjarak 15 m saja dari titik finish.  




Beruntung saya tidak mendapat cedera berarti, hanya kaki lecet terhantam pedal dan muka sedikit perih akibat mencium jalur berpasir. Sejenak saya beristirahat sambil menenangkan diri. Akhirnya pada pukul 13.20 setelah berpamitan dengan teman – teman goweser DH, kami semua meluncur meninggalkan gerbang 2 menuju plang “Galunggung” di dekat gerbang 1 untuk berfoto sekedar untuk kenang – kenangan.  Setelah puas berfoto sepeda kembali meluncur menuju kota Tasikmalaya.


Elevation profile dan tracklog

Dimuat di HU Pikiran Rakyat edisi Minggu 11 Maret 2018




Friday, December 29, 2017

MENGGAPAI PUNCAK BATU KUDA, MENEMBUS KERAPATAN VEGETASI GUNUNG HARUMAN CIBIUK

Gunung Haruman memiliki ketinggian ±1219 mdpl berada di dua kecamatan yaitu kecamatan Kadungora dan kecamatan Cibiuk kabupaten Garut. Gunung ini erat sekali kaitannya dengan legenda Batukuda, yaitu sebongkah batu besar menyerupai kuda yang berada di puncak tertinggi Haruman, menurut kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Garut seperti yang saya kutip dari laman bedanews.com situs Batukuda ini merupakan benda prasejarah peninggalan zaman megalithikum yang digunakan masyarakat masa itu sebagai tempat pemujaan, selain itu juga masyarakat sekitar meyakini kalau batukuda ini adalah peninggalan prabu Kian Santang. Gunung ini juga berkaitan erat dengan salah satu tokoh penyebar agama Islam di Garut khususnya daerah Garut Utara yaitu Syekh Jafar Sidik atau Mbah Wali Cibiuk/ Sunan Cibiuk yang makamnya berada di kaki gunung Haruman tepatnya di desa Cipaeuran kec Cibiuk. Makam beliau selalu ramai dikunjungi para peziarah sehingga mendorong pemkab Garut untuk menjadikan makam ini sebagai obyek wisata religi/ ziarah, salah satu warisan Syekh Jafar Sidik yang masih bisa dirasakan sampai saat ini adalah sambal khas Cibiuk yang saat ini sudah sangat terkenal di mana – mana (sangiang.wordpress.com/nyukcruk-galur-patilasan-sunan-haruman).

Gunung Haruman berlatar gunung Sadakeling


Pertengahan desember 2017 kemarin tepatnya pada tanggal 17 Desember 2017 saya dan 3 orang teman mencoba untuk hiking tektok ke gunung Haruman dengan mengambil titik start di kampung Haruman Sari kec Kadungora (675 mdpl) dan berencana lintas jalur dengan turun melalui jalur desa Cipaeuran kec. Cibiuk (645 mdpl). Setelah Tiba di kampung Haruman Sari dan mendapatkan tempat untuk menitipkan motor kami sempatkan ngobrol sejenak dengan warga untuk mengenal lebih dahulu karakter jalur gunung ini. Ternyata selain situs Batukuda dan makam Syekh Jafar Sidik, gunung ini terkenal juga akan babi hutannya yang cukup mudah ditemui, kakek berbaju putih berjenggot panjang yang selalu menyuruh pulang apabila waktu sholat tiba dan satu lagi (ini yang menarik) adalah tidak adanya jalur menuju ke puncak Haruman, sehingga beberapa warga mengingatkan kami untuk berhati – hati karena warga sekitar pun banyak yang tersesat atau kehilangan jejak ketika mendaki gunung ini.








Pukul 09.30 hiking dimulai dengan memasuki gang kecil mengarah ke timur, tidak lama kami berjalan kami tiba di ujung gang dan mulai masuk jalur setapak. Sajian jalan setapak menanjak ini lumayan membuat kami berkeringat. Sejenak melihat peta digital di HP, kontur cukup rapat sampai ke puncak akan kami hadapi selama perjalanan. Selama perjalanan tak henti – hentinya nyamuk mengerubungi kami, benar juga kata teman yang pernah ke gunung ini, naik ke Haruman seperti masuk ke kerajaan nyamuk saja layaknya, dan kami sekarang merasakan bagaimana rasanya dikerubungi nyamuk - nyamuk Haruman yang ukurannya sedikit lebih besar dibandingkan dengan nyamuk domestik. Sekitar 700 m berjalan, kami bertemu sebuah rumah cukup besar, namun sudah kosong dan tidak terawat, entah apa fungsinya dulu ketika bangunan ini didirikan. Tak lama kemudian kami bertemu jalan makadam, sepertinya ini adalah bekas jalan menuju lokasi Paralayang yang dahulu sempat meramaikan suasana gunung Haruman. Saat ini kondisinya sudah rusak dan kiri kanannya sudah banyak ditumbuhi semak sehingga terlihat seperti jalan setapak saja.



Ex. jalan paralayang

Tepat 1 km lepas dari titik start kami menemukan pertigaan, waktu sudah menunjukkan jam 10 pagi, tak terasa sudah 30 menit berjalan, tak lama kemudian kami bertemu sebuah pohon besar, sejenak beristirahat di sana sambil melihat pemandangan di belakang tepatnya ke arah barat, gunung Mandalawangi dan Kaledong dengan hamparan sawah menghijau di sekitar kakinya sungguh membuat segar mata memandang. Perjalanan dilanjutkan, masih ditemani jalan setapak yang nyaris tidak ada bonus, terus menanjak, akhirnya pukul 10.45 kami beristirahat karena sudah mulai kelelahan, di depan jalur masih saja menanjak curam, dari sini jalur sudah mulai terlihat samar, istirahat pun menjadi tidak tenang karena nyamuk – nyamuk masih saja setia mengerubungi, memaksa kami untuk segera melanjutkan perjalanan.





Gunung Mandalawangi di sebelah barat


Medan yang dihadapi berikutnya adalah hutan bambu yang cukup lebat sehingga tanah hampir semua tertutup serasah daun bambu kering, pijakan licin di atas hamparan daun kering ditambah jalur yang curam menjadi tantangan yang harus kami hadapi saat ini, jalur sudah menghilang, kami berjalan sambil mempertahankan arah agar tidak terlalu menyimpang jauh dari tracklog kawan yang mendaki gunung ini sebelumnya. Cukup lama kami kepayahan melewati hutan bambu ini, namun masih tidak ada bonus dataran, yang ada kontur semakin menanjak curam, hutan bambu sekarang berganti hutan Kaliandra, batang – batang Kaliandra bersilangan di hadapan, jalur sengaja kami buat sedikit zigzag supaya tidak menguras terlalu banyak tenaga, namun perjalanan jadi terasa lama. Di ketinggian 1090 mdpl langkah terhenti, sudah tidak lagi ada celah jalur untuk dilalui, rapatnya pohon Kaliandra ditambah juluran tanaman rambat menutupi arah ke puncak. Sudah lewat tengah hari, kami harus segera meneruskan perjalanan supaya cepat sampai ke puncak, mengingat masih musim hujan kami khawatir perjalanan akan semakin berat apabila hujan, akhirnya diputuskan untuk langsung saja naik secara vertikal untuk menghemat waktu, tidak lagi zig-zag.






Langkah demi langkah kami lalui sambil menerabas rapatnya pepohonan Kaliandra, tangan sibuk menyibak ranting dan tanaman julur, letih terasa, namun melihat jarak di peta digital sudah semakin mendekati puncakan, kami paksakan untuk terus bergerak, akhirnya pukul 13.05 kami tiba di puncakan gunung Haruman di ketinggian 1195 mdpl, satu jam kami habiskan untuk menerabas jalur yang hanya berjarak sekitar 240 m saja, benar – benar “galak” gunung ini. Di puncakan kami lanjutkan perjalanan menuju puncak utama, puncak Batukuda. Tak lama kami tiba di sebuah dataran yang terdapat batu besar di ketinggian 1198 mdpl, disini kami beristirahat, ngopi sambil mendiskusikan jalur berikutnya, masih ada sekitar 500 m lagi menurut tracklog untuk mencapai puncak Batukuda (1219 mdpl) dengan kondisi jalur yang kami pun tidak tahu akan seperti apa. Beberapa potong cemilan dan beberapa gelas kopi racikan seorang teman sanggup membuat semangat kami tumbuh kembali untuk segera menginjakkan kaki di puncak Batukuda, kami menikmati seduhan kopi di tengah cuaca mendung berangin dan berkabut tebal sambil diiringi suara gemuruh guntur di kejauhan.



jalur menghilang


Barista sedang meracik kopi
Pukul 14.00 kami kembali bergerak menyusuri jalan setapak di kerimbunan vegetasi gunung Haruman, pohon Kaliandra masih mendominasi vegetasi di sekitar puncakan ini. Ternyata jalur yang sempat terbuka di dekat tempat istirahat itu tidak sampai 100 m jaraknya, kami kembali kehilangan jalur, suasana yang masih berkabut tebal menyulitkan kami untuk orientasi, tracklog dan GPS kembali menjadi pegangan supaya kami tidak menyimpang terlalu jauh. Sekitar 270 m berjalan, kami bertemu puncakan dengan beberapa gunduk batu besar terserak di ketinggian 1211 mdpl, ini bukan puncak utama ternyata, masih ada 125 m garis lurus ke arah timur untuk menggapainya, kembali kami menerabas membuka jalur untuk mencapai puncak utama, setelah sekitar 300 m kami berjalan akhirnya kami menemukan jalur menuju puncak, dan pada pukul 15.00 kami berhasil menginjakkan kaki di puncak Batukuda, puncak utama gunung Haruman yang berketinggian 1219 mdpl. Kondisi puncak berupa dataran yang tidak begitu luas, di sekelilingnya tertutup vegetasi dengan masih didominasi pohon Kaliandra. Ada batu besar terdapat di sana, mungkin itulah situs Batukuda yang dimaksud. Bentuknya tidak seperti kuda dalam kondisi utuh, dari beberapa sudut lebih menyerupai kepala kuda dengan moncong menghadap tanah.

Puncak Batukuda gn Haruman




Di puncak Batukuda kami tidak lama beristirahat, hanya mengambil beberapa foto kenang – kenangan kami pun bergegas turun, dari puncak terlihat jalur cukup jelas mengarah ke timur/ Cibiuk, namun belum lama berjalan jalur kembali hilang, kembali kami harus mengandalkan GPS dan tracklog untuk menuju titik finish. Hari semakin sore dan hujan mulai turun, pijakan menjadi semakin licin. Serasah bambu dan akar Kaliandra benar – benar menjadi jebakan yang berkali - kali membuat terjerembab, belum lagi kontur yang menurun curam, tarikan gravitasi semakin membuat kami tersiksa. Mengingat waktu yang semakin sore, kami kembali mengambil opsi untuk menyusuri lereng secara vertikal meskipun dengan resiko semakin sering terjatuh dan kesulitan untuk mengontrol langkah. 

Tidak banyak yang bisa diceritakan di sini, kami hanya konsentrasi untuk melangkah turun dengan tetap berpedoman kepada GPS dan tracklog agar tidak terlalu jauh menyimpang. Setelah hutan Kaliandra terlewati dengan susah payah, vegetasi berganti hutan bambu. Foto, data lokasi, waktu dan ketinggian pun tidak sempat kami rekam disini mengingat kami masih harus berjibaku jatuh bangun melewati hutan bambu yang lantainya sudah basah oleh air hujan, fisik dan mental benar – benar diuji, ketika pijakan kaki sudah tidak bisa menemukan tumpuan maka tangan pun menggapai - gapai mencari ranting atau batang yang bisa dipegang untuk sekedar mengurangi laju. Lepas dari hutan bambu kami kembali memasuki hutan Kaliandra, di sini kami sempatkan untuk melihat GPS, ah ternyata jarak menuju ke batas ladang sudah tidak begitu jauh. Kami terus berjalan sambil berkali – kali terpeleset, dan akhirnya pukul 16.55 kami keluar dari hutan Kaliandra dan mulai masuk ke kebun yang banyak ditanami pohon Gmelina/ Jati Putih (840 mdpl), lega rasanya, langkah semakin dipercepat, kami pun memasuki ladang jagung. Akhirnya pukul 17.10 kami memasuki jalan beton seukuran lebar badan kendaraan roda 4 (710 mdpl), dari sini kami tidak lagi mengikuti tracklog tapi berjalan mengikuti jalan besar saja dengan harapan jalan ini berujung di sebuah kampung. 

Lumayan jauh sekitar 950 m berjalan, pukul 17.30 kami tiba di desa Cipaeuran, hujan membuat suasana desa sepi, beruntung ada warung yang masih buka, kami bergegas menuju ke sana untuk menanyakan arah dan posisi kampung Haruman Sari. Dan jawaban pemilik warung sedikit menjatuhkan mental, ternyata jarak yang harus ditempuh untuk menuju Haruman Sari cukup jauh karena berada di sisi utara gunung Haruman, yang berarti ada di sebalik posisi kami saat ini yang berada di sisi selatan, jadi kami harus mengitari separuh tubuh gunung Haruman untuk kembali ke titik start. Ketika dicek di Google Maps, jarak menuju Haruman Sari sekitar 9 km, bukan jarak yang dekat untuk dicapai dengan jalan kaki apalagi hari sudah beranjak senja. Maka diputuskanlah kami akan ke jalan raya Cibiuk dengan harapan bisa mendapatkan tumpangan ojek atau menyewa mobil untuk kembali ke titik start. Namun kembali ujian kami dapati ketika sampai di jalan raya Cibiuk - Leuwigoong, hujan membuat jalanan sepi, beruntung ada 1 angkot yang mau mengangkut kami sampai pertigaan Leuwigoong - Banyuresmi. Masalah kembali datang di pertigaan Banyuresmi, jalan menuju Leles diblokir polisi karena kondisi Leles macet parah efek dari liburan weekend, alhasil kami harus berjalan menyusuri jalan raya Leuwigoong - Leles sambil berharap ada ojek nangkring, namun nihil, hampir tidak ada kendaraan melintas atau pun ojek yang nangkring. 

Di setengah perjalanan kami tiba di sebuah pertigaan, ada motor melintas dan kami pun meminta tolong kepada pengemudi motor tadi untuk mencarikan ojek sambil mereka pulang, mereka menyanggupinya. Kami pun kembali berjalan, dan tak disangka sangka setelah sekitar 2 km berjalan, pengemudi motor tadi kembali bersama temannya membawa satu motor lagi dan menawarkan untuk mengantarkan kami ke kampung Haruman Sari, Alhamdulillah pertolongan Allah melalui kedua orang ini akhirnya yang mengantarkan kami ke Haruman Sari. 

Pukul 19.30 kami semua akhirnya tiba di kampung Haruman Sari, pemilik warung yang kami titipi motor terlihat lega ketika kami tiba, beliau khawatir terjadi sesuatu seperti tersesat atau semacamnya, bahkan sempat berseloroh hampir saja mereka membuat laporan kehilangan ke Mapolsek Kadungora hahaha.......Alhamdulillah kehangatan sang pemilik warung dan keluarganya membuat kami leluasa untuk beristirahat melepas lelah, segera beberapa mangkuk mie rebus mengisi rongga – rongga perut kami yang tidak sempat diisi makanan berat, cukup untuk kembali menghangatkan tubuh dan menambah tenaga guna melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung. Harapan untuk makan – makan di rumah makan sambal Cibiuk pun sirna, tapi tidak apalah, acara makan – makan di rumah makan Cibiuk dengan sambal yang khas warisan dari Syekh Jafar Sidik sang penyebar agama islam di Garut Utara tersebut bisa diagendakan di lain waktu. Setelah berpamitan dengan pemilik warung dan keluarganya, tepat pukul 20.00 kami beranjak meninggalkan kampung Haruman Sari yang bersahaja ini, menembus kemacetan libur weekend Kadungora kembali menuju Bandung.

Tracklog & elevation profile