Setelah sekian lama berkutat dengan trek – trek bersepeda Bandung Selatan yang berada di seputaran Soreang dan Pangalengan, saya seakan melupakan potensi jalur bersepeda lainnya yang masih banyak terdapat di Bandung Selatan. Salah satu trek bersepeda yang cukup menarik untuk dikunjungi adalah trek Cangkring - Gentong yang berada di daerah Jelekong, sekitar 5 km arah timur Dayeuhkolot, di jalan raya Laswi/ Baleendah – Ciparay. Trek ini kalah terkenal dibandingkan dengan trek Ciparay – Situ Cisanti, Pangalengan atau Monteng – Kamojang yang sudah melegenda di kalangan goweser. Tapi dengan ketidakterkenalannya bukan berarti trek Cangkring ini tidak cukup menantang, trek ini saya yakin bisa memuaskan hasrat para goweser pecinta uphill, meskipun secara level memang trek ini tidak bisa dibandingkan dengan trek – trek legendaris tadi, tapi saya kira trek ini layak juga untuk dimasukkan dalam list jalur gowes di seputaran Bandung. Level tanjakannya berada di antara Warung Bandrek Bandung Utara dan Kiara Payung di kawasan timur Bandung. Tidak begitu berat memang, tapi tetap layak juga untuk dimasukkan ke dalam agenda para goweser uphill, atau bagi para goweser Bandung Selatan dan sekitarnya yang sudah merasa bosan atau merasa kejauhan bila harus menjajal trek di utara atau timur Bandung.
Seperti halnya trek Warung Bandrek, Caringin Tilu, Palintang, Batukuda atau Kiara Payung, trek Cangkring inipun bisa ditempuh dalam waktu yang tidak begitu lama, hanya dengan 4 – 5 jam kita sudah bisa menjelajahi trek ini. Satu kelebihan dari trek ini adalah akses menuju lokasi yang tidak begitu ramai, berbeda dengan kalau kita ingin bersepeda di kawasan yang tadi saya sebutkan di atas. Pun ketika kita bersepeda di treknya, treknya relatif sepi sehingga kita bisa menikmati setiap gowesan kita. Titik start trek ini ada di tiga titik di sepanjang jalan raya Laswi/ Baleendah – Ciparay, yaitu jalan desa Jelekong, jalan Cangkring dan yang terakhir adalah jalan TPA (tempat pembuangan akhir) Cangkring yang berada sekitar 1 km arah timur Jelekong. Jalur Jelekong menyatu dengan Cangkring di sebuah pertigaan tepat sebelum jalan menanjak menuju Gentong, tepatnya di depan TPU Cangkring, dan akan menyatu dengan jalur TPA di sebuah persimpangan di kampung Gentong (±930 mdpl) yang merupakan titik tertinggi dari trek ini.
Terdapat 2 pilihan variasi trek yang ditawarkan jalur ini. Bagi goweser yang ingin mengayuh sepeda dengan santai, sambil menikmati suasana dan pemandangan sekitar, menikmati setiap kayuhan menyusuri tanjakan – tanjakan yang tidak begitu curam dan beraspal mulus, jalur TPA Cangkring bisa dijadikan pilihan, plus kita bisa mendapatkan “bonus” dengan mengunjungi Curug Cangkring yang lokasinya berada di tengah – tengah perjalanan menuju Gentong . Sedang bagi goweser yang lebih memilih trek yang lebih menantang dengan tanjakan yang lebih curam ditambah kondisi jalan yang tidak begitu bagus bisa mengambil titik start dari pertigaan Cangkring atau Jelekong .
Untuk trip kali ini saya memilih untuk gowes menyusuri jalur TPA dan pulang ke jalur Jelekong, keseluruhan trip ini dari kediaman saya di Margahayu Raya sampai finish kembali ke rumah memakan waktu sekitar 4 jam, cukup singkat, sangat cocok bagi para goweser yang memiliki waktu gowes yang sempit. Sebenarnya dari pertigaan Gentong, perjalanan masih bisa dilanjutkan menuju Arjasari, dan dari sana bisa mengambil finish di Banjaran atau Ciparay. Dari pertigaan Jelekong, di dekat Padepokan wayang Giriharja, sepeda diarahkan menuju timur sekitar 1 km, ke arah pertigaan jalan TPA Cangkring, kemudian belok ke kanan, dan dari sana kemudian sepeda pun mulai menapaki jalan TPA Cangkring. Di awal perjalanan saya belum menemui tanjakan – tanjakan, jalur masih datar, lumayan untuk sekedar pemanasan dan mempersiapkan tubuh kita untuk menghadapi tanjakan di depan sana. Setelah 5 menit gowes, selepas Tugu Selamat Datang di kampung Cilayung barulah saya bertemu dengan satu tanjakan lumayan panjang, namun masih cukup landai. Tanjakan ini berujung di pertigaan menuju Pengolahan Sampah TPA Cangkring , tanjakan selamat datang ini cukup membuat dengkul menjadi panas, keringat mulai bercucuran dan nafas menjadi sedikit lebih cepat. Tiba di ujung tanjakan, saya berhenti sejenak sambil menunggu teman yang masih berjibaku di tanjakan pertama tadi, di depan sana terlihat 1 lagi tanjakan landai tapi cukup panjang, bagus untuk melatih ritme putaran kayuhan (cadence) dan melatih daya tahan/ endurance bersepeda kita. Membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan gowesan santai untuk mencapai ujung tanjakan ini, dan di ujung tanjakan sambil beristirahat kita bisa melemparkan pandangan kita ke arah utara, menyaksikan hamparan persawahan dan bangunan – bangunan terhampar.
Sekitar 50 meter selepas tanjakan ini bertemulah saya dengan sebuah persimpangan, lurus menuju Gentong, ke kiri menuju komplek perumahan Delima Indah dan ke kanan akan membawa kita menuju Curug Cangkring , sayang rasanya bila gowes ke sini tanpa mengunjunginya, akhirnya saya membawa sepeda berbelok ke kanan menuju jalan menurun menuju Curug Cangkring. Tidak terlalu jauh ternyata untuk menuju ke lokasi curug, sekitar 100 m dari persimpangan jalan TPA, kemudian kita berbelok ke sebuah gang di kanan jalan yang berada tepat di samping sebuah warung. Kondisi jalan berubah menjadi singel trek menurun (sebuah kondisi yang khas/ tipikal apabila kita akan mengunjungi sebuah curug, kita akan selalu menemui turunan – turunan untuk tiba di lokasi curugnya). Dan setelah sekitar 25 m berjalan, sepeda sudah tidak mungkin lagi untuk dibawa, akhirnya sepeda disimpan di satu tempat yang posisinya berada tepat di atas curug, dan kita masih harus menuruni lagi singel trek ini untuk mencapai curugnya. Sekitar 15 meter saya dan teman berjalan menuruninya, akhirnya sampai juga kami di Curug Cangkring (796 mdpl). Curugnya lumayan tinggi, sekitar 15 m dan terdiri dari 2 buah curug, sekarang kami berada di depan curug pertama, dan curug yang kedua berada di bawah kami. Sayang saat itu debit airnya sangat sedikit, jadi lebih terlihat sebagai sebuah tebing saja. 15 menit kami habiskan waktu untuk beristirahat dan menikmati suasana curug, dan kami pun kembali menuju tempat sepeda tersimpan dan kembali menuju jalan TPA.
Curug Cangkring |
Sampai di persimpangan jalan TPA – Curug Cangkring , sepeda kemudian saya arahkan ke selatan menuju Gentong. Kondisi jalan masih beraspal mulus sampai di mulut komplek perumahan Bukit Griya Indah, barulah selepas komplek perumahan tersebut jalan hotmix berubah menjadi aspal curah, dan mulai dari sini juga tanjakan menjadi lebih curam. Dari titik ini jalur sudah mulai mengarah ke barat, berarti tidak lama lagi saya akan sampai ke pertigaan Gentong. Tapi setelah sekitar 10 menit kita mengayuh pedal, di sepanjang kampung Panyawian, kampung terakhir sebelum menuju perempatan Gentong, jalan aspal kondisinya semakin buruk dan di beberapa titik tertutup tanah merah longsoran dari tebing di sekitarnya dan dari limpasan parit – parit yang membawa material tanah merah membuat jalan menjadi licin, apalagi pada malam sebelumnya daerah selatan diguyur hujan yang cukup lebat, sulit mengayuh sepeda di jalan yang licin seperti ini. Dan di satu tanjakan terakhir saya menyerah dan memutuskan untuk TTB saja, ban belakang yang sudah sedikit gundul membuat roda belakang kehilangan traksi dan selalu selip ketika pedal dikayuh.
Di ujung tanjakan yang berada di sebuah punggungan, kami beristirahat sambil menikmati pemandangan ke arah utara. Sayang saat itu cuaca sedikit berkabut sehingga pandangan tidak bisa lepas menikmati seluruh kota Bandung dan jejeran pegunungan di sebelah utara. Di sini aspal sudah hampir seluruhnya hilang, yang tersisa hanyalah jalan makadam berhias tanah merah, di sini terdapat juga pertigaan yang menuju kampung Rancakole kecamatan Ciparay, trek berikutnya yang harus saya datangi. Dan setelah sepeda melaju sekitar 50 meter mengarah ke barat melalui jalan yang hancur itulah kami akhirnya sampai di persimpangan Gentong - Cangkring (930 mdpl), di sana terdapat juga sebuah warung, kita bisa beristirahat sambil menikmati cemilan tradisional seperti gorengan dan lontong, cukup untuk mengganjal perut sebelum kita melanjutkan perjalanan pulang.
View kota Bandung dari titik tertinggi jalur ini |
Persimpangan ini adalah titik tertinggi dari trek uphill Cangkring – Jelekong, arah timur adalah arah TPA arah yang tadi saya tempuh, arah barat menuju kampung Cipeuteuy – balai desa Pinggirsari dan tembus ke jalan raya Arjasari - Banjaran. Ke arah utara menuju ke kampung Jelekong kemudian menuju jalan raya Laswi, sedangkan ke arah selatan menuju jalan raya Arjasari – Ciparay. Bagi yang masih ingin melanjutkan acara gowesnya bisa mengambil arah ke selatan atau ke barat yang keduanya akan menuju jalan raya Ciparay – Arjasari – Banjaran. Sedang bagi yang ingin menyudahi acara gowesnya bisa mengambil arah utara yang akan membawa kita menuju jalan Laswi/ Baleendah – Ciparay dengan melewati desa Jelekong, daerah tempat lahirnya maestro wayang golek Giriharja, Ki dalang Asep Sunandar Sunarya. Dan di sepanjang jalan desa Jelekong yang juga merupakan daerah sentra lukisan, sambil gowes kita bisa menyaksikan deretan workshop – workshop lukisan, mungkin ada yang menarik minat kita dan ingin membelinya sekedar untuk buah tangan dari daerah Jelekong ini, dan jalan desa Jelekong berakhir di jalan raya Laswi tepat di samping padepokan wayang Giriharja.
Sedikit saran dari saya, bagi goweser yang ingin mencari trek yang lebih menantang, anda bisa mengambil titik start dari jalan Cangkring , belokannya ada di sebelum pertigaan jalan TPA. Dari sini tanjakan yang ditemui lebih berat dan curam, meskipun jarak tempuh menuju pertigaan Gentong lebih dekat dibandingkan dengan jalur TPA. Sedangkan bagi anda yang ingin menggowes sepeda dengan santai sambil refreshing, tanpa harus dikejutkan dengan tanjakan – tanjakan curam, jalur TPA adalah jalur yang cocok bagi anda. Sedangkan untuk pilihan jalur pulang bisa menempuh jalur – jalur yang sudah tadi saya sebutkan di atas. Selamat gowes…..
No comments:
Post a Comment