Thursday, June 5, 2014

TREK UPHILL SUKANAGARA – CIMONCE, SATU LAGI TREK UPHILL MENANTANG YANG MENUNGGU UNTUK DITAKLUKKAN


Bagi sebagian goweser, goweser Bandung Selatan sekalipun, nama trek Sukanagara – Cimonce sepertinya kurang begitu dikenal baik, trek ini jarang sekali menjadi pilihan para goweser ketika akan melakukan trip gowes di daerah Soreang dan sekitarnya, mereka lebih memilih trek Leuweung Datar, Cilame – Gunung Padang, Puncak Mulya atau menyusuri jalan raya Soreang - Ciwidey yang memang lebih terkenal. Trek yang letaknya hanya terpisah satu lembah dengan trek legendaris Leuweung Datar ini sebenarnya masih terhubung dengan trek Leuweung Datar tersebut, titik pertemuan antara trek Sukanagara dan trek Leuweung Datar ini berada di ujung tanjakan Gunung Bubut, sehingga sebenarnya trek ini bisa divariasikan juga dengan trek Leuweung Datar, seperti yang sudah pernah kami lakukan sebelumnya ketika menyusuri jalur Leuweung Datar beberapa waktu lalu. Namun karena kalah terkenal itulah, maka trek Sukanagara – Cimonce ini menjadi kurang begitu terdengar namanya di kalangan goweser uphiller.

Titik start trek Sukanagara – Cimonce berada di kampung Panyirapan, sangat mudah untuk dicapai. Kita hanya tinggal mengarahkan sepeda kita dari jalan raya Soreang ke arah selatan di perempatan Pemda menuju jalan bypass Al Fathu, dan setelah sekitar 1 km melaju, kita akan menemukan sebuah persimpangan dengan berhiaskan gapura yang bertuliskan kampung Panyirapan, itulah jalan menuju desa Sukanagara. Di depan kita berdiri jejeran perbukitan memanjang dari timur ke barat, di perbukitan itulah trek Sukanagara – Cimonce berada. Sedangkan untuk titik finish-nya ada 2 pilihan, menuju Pasir Jambu dengan menempuh trek makadam menanjak sejauh kurang lebih 2 km dari kampung Babakan sampai pertigaan Gunung Bubut Leuweung Datar (±1.240 mdpl) dengan elevasi sekitar 110 m, kemudian dilanjutkan dengan menempuh separuh dari trek Leuweung Datar menuju Ciseupan dan finish di jalan raya Pasir Jambu. titik finish selanjutnya dari trek ini adalah Cimonce kemudian berlanjut ke daerah Cukang Haur di jalan raya Soreang – Ciwidey, atau dari Cimonce bisa mengambil arah ke timur menuju Pasir Salam dan keluar di daerah Cebek, sekitar 500 meter sebelah barat kampung Panyirapan yang menjadi titik start trek ini. Bagi goweser sejati, yang memiliki stamina sangat prima mungkin mengambil titik finish di Pasir Jambu dengan melewati Gunung Bubut bisa dijadikan pilihan, namun bagi saya dan teman – teman yang hanya goweser suka – suka, cukuplah untuk mengambil titik finish di Cimonce dan turun menuju Cukang Haur saja.

Di suatu Minggu pagi yang cerah kami dan teman – teman goweser Koskas Bandung berkumpul di Lanud Sulaeman Bandung Selatan yang menjadi titik kumpul, dan kemudian tepat pukul 07.30 kami pun bergerak menyusuri jalan raya Kopo - Soreang yang ramai menuju kampung Panyirapan. Supaya tidak terlalu terganggu keramaian lalu lintas dan kemacetan akibat aktifitas pasar tumpah di sekitar kompleks Pemda Kabupaten Bandung, kami memilih untuk berbelok di daerah Cincin dan menyusuri jalan Citaliktik yang lebih sepi dan lebih segar. Sekitar pukul 08.15 wib kami pun tiba di gerbang jalan kampung Panyirapan, dan sepeda pun kemudian kami arahkan ke selatan menyusuri jalan ber-hotmix mulus menuju jalan desa Sukanagara - Babakan. Sekitar 1 km pertama kami mengayuh pedal sepeda, trek yang tersaji masih terbilang cukup bersahabat, tanjakan landai masih bisa dilalui dengan relatif lancar, satu yang menghambat gowesan kami adalah aktifitas delman dan sepeda – sepeda motor yang banyak berseliweran lumayan mengganggu gowesan kami. Barulah selepas sebuah pertigaan dan kami mulai memasuki jalan desa Sukanagara – Babakan jalan menjadi lebih lengang.

Namun ternyata, kondisi lengang yang kami temui bukan berarti gowesan menjadi lebih mudah, karena ternyata selepas pertigaan tadi jalan menjadi semakin menanjak. Walaupun tidak begitu curam namun jarak tanjakan yang cukup panjang dan nyaris tanpa jeda mulai membuat nafas kami tersengal, keringat mulai bercucuran deras dan lutut mulai terasa panas. Hanya saja karena belum genap menempuh jarak 2 km menggowes, kami masih bisa menjaga ritme gowesan dan masih berada dalam satu rombongan. Barulah setelah menginjak kilometer 3 setelah melewati kantor Balai Desa Sukanagara, lutut kami mulai terasa goyah dan gowesan mulai terasa melambat, dan rombongan pun mulai terpisah – pisah. Jalan yang semakin mulus selepas balai desa Sukanagara tidak membuat gowesan semakin mudah, tanjakan – tanjakan yang kami jumpai semakin curam dan panjang, mulai menguji ketahanan fisik dan mental kami mengayuh pedal sepeda. Satu – satunya hiburan yang juga menjadi obat pelepas lelah kami adalah pemandangan indah yang tersaji di belakang kami. Hamparan pemandangan kota dan pegunungan di kawasan utara dan timur Bandung cukup mengobati rasa lelah kami ketika kami harus menyerah dan berhenti  di pertengahan tanjakan, kami segera melemparkan pandangan ke arah utara dan segera saja kami reguk semua keindahan yang tersaji saat itu. Masih ada beberapa tanjakan lagi yang harus kami hadapi untuk sampai di kampung Babakan yang akan menjadi tempat beristirahat dan tempat re-grouping sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju kampung Cimonce.

Satu tanjakan panjang dan berhias beberapa belokan tajam sudah menanti di hadapan kami. Pedal mulai dikayuh meskipun fisik sudah semakin melemah, hari yang sudah semakin terik juga menjadi siksaan tersendiri bagi kami menyusuri tanjakan ini. Dengan satu kali berhenti di tengah tanjakannya saya dan seorang teman akhirnya bisa juga melewati tanjakan ini, dan kami pun berhenti sejenak di ujung tanjakan untuk mengatur nafas dan mengistirahatkan otot – otot kaki yang semakin panas dan menegang sambil menikmati pemandangan sekitar yang indah. Di sebelah utara masih menemani dengan setia jejeran Gunung Burangrang, Tangkuban Parahu, Palasari, dan Manglayang dengan bangunan – bangunan kota yang seakan berserak di bawahnya. Di sebelah timur mata kami tertuju pada sebuah punggungan bukit yang dibatasi sebuah lembah yang cukup dalam dari tempat kami beristirahat saat ini, dan di punggungan sanalah trek legendaris Leuweung Datar berada. Samar – samar terdengar raungan suara mesin sepeda motor yang tengah berjuang melewati tanjakan – tanjakan Leuweung Datar yang cukup “kejam”. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.20 wib, perjalanan pun kembali dilanjutkan menuju kampung Babakan. Sekitar 500 m lagi dari ujung tanjakan ini kami akan sampai di kampung Babakan, masih dengan menyusuri tanjakan meskipun sudah sedikit lebih “jinak” elevasinya. Pukul 09.30 sampailah kami di kampung Babakan desa Sukanagara yang memiliki ketinggian ±1.130 mdpl, setelah menempuh jarak sekitar 6,4 km. Nyaris tidak ada jalur mendatar di sini, meskipun memang tidak dijumpai juga tanjakan terjal seperti trek Leuweung Datar, namun tanjakan-tanjakan landai yang tanpa jeda tetap saja mampu menguras stamina. Trek ini sangat cocok bagi para goweser untuk menguji endurance, ketahanan fisik dan teknik cadence atau teknik mempertahankan ritme dan putaran gowesan kita.

Di sebuah warung kami semua beristirahat sejenak, menghindari sengatan sinar matahari yang semakin terik sambil menunggu teman – teman yang masih berjuang menaklukkan tanjakan – tanjakan menuju kampung Babakan. Di kampung ini terdapat sebuah pertigaan, ke arah kiri berupa jalur makadam menanjak adalah jalur yang menuju Leuweung Datar, sejauh kurang lebih 2 km, tepatnya menuju pertigaan di ujung tanjakan Gunung Bubut yang merupakan titik tertinggi dari trek uphill Leuweung Datar ini. Sedangkan jalur ke arah kanan adalah jalur yang akan kami tuju, yaitu menuju kampung Cimonce yang berada sekitar 1 km lagi di depan kami. Satu persatu  teman – teman yang berada di rombongan terakhirpun tiba di sini. Setelah hampir 1 jam kami beristirahat dan re-grouping kami pun mulai beranjak meninggalkan kampung Babakan, kembali mengayuh pedal sepeda di tengah sengatan sinar matahari menuju kampung Cimonce. Jalur yang kami lalui relatif datar, hanya saja aspal yang mulus mulai berganti jalur makadam, dan perjalanan kami masih saja ditemani pemandangan indah kawasan Bandung Utara dan sekitarnya. Belum lama kami melaju, seorang teman tergoda untuk membeli beberapa buah tomat segar yang baru saja dipanen sang petani, rupanya bayangan akan segarnya menikmati segarnya buah tomat di cuaca tengah hari yang panas ini membuat dia tergoda untuk membeli satu kantong tomat.

Pada pukul 10.35 wib selepas sebuah turunan kami berhadapan dengan sebuah tanjakan makadam yang lumayan curam, berat juga mengayuh pedal menaklukkan tanjakan ini, apalagi di tengah sengatan sinar matahari yang semakin mendekati tengah hari. Terengah – engah kami melewatinya, dan setelah sekitar 5 menit berjibaku, sampai juga kami di ujung tanjakan yang sebenarnya tidak begitu panjang ini. Setibanya di ujung tanjakan kami semua berhenti di sebuah pertigaan di sebuah tempat yang bernama Pasir Batu Bedil, sudah berada di kawasan kampung Cimonce. Di tempat ini kami beristirahat dan kembali re-grouping sambil menikmati buah tomat segar, nikmat sekali rasanya. Trek berikutnya yang akan kami lalui adalah sebuah turunan panjang dari kampung Cimonce menuju titik finish trek ini di jalan raya Soreang – Ciwidey di kampung Cukang Haur. Turunan dengan jarak sekitar 3 km dan elevasi sekitar 200 m ditambah dengan bonus pemandangan perbukitan di sebelah barat siap memanjakan kami di akhir trek ini. 5 menit kami meluncur menuruni sisa perjalanan ini, namun tiba – tiba godaan pemandangan indah perbukitan di hadapan kami memaksa kami untuk menghentikan sementara laju sepeda dan mengambil beberapa foto mengabadikan pemandangan indah di hadapan kami. Setelah puas berfoto – foto kami kembali meluncur turun, dan sekitar pukul 10.55 wib tibalah kami semua di tepi jalan raya Soreang – Ciwidey.

Kembali kami re-grouping di tepi jalan raya Soreang – Ciwidey dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju Bandung, spontan saya dan seorang teman ATB bersepakat untuk memberikan sedikit kejutan dalam perjalanan pulangnya, dengan tidak menyusuri jalan raya Soreang - Ciwidey yang mengarah ke Sadu tetapi saya sengaja mengarahkan rombongan menuju ke arah kota Ciwidey dulu. Teman – teman mulai bertanya – tanya, apalagi ternyata setelah ±500 m kami melaju, saya berbelok ke arah barat menuju sebuah jalan kecil. Kejutan pertama sudah semakin dekat, dan setelah melewati jembatan sungai Ciwidey tampaklah di hadapan kami 1 tanjakan curam yang lumayan panjang, itulah kejutan pertamanya. Tertatih – tatih kami melewati tanjakan ini, dan ujung dari tanjakan ini adalah sebuah pertigaan di jalan raya Sadu - Cikoneng – Ciwidey. Selain memberikan kejutan, tujuan saya melewati jalur ini adalah untuk menghindari jalur utama yang pasti akan sangat padat saat itu karena bertepatan dengan masa liburan long weekend akhir tahun, akan sangat tidak nyaman mengayuh sepeda di tengah lalu lintas yang sangat padat, karenanya jalur ini menjadi pilihan karena lebih sepi, lebih sejuk karena banyak dipayungi rerimbunan pohon – pohon bambu, juga cukup banyak pemandangan indah yang bisa dilihat di sepanjang jalur ini.

30 menit kami menyusuri jalur Cikoneng yang cukup mulus dan naik turun ini, tibalah kami kampung Sadu, di sinilah kejutan terakhir sudah saya siapkan untuk teman – teman gowes kali ini. Sepeda – sepeda tidak diarahkan menuju jalan utama, namun kembali menanjak sedikit ke arah barat kemudian masuk ke pematang sawah. Dan tak lama kemudian tampaklah di hadapan kami jembatan kereta api tua Sadu yang eksotis dan cukup terkenal itu, kami semua akan menggowes sepeda menyeberangi sungai Ciwidey dengan menyusuri jembatan kereta api tersebut. Semua tampak gembira menyambut sajian kejutan terakhir yang tidak terduga ini. Dan satu per satu sepedapun bergerak menyeberangi jembatan kereta ini, walaupun harus ekstra hati – hati karena di sepanjang jembatan tidak terdapat penghalang di samping kiri dan kanan jembatan. Tepat pukul 12 wib  siang kami semua sampai di ujung jembatan kereta api Sadu, kemudian bergerak menuju ke sebuah warung di ujung jembatan untuk beristirahat dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang kembali menuju Bandung.

Sebagai tambahan saja, apabila ingin mendapatkan sensasi yang berbeda dan ingin mendapatkan trek yang lebih menantang, rute trek ini bisa dibalik, start bisa dimulai di desa Sadu kemudian masuk ke Cimonce melalui Cukang Haur yang kondisi tanjakannya lebih terjal dan kondisi jalan yang tidak begitu bagus, penasaran?? selamat mencoba...... 




MENIKMATI SENSASI ROLLER COASTER TREK GUNUNG PUNTANG – BATUKARUT


Trek Gunung Puntang, di kecamatan Cimaung salah satu trek sepeda offroad yang sangat sayang untuk dilewatkan, terutama bagi para goweser pecinta XC dan XC trail dengan sajian tanjakan dan  turunan menantang di sepanjang jalurnya. Dikatakan menikmati sensasi roller coaster Dikatakan menikmati sensasi roller coaster karena selama perjalanan sejauh kurang lebih 13 km menyusuri lereng – lereng pegunungan Malabar kita akan disuguhi trek yang sangat variatif mulai dari trek mendatar, tanjakan – tanjakan dan turunan – turunan yang berkontur landai maupun curam, lurus atau dihiasi belokan tajam, dengan panjang tanjakan atau turunan yang beragam yang akan membuat kita harus mengeluarkan seluruh kemampuan fisik, mental dan skill bersepeda kita ketika melaluinya, apalagi apabila menyusurinya dalam kondisi trek basah selama musim penghujan. Padahal bila dilihat dari keseluruhan trek offroad ini dari titik start di gerbang buper Gunung Puntang di ketinggian ±1.285 mdpl sampai titik finish di kampung Kiarapayung di ketinggian ±1.015 mdpl, elevasi dari trek offroadnya hanya sekitar 250 m, namun kontur pegunungan Malabar-lah yang menjadikan kondisi trek ini sangat variatif. Dan di samping itu, di sepanjang perjalanan, mulai dari Cimaung sampai pada saat menyusuri trek offroad kita akan mendapatkan beragam kejutan, terutama bagi para goweser yang sudah biasa gowes di tempat lain namun pertama kali menginjakkan kakinya di sini, perjalanan menyusuri trek ini akan menjadi pengalaman yang sangat mengesankan, karena sangat sulit ditemui di trek lain. Kejutan – kejutan apa saja itu? Nanti akan kita ulas di paragraf – paragraf berikutnya.

Untuk mencapai titik start trek ini di gerbang buper Gunung Puntang, kita bisa menempuh rute Banjaran – Cimaung, dilanjutkan dengan menempuh jalan aspal menanjak sejauh 8 km menuju buper Gunung Puntang. Jalur aspal Cimaung - buper Gunung Puntang sendiri merupakan jalur uphill favorit di daerah Bandung Selatan yang cukup banyak dikunjungi para goweser setiap akhir pekannya. Bagi yang memiliki stamina prima, menuju titik start trek offroad Gunung Puntang ini bisa dicapai dengan mengayuh sepeda melaui rute – rute seperti tersebut di atas. Opsi lainnya yaitu menggowes sepeda dulu menuju pertigaan Cimaung dengan mencicipi tanjakan Kiang Roke yang landai namun cukup panjang, kemudian me-loading  sepeda kita dari pertigaan Cimaung menuju buper Gunung Puntang bisa juga dijadikan alternatif. Atau kita bisa juga memilih untuk loading  langsung dari Bandung menuju gerbang buper Gunung Puntang. Saya dan teman – teman ingin menghemat tenaga dulu supaya lebih maksimal ketika menyusuri trek offroad-nya memilih opsi kedua, gowes dulu sampai Cimaung untuk pemanasan, dilanjutkan dengan me-loading  sepeda dari pertigaan Cimaung gerbang buper Gunung Puntang.

15 menit berlalu, pukul 09.45 saya dan teman – teman sampai di dekat gerbang buper Gunung Puntang, tepatnya di depan sebuah taman wisata. Kejutan pertama adalah ongkos loading  yang murah, satu unit mobil pick up berkapasitas 15 orang bersedia mengangkut kami dari Cimaung sampai gerbang buper hanya dengan ongkos 150 ribu saja, setelah dibagi dengan jumlah teman – teman yang ikut gowes pada kesempatan kali ini sebanyak 16 orang, jumlah iuran per-orangnya cukup membuat terkejut teman – teman goweser yang biasa loading  di daerah Bandung Utara dan sekitarnya. Satu – per satu sepeda pun diturunkan dari mobil kemudian dicek kembali sistem pengereman, shifting, dan tekanan bannya untuk memastikan semuanya dalam kondisi baik ketika kami mulai memasuki trek offroad. Ini untuk meminimalisasi kemungkinan gangguan yang mungkin terjadi selama perjalanan, mengingat trek yang dihadapi sangat beragam mulai dari tanjakan, turunan baik yang berupa trek tanah maupun makadam yang pastinya akan membuat sepeda kita bekerja keras. Setelah semuanya oke, satu per satu sepeda pun mulai memasuki singel trek mengarah ke utara memasuki hutan pinus. Sedikit turunan di awal trek dengan kondisi tanah yang becek sedikit berlumpur mulai membangkitkan semangat kami menggowes, semangat ini akan  sangat dibutuhkan untuk menghadapi tanjakan di depan yang sudah menghadang. Dengan stamina yang masih segar, tanjakan basah nan licin ini bisa dilalui tanpa harus dengan “tuntun bike” atau TTB, namun memang dibutuhkan kemampuan teknik pedalling dan handling sepeda yang bagus apabila ingin melewati tanjakan ini dengan mulus. Ada beberapa yang bisa melewati tanjakan becek ini dengan mulus, tapi ada juga yang gagal dan akhirnya memilih ber-TTB untuk melewatinya.

10 menit berlalu, setelah menyusuri trek yang cukup datar, tibalah kami di sebuah turunan yang lumayan panjang dan curam, kami menamai turunan ini Turunan Kopi, karena ujung turunan ini berada di rerimbunan pohon – pohon kopi hasil program PHBM beberapa tahun lalu. Sebenarnya turunan ini akan sangat enak untuk dilalui ketika kering atau sedikit basah, apabila kondisi trek sangat basah, selain tanah merah akan terbawa ban sepeda dan tersangkut di fork atau chainstay yang akhirnya akan mengunci sepeda kita, juga di beberapa tempat kondisi trek menjadi sangat licin, siap menjatuhkan kita dari sepeda. Turunan kopi  saat itu lumayan bersahabat, basah tapi tidak berlumpur, cukup enak untuk memacu sepeda, dengan dihiasi beberapa belokan cukup tajam, sayang rasanya kalau tidak mencoba untuk memacu adrenalin di turunan ini sampai ke ujungnya di rerimbunan pohon kopi, asal tetap berkonsentrasi mengendalikan sepeda supaya roda tidak masuk ke monorel dan membuat kita terjerembab mencium tanah. Biasanya di rerimbunan pohon kopi ini kami beristirahat cukup lama, selain untuk membersihkan tanah yang tersangkut di fork atau chainstay, juga untuk re-grouping, namun karena kali ini trek cukup bersahabat, sepeda masih “relatif bersih” kami pun langsung melanjutkan perjalanan tanpa jeda dulu di spot ini.

Kejutan berikutnya sudah menanti di depan kami, 10 menit kami berjalan meninggalkan turunan kopi kami pun bertemu dengan trek yang sebenarnya adalah sebuah parit berair cukup jernih dan deras, kali ini kita akan mengayuh sepeda melalui parit sepanjang ± 25 m, asyik sekali mengayuh sepeda melintasinya, namun harus tetap berhati – hati karena di sekitar parit banyak terdapat kerikil lepas yang akan mengganggu handling sepeda kita, bahkan tidak mungkin akan membuat kita terjatuh. Mengayuh pedal melintasi parit berair ini menjadi kejutan sekaligus pengalaman berkesan terutama bagi para goweser yang pertama kali menginjakkan kakinya di trek ini. Hiburan yang tersaji masih berlanjut, ujung dari parit ini adalah sebuah turunan yang cukup menantang yang berujung di sebuah sungai. Ketika menuruninya sebaiknya kita menunduk saja memperhatikan arah dan mengendalikan laju sepeda, menikmati sepeda yang meluncur turun dimainkan gravitasi, jangan dulu mengangkat kepala karena kalau kita mengangkat kepala maka akan terlihat di depan kita sebuah tanjakan siap menanti, jangan sampai kenikmatan kita meluncur turun harus terganggu karena melihat tanjakan yang akan dihadapi berikutnya.

Setelah melintasi sungai kecil tadi tibalah kita di mulut tanjakan, cukup panjang dan berbelok di ujungnya. Di ujung belokan itu ada spot yang cukup luas dan nyaman untuk kita beristirahat sejenak mengatur nafas. 10 menit kami tertatih – tatih menuntun sepeda melewati tanjakan ini. Pukul 10.25 kami tiba di ujung tanjakan, sebuah tempat yang cukup nyaman, luas dan teduh karena dipayungi rerimbunan pohon – pohon pinus, kami pun beristirahat dan re-grouping. Beberapa teman segera membuka bekal makanan kecil dan snack untuk sekedar mengganjal perut yang mulai lapar. Kami belum akan membuka bekal makan siang di sini, karena sesi makan siang akan menjadi kejutan penutup di akhir perjalanan sesuai dengan yang sudah direncanakan sejak jauh – jauh hari.

10 menit kami beristirahat di sini dan kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju spot berikutnya yaitu Tanjakan Langit 1, yang biasanya menjadi titik pertemuan dari beberapa jalur yang ada di trek offroad Gunung Puntang ini, terutama bagi para motocrosser. Untuk menuju Tanjakan Langit ini kami akan disuguhi trek menurun yang cukup panjang dan menantang, apabila sedang kering trek ini seakan menjadi surga bagi para goweser pencinta turunan/ downhill, mereka akan memacu sepeda mereka melahap turunan – turunan menantang menuju Tanjakan Langit. Sebelum menuju ke turunan tersebut kami harus menyusuri dulu trek mendatar dengan diselingi beberapa tanjakan dan turunan landai. Fisik yang sudah agak melemah menjadikan perjalanan menjadi agak melambat, mental mulai agak bermain di sini. Namun rasa lelah cukup terobati dengan indahnya pemandangan sekitar yang menghijau, eksotisme lereng – lereng curam, dan segarnya udara pegunungan Malabar. 15 menit kami menempuh jalur tersebut sebelum akhirnya kami sampai juga di di mulut turunan. Segmen pertama dari turunan ini adalah sebuah turunan curam di bawah rimbunnya pohon – pohon pinus. Treknya meliuk – liuk melintasi akar – akar yang dihiasi guguran daun pinus, ditambah kondisi tanah yang basah akan sedikit menegangkan pastinya melintasi segmen pertama dari turunan ini. Berbekal nyali saja rasanya tidak akan cukup untuk bisa membawa sepeda melewati trek di sela – sela pepohonan, karena roda sepeda kita akan menginjak tanah basah dan akar – akar licin ditambah guguran daun. Harus disertai dengan konsentrasi dan kemampuan mengendalikan sepeda yang baik untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus.  Setelah melewati rerimbunan pohon pinus kondisi trek menurun ini menjadi agak bersahabat, karena dari sini trek menjadi terbuka sehingga sinar matahari bisa leluasa masuk dan membuat trek menjadi sedikit kering, dari sini kami pun memacu sepeda menuju sebuah persimpangan yang kedua – duanya sama menuju ke Tanjakan Langit, namun dua trek menurun ini menawarkan karakteristik turunan yang berbeda. Jalur yang mengarah ke kiri tipikal turunannya pendek – pendek dan curam, dihiasi beberapa belokan tajam, sangat cocok bagi para goweser yang menyukai turunan yang penuh tantangan. Apalagi dalam kondisi trek basah seperti saat ini, dalam kondisi kering pun trek ini sama menantangnya, karena tanah yang kering menjadi gembur dan lepas, sama memberi efek licin ketika melintasinya. Sedangkan turunan yang mengarah ke kanan menyajikan karakteristik turunan tidak begitu curam namun panjang dan minim belokan tajam. Kami mengambil jalur kanan karena kebetulan saja kami sudah lama tidak mencoba turunan itu, sepeda – sepeda meluncur cepat melintasi turunan mengasyikkan itu. 10 menit kami dimanjakan turunan – turunan tersebut sebelum akhirnya sampailah kami di Tanjakan langit yang memiliki ketinggian ±1.230 mdpl.

Spot Tanjakan Langit adalah sebuah dataran cukup luas dan datar di ujung tanjakan terjal yang dikenal dengan nama Tanjakan Langit, disini juga terdapat saung bambu yang terkadang dijadikan warung makanan. Tempat ini menjadi tempat beristirahat para crosser sekaligus untuk mendinginkan mesin motor mereka sehabis menjajal terjalnya tanjakan ini, terutama bagi para crosser yang mengambil start dari Ciapus atau daerah – daerah di bawah lokasi Buper Gunung Puntang. Kami para goweser juga menjadikan tempat ini sebagai tempat beristirahat karena tempatnya cukup luas, sehingga leluasa untuk sekedar menjadi tempat beristirahat juga sebagai tempat untuk mengecek lagi kondisi sepeda setelah melahap trek sebelumnya. Sekitar 10 menit kami berhenti di tanjakan langit untuk beristirahat dan memeriksa kembali kondisi sepeda masing – masing, khususnya pada sistem pengereman, drivetrain dan tekanan ban setelah sebelumnya sekitar 1 jam lebih sepeda kami “siksa”. Setelah semua siap kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Tegal Caang, kondisi trek yang dilalui masih berupa turunan panjang dengan belokan – belokan landai dihiasi dengan sembulan akar – akar pinus dan monorel. Untungnya saat kami melintasinya, kondisi trek agak lebar, mungkin beberapa waktu ke belakang ada yang membersihkan pinggiran trek ini. Dengan kondisi ini kami bisa mengarahkan sepeda ke pinggiran trek untuk menghindari jebakan monorel . 5 menit berlalu dan sekitar pukul 11.15 sampailah kami di Tegal Caang, sebuah spot yang cukup indah karena berada di ujung punggungan, sehingga kita dapat menikmati pemandangan di arah barat, yang terhampar di kejauhan pemandangan kota Soreang, Banjaran, Baleendah dan sekitarnya. Di sini juga terdapat persimpangan, yang mengarah ke barat menuruni punggungan akan yang membawa kita ke Ciapus kota Banjaran, dan ke arah utara yang akan kami tuju adalah arah menuju kampung Cigentur Batukarut. Kembali kami berhenti di sini untuk re-grouping dan mengabadikan pemandangan indah di hadapan kami yang sangat sayang untuk dilewatkan. Di sini kami mengumpulkan tenaga, mengembalikan stamina yang sudah melemah, untuk menempuh perjalanan berikutnya menuju tanjakan langit 2, trek kebun kopi yang menanjak dan berbatu – batu, tanjakan mata air, rawa dan tanjakan hutan bambu sebelum akhirnya kami akan disuguhi sajian terakhir berupa turunan sangat panjang sampai di titik finish di Batukarut plus beberapa kejutan lain yang telah siap menanti kami.  

Kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju tanjakan langit 2, sebuah tanjakan terjal dan panjang dengan 1 belokan tajam di tengahnya, kembali menanjak menuju ujungnya. 15 menit kami berjibaku melewati tanjakan ini, dan sesampainya di ujung tanjakan kami hanya berhenti sekitar 5 menit saja sekedar untuk mengatur nafas yang terengah – engah, karena di ujung tanjakan tidak ada tempat yang cukup luas untuk beristirahat juga karena waktu yang semakin beranjak siang sedangkan kami harus mengejar waktu untuk makan siang di lokasi yang sudah direncanakan sebelumnya. Dari ujung tanjakan kondisi trek relatif datar meskipun ada di beberapa titik sedikit menanjak, tapi  di sepanjang trek ini kami bisa mengayuh pedal sepeda dengan leluasa menuju sebuah pertigaan di sebuah sungai yang mengering. Dari sini terdengar raungan motor – motor cross yang juga tengah melintasi trek ini, pada jarak beberapa puluh meter di depan, kami pasti akan berpapasan dengan mereka. Lalu  sepeda kami arahkan ke kanan memasuki kebun kopi bawah rimbunnya pohon – pohon pinus, trek sedikit menanjak dan di sepanjang treknya banyak terdapat batu – batu besar sehingga sepeda tidak bisa lagi kami naiki, kami semua ber-TTB melewati kebun kopi ini.

Selepas kebun kopi spot yang dituju berikutnya adalah mata air, dan selama perjalanan menuju mata air kami sempat berpapasan dan berhenti di beberapa titik memberi jalan kepada beberapa rombongan motocross yang juga melintasi trek yang kami lalui. Untuk menuju spot mata air kami harus melewati 1 tanjakan terjal, panjang tanjakan sekitar 15 m, tapi karena kondisinya basah dan berlumpur, melewati tanjakan ini terasa sangat menyiksa. Ketika langkah - langkah menapaki tanjakan, kaki seakan tidak mendapatkan pijakan, pasti melorot lagi. Ditambah lagi harus menuntun sepeda, semakin bertambah penderitaan kami, beberapa teman mencoba untuk memanggul sepeda, namun ternyata itu pun bukan opsi yang bagus untuk melewatinya. Fisik dan mental prima kembali bermain di sini, ditambah dengan kerjasama yang solid kami saling membantu berusaha melewati tanjakan ini. Kami pun berjajar di pinggiran tanjakan di tanah yang masih agak berumput dan memiliki undakan, satu per satu sepeda kami estafetkan sampai ke ujung tanjakan, 15 menit kami harus berjuang untuk melewati tanjakan yang “hanya”  berjarak 15 m saja. Tapi satu kejutan sudah menanti di hadapan kami, di ujung tanjakan, itu yang membuat kami bersemangat untuk segera melewati tanjakan berlumpur ini. Sebuah mata air di ujung tanjakan, tepat di bawah trek yang kami lewati siap menyegarkan kerongkongan dan badan kami yang lelah disiksa tanjakan. Setiba di ujung tanjakan, beberapa teman bergegas menuruni tebing setinggi sekitar 5 m menuju sumber mata air yang berada di celah bebatuan, dari celah itu mengalir air yang sangat jernih, membuat tergoda kami untuk segera meminumnya. Satu per satu botol – botol air minum diisi penuh, dan kemudian mengalirlah air murni pegunungan malabar membasahi kerongkongan, membuat kami seakan mendapatkan kembali tenaga baru untuk menyelesaikan trip ini. Sekali lagi, bagi goweser yang pertama kali ke sini, suguhan air segar alami langsung dari sumbernya akan menjadi pengalaman yang mengesankan dan sulit untuk dilupakan.

10 menit kami berhenti di sini, kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali, dan langsung berhadapan dengan tanjakan berlumpur yang tipikalnya mirip sekali dengan tanjakan di bawah mata air tadi. Berbekal pengalaman melewati tanjakan pertama, kami pun langsung membuat formasi berjajar di sepanjang sisi tanjakan untuk mengestafetkan sepeda – sepeda, untuk kali ini kami juga menggunakan seutas tambang sebagai alat tambahan sehingga kami bisa lebih cepat dan lancar menaklukkan tanjakan lumpur kedua ini. Spot berikutnya yang kami lalui adalah rawa, trek di sini menurun, memasuki lahan basah yang mirip rawa, kemudian menanjak landai dan sedikit jalur mendatar menuju hutan bambu. Dengan memasuki hutan bambu ini berarti kami sudah berada di bagian akhir dari singel trek Gunung Puntang. Mulai dari sini trek seluruhnya menurun, diawali singel trek menuju bendungan, dilanjutkan dengan trek makadam di hutan pinus dan ladang penduduk menuju kampung Kiara Payung, dan diakhiri dengan jalan aspal menurun menuju Batukarut.  
Pukul 12.45 ketika perut sudah semakin menjerit minta segera diisi, satu per satu pun meluncur meninggalkan hutan bambu memasuki singel trek menurun bertanah basah nan licin di antara rerimbunan pepohonan Kaliandra. Beberapa teman terjerembab mencium tanah terkena jebakan monorel, namun semua tetap gembira dan menikmati sensasi yang disajikan turunan ini. Selepas sebuah pertigaan, kondisi trek menjadi agak kering karena tidak lagi dipayungi rerimbunan pohon kaliandra, kami semakin memacu sepeda menuju ujung singel trek di sebuah pertigaan. Semua tiba di pertigaan di mulut trek makadam dengan wajah – wajah gembira setelah disuguhi turunan sebelumnya. Kami kemudian mengambil arah kiri di pertigaan tadi menuju kejutan terakhir, yaitu istirahat dan makan siang di pinggir bendungan berlatarkan sisi utara pegunungan Malabar. Kami bergegas mengayuh sepeda menuju bendungan, dan wajah – wajah gembira itu terlihat semakin sumringah melihat kejutan terakhir dari perjalanan menyusuri trek offroad Gunung Puntang ini.
Pukul 13.00 kami pun tiba di bendungan yang memiliki ketinggian ±1.190 mdpl ini, setelah mendapatkan lokasi yang cukup nyaman di pinggir bendungan kami semua memarkir sepeda – sepeda dan segera membuka dan kemudian menikmati bekal makan siang dengan lahap. Rasa gembira dan kepuasan seakan berlipat – lipat, tanjakan – tanjakan terjal seakan terlupakan setelah dimanjakan dengan turunan – turunan, segarnya meminum air dari mata air, dan sekarang ditutup dengan makan siang bersama di bendungan yang cukup indah dan sunyi ini. Ini masih belum cukup, di akhir perjalanan turunan panjang masih menanti kami. Hampir 1 jam kami berada di tempat ini, sekitar pukul 13.55 kami pun beranjak meninggalkan bendungan indah nan sunyi ini untuk menuntaskan perjalanan. Turunan makadam panjang dari pertigaan bendungan – ujung singel trek menuju pinggiran hutan pinus, berlanjut menuruni makadam di tengah ladang – ladang penduduk menuju ujung trek offroad di kampung Kiara Payung, kemudian ditutup dengan menyusuri jalan aspal menurun sejauh ± 3 km menuju titik finish di kampung Cigentur Batukarut yang berketinggian ± 730 mdpl, dari bendungan sampai kampung Cigentur secara keseluruhan kami akan meluncur turun dengan elevasi ± 460 m, sangat mengasyikkan.
Satu per satu sepeda meluncur turun di trek makadam hutan pinus menuju ladang penduduk dan kemudian memasuki jalan aspal di kampung Kiara Payung. Di kampung Kiara Payung kami berhenti sejenak untuk re-grouping, dan kembali melanjutkan perjalanan meluncur menyusuri jalan aspal menurun yang relatif mulus menuju kampung Cigentur. Sekitar pukul 14.15 kami tiba di kampung Cigentur, setelah re-grouping sekali lagi kami pun beranjak meninggalkan kampung Cigentur memasuki jalan Banjaran – Arjasari menuju jalan raya Banjaran, dan pulang ke rumah masing – masing dengan membawa berjuta momen dan pengalaman berkesan selama menyusuri trek roller coaster Gunung Puntang – Batukarut ini.


GOWES PIKNIK TREK KERTAMANAH -CURUG PANGANTEN-CINYIRUAN


Sekali lagi Pangalengan menawarkan trek XC yang sangat menarik dan menantang, lokasinya masih di sekitar perkebunan Kertamanah . Untuk gowes kali ini kami akan mencoba trek Kertamanah -Artavella kemudian dilanjutkan piknik ke Curug Panganten dan finish di kampung Cinyiruan, masih di daerah perkebunan Kertamanah . Salah satu sesi acara dari gowes kali ini adalah piknik sekaligus botram atau makan bersama di area Curug Panganten sebelum kemudian meluncur menuruni perbukitan dari Artavella sampai Cinyiruan. Trip kali ini merupakan kombinasi dari trek Artavella-Campaka, dan dilanjutkan dengan menyusuri singel trek Campaka-Cinyiruan yang merupakan bagian dari trek Kertamanah -Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Sudah terbayang keasyikan yang akan kami dapatkan dari trip kali ini, sebelumnya kami pernah mencoba trek Kertamanah -Bojongwaru yang memiliki turunan-turunan menantang,dan kali ini trek ini akan disatukan dengan trek Artavella yang posisinya lebih tinggi dari Kertamanah , yang baru pertama kali kami coba. Bisa dibayangkan keasyikan yang akan didapatkan ketika sepeda-sepeda kami meluncur menuruni perbukitan dari ketinggian ±1960 mdpl menuju ketinggian ±1550 mdpl.

Seperti biasa kami berangkat pagi - pagi dari Bandung, sepeda kami loading dengan menggunakan 1 unit truk. Sampai di penangkaran rusa Kertamanah  sekitar pukul 9.15 dan sepeda kami turunkan di sini, kami berencana untuk mulai menggowes dari sini menuju Artavella sejauh kurang lebih 5 km. setelah mempersiapkan sepeda masing-masing dan menyantap cemilan sekedar untuk mengganjal perut dan menambah stamina, kami pun memulai perjalanan menuju Artavella dengan menempuh jalur Campaka menuju titik pemberhentian pertama di daerah kampung Cibitung . Jarak dari Campaka ke kampung Cibitung  kurang lebih 2 km, berupa jalan makadam dan tanjakan-tanjakan landai, kami masih bisa menikmati perjalanan ini, meskipun tetap saja membuat nafas menjadi lebih cepat dan jantung berdetak lebih kencang, lumayan sebagai pemanasan.

Sebenarnya selain melewati Campaka, jalur menuju kampung Cibitung  bisa juga ditempuh melalui jalur PLTP Wayang - Windu yang kondisi jalannya beraspal dan relatif masih mulus, hanya saja melewati jalur ini jalan yang dilalui sedikit memutar dan lebih banyak dihiasi tanjakan-tanjakan. Dengan mengambil jalur Campaka maka tenaga bisa dihemat karena  mulai dari kampung Cibitung -lah baru akan ditemui tanjakan – tanjakan yang lebih berat menuju Artavella. Ujung dari jalur makadam ini adalah sebuah perempatan yang lokasinya berada di atas kampung Cibitung , yang juga menjadi pertemuan dengan jalur dari PLTP Wayang – Windu. Mulai dari sini kondisi jalan menjadi beraspal, dengan kerusakan di beberapa bagiannya, sedikit memudahkan kami untuk mengendalikan sepeda. Namun ternyata mulai dari sini tanjakan yang dijumpai mulai terasa lebih berat.

Hari semakin terik, mengayuh pedal di jalan menanjak di ketinggian lebih dari 1600 mdpl benar – benar menyiksa. Gowesan terasa sangat lambat dan berat, ditambah dengan gersangnya kondisi di sekitar jalur yang dilalui, hampir tidak ditemui tegakan pepohonan rindang yang memayungi kami, benar – benar menjadi ujian fisik dan mental untuk melaluinya. Dengan sendirinya rombongan kami terbagi menjadi 3 grup, grup yang berada paling depan adalah teman – teman yang memiliki stamina prima, mereka mengayuh pedal sepeda dengan stabil, kecepatan konstan dan tanpa istirahat  meskipun di jalan menanjak. Grup kedua yang berada di tengah adalah yang stamina dan kondisi fisiknya pas – pasan namun masih berusaha mengayuh pedal melewati jalur ini, dan sebisa mungkin tanpa TTB, meskipun akhirnya setiap sehabis melewati satu tanjakan harus berhenti untuk mengatur nafas dan mengistirahatkan otot – otot kaki yang mulai menegang, untuk kemudian kembali mengayuh sepedanya melanjutkan perjalanan, slogan penyemangat yang biasa dipakai adalah “biar lambat asal tidak TTB”. Sedang grup yang terakhir adalah teman – teman yang lebih memilih untuk sepenuhnya ber-TTB, menuntun sepeda – sepeda mereka. Sebagian ada yang memang sudah kehabisan tenaga sejak memasuki jalan aspal di Cibitung  tadi, atau ada juga yang TTB karena sepeda – sepeda mereka berspesifikasi FR yang akan membuat pengendaranya sangat tersiksa apabila mencoba mengendarai sepedanya di jalur aspal menanjak ini. Namun yang harus diapresiasi dari grup ketiga ini adalah mental dan semangat mereka yang kuat untuk terus melanjutkan perjalanan meskipun harus bersusah payah menuntun sepeda, dan menjadi yang paling lambat di antara rombongan ini. Tidak terasa jarak Kertamanah  – Artavella yang “hanya” 5 km harus ditempuh selama 2 jam, karena sepanjang jalan yang dilalui adalah tanjakan – tanjakan yang nyaris tanpa jeda yang akhirnya membuat waktu tempuhnya menjadi sedemikian lama.

Titik pemberhentian kami berikutnya adalah Artavella di ketinggian ±1960 mdpl, tempat ini adalah sebuah pertigaan yang salah satu jalurnya menuju ke Curug Panganten. Di kawasan ini pula jalan aspal berakhir, di sebuah sumur sumber gas bumi PLTP Wayang – Windu. Sekitar pukul 12 sampailah kami di Artavella, dari pertigaan ini kami menuju ke arah utara untuk beristirahat sejenak di sebuah warung kecil yang berada di tengah – tengah ladang sayuran dan tegakan pohon – pohon Eukaliptus. Warung ini menjadi tempat beristirahat dan menjadi penyedia kebutuhan para petani penggarap seperti rokok, minuman ringan, makanan kecil dan sebagainya selagi mereka bekerja di sekitar sini. Kami pun beristirahat di warung ini, menyantap makanan kecil dan cemilan untuk mengembalikan stamina yang terkuras selama perjalanan dari Kertamanah  tadi. Setelah beristirahat sekitar 45 menit kami pun melanjutkan sisa perjalanan menuju Curug Panganten. Jalur yang harus ditempuh adalah sebuah singel trek menurun di tengah – tengah ladang, di ujung turunan sana jalur terlihat menanjak sampai ke batas hutan. Setelah sedikit menghibur diri dengan meluncur di turunan yang tidak terlalu panjang itu sampailah kami di sebuah jembatan kecil di ujung turunan tadi, dan di depan kami adalah sebuah singel trek menanjak di tengah ladang sayuran dan kemudian disambung dengan hamparan lahan bukaan yang kelihatannya belum lama diolah dari hutan tak lama lagi akan menjelma menjadi ladang - ladang sayuran. Melihat dari kondisinya tidak memungkinkan untuk mengendarai sepeda melewatinya, akhirnya kami semua pun menuntun sepeda masing – masing merayapinya, dan setelah bersusah payah melewati ladang dan kemudian menuju ke lahan bukaan bertanah gembur yang menyulitkan kaki untuk melangkah, pukul 13 akhirnya sampai juga kami di batas hutan yang ditandai oleh pagar memanjang yang memisahkan kawasan hutan dan lahan bukaan. Batas hutan ini berada di sebuah punggungan, ini berarti perjalanan kami berikutnya menuju curug untuk sementara tidak akan menemukan tanjakan-tanjakan, namun trek yang sempit karena berada di pinggir jurang tidak memungkinkan untuk membawa sepeda sampai ke lokasi curug, kami pun memutuskan untuk menyimpan sepeda di batas hutan.  Setelah memastikan sepeda dalam posisi aman kami pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi curug. Singel trek menuju lokasi curug selain sempit juga licin karena memang curug ini cukup tersembunyi di tengah hutan sehingga tidak begitu banyak orang yang mengetahui keberadaan Curug Panganten ini, membuat lokasi di sekitarnya pun masih asri dan terjaga kealamiannya.

Setelah berjalan meniti singel trek sempit dan licin kurang lebih 100 m, sampailah kami di sebuah belokan, sampai di belokan ini suara gemuruh air terjun belum terdengar, baru lah setelah kami melewati punggungan kecil gemuruh suara air terjun terdengar, tak lama kemudian di hadapan kami tampaklah 2 curug kembar berdampingan setinggi ± 30 m, itulah Curug Panganten, indah sekali. Airnya yang deras namun jernih menimbulkan semburan angin bercampur dengan uap - uap air yang membasahi tubuh kami. Sejenak awan tersibak dan matahari menyinari curug ini, seketika itu pula selarik pelangi muncul di hadapan kami, dahsyat..!! Semua rasa lelah hilang berganti rasa takjub dan gembira menyaksikan sajian alam yang menakjubkan di hadapan kami. Beberapa teman spontan menjerit bahagia mengekspresikan rasa hati mereka mendapati semua keindahan ini.

Segera kami mendekati curug, mengambil posisi terbagus dan kemudian berfoto – foto mengabadikan keindahan Curug Panganten ini. Namun kami tidak sempat berenang disini, meskipun saat itu air curug tidak begitu besar membuat air curug cukup jernih, karena berhubung hari yang sudah semakin siang sementara perjalanan kami masih cukup jauh. Juga posisi Curug Panganten yang berada di ketinggian lebih dari 2000 mdpl membuat suhu di sekitar sini cukup dingin, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 14.00 wib. Kami pun segera menuju acara utama kami yang sudah direncanakan yaitu botram alias makan bersama. Kami mengambil spot di sebuah tempat yang agak lapang, di balik sebuah belokan supaya ketika kami makan kami tidak akan kebasahan terkena terpaan uap air curug. Perut yang sejak dari tadi meminta untuk diisi akhirnya bisa mendapatkan bagiannya, kami segera membuka dan memakan perbekalan yang kami bawa. Nikmat sekali menyantap makanan ketika rasa lapar sudah mencapai puncaknya sambil diiringi deru air terjun Curug Panganten, sempurna. Beberapa teman segera memanaskan air dan membuat teh dan kopi, semakin terasa sempurna suasana botram saat itu, beristirahat setelah perut kenyang terisi sambil menikmati indahnya Curug Panganten dengan ditemani segelas teh panas. Tidak terasa 1 jam lebih kami berada di tempat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 15, kami harus segera meninggalkan Curug Panganten karena kami masih harus menuntaskan sisa perjalanan trip ini menuju titik finish di kampung Cinyiruan.

Kami pun kembali berjalan menyusuri singel trek menuju batas hutan ke tempat sepeda  diparkir, segera mempersiapkan sepeda masing – masing dan sepeda pun melaju membelah lahan – lahan bukaan dan ladang – ladang sayuran menuju Artavella. Setelah regrouping  kami pun segera meluncur meninggalkan Artavella untuk menjemput kejutan – kejutan yang akan kami jumpai di trek menurun di depan. Seperti sudah disebutkan di atas, posisi Artavella berada di ketinggian ±1960 mdpl dan perjalanan akan menuju kampung Cinyiruan di ketinggian ±1550 mdpl, meluncur turun di sepanjang singel trek membelah ladang – ladang sayur dan perkebunan teh dengan elevasi ± 400 m pasti akan memberikan sensasi yang luar biasa, apalagi buat para pencinta downhill dengan sepeda FR-nya yang sejak dari kampung Cibitung sudah harus menuntun sepedanya, sekaranglah saatnya bagi mereka untuk “membalas dendam”. Dari pertigaan Artavella kami menuju ke arah timur menuju ujung jalan aspal di sebuah sumur gas milik PLTP Wayang – Windu, dari sana mulai masuk singel trek, dan selepas sumur gas tersebut terbentanglah singel trek meliuk – liuk menuruni perbukitan di bawah kami, berlatar ladang sayuran dan perkebunan teh.  kota Pangalengan dan Situ Cileunca di kejauhan terlihat seakan dibentengi oleh deretan pegunungan kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Sejenak kami berhenti untuk mengabadikan pemandangan menakjubkan ini, dan selanjutnya kami pun memacu sepeda masing – masing menuruni singel trek yang masih terhitung mulus ini. Turunan pertama yang kami hadapi adalah sebuah turunan yang cukup curam dan panjang, kami menamainya “Turunan 45” , karena tingkat kemiringannya yang ekstrem, juga karena di sini kami diharuskan untuk memiliki “semangat 45” untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus. Beberapa teman sukses menuruninya, terutama mereka yang mengendarai sepeda AM dan FR. Saya dan teman – teman yang bersepeda XC dengan travel fork maksimal 120 mm pun tidak mau ketinggalan untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus walaupun kami harus dengan berhati – hati ekstra konsentrasi. Beberapa teman ada yang gagal dan terjatuh ketika melewatinya, namun semua tetap gembira

Di turunan ini sebagian dari kami memang masih belum bisa menikmatinya, mungkin masih beradaptasi. Tapi di turunan – turunan berikutnyalah kami semua bisa sepenuhnya menikmati sajian trek menurun ini. Setelah menyeberangi sebuah sungai kecil sampailah kami di sebuah turunan panjang yang cukup landai, bebas monorail dan cukup lebar pula, kurang lebih 1m lebarnya. Di sinilah kami benar – benar bersenang – senang mengendarai sepeda yang melaju kencang, melibas belokan – belokan yang membentuk berm – berm  alami, juga melakukan jump  di dropoff yang juga terbentuk secara alami. Tidak terasa sampailah kami di sebuah persimpangan, ini adalah titik awal dari trek Kertamanah  – Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Jadi mulai dari sini kami akan menyusuri trek Kertamanah  – Bojongwaru, yang masih dihiasi turunan – turunan menantang dan mengasyikkan meskipun di beberapa bagian ada dihiasi tanjakan – tanjakan. Namun karena pertimbangan waktu yang sudah beranjak sore (sekitar pukul 15.30 kami tiba di persimpangan ini) maka diputuskanlah kami akan menyusuri separuh atau ½ bagian dari trek Kertamanah  – Bojongwaru ini dan akan mengambil titik finish di Makam Belanda Gerard Alfred Cup kemudian turun menuju kampung Cinyiruan.

Kembali kami mengayuh pedal mengarah ke timur menuju turunan di sebuah lembah, dan satu per satu sepeda meluncur turun menuju ujung turunan yang berupa sungai kecil, dan seperti biasa, sebuah turunan di lembah yang diakhiri sebuah sungai, pastilah kita akan berhadapan dengan tanjakan, begitu pula di sini, kami sekarang berhadapan dengan sebuah tanjakan yang akan membawa kami menuju jalan aspal untuk kemudian nanti kembali masuk ke singel trek “walungan saat”. Di persimpangan tadi kami berada di ketinggian ±1550 mdpl, dan kami akan menyusuri singel trek disambung dengan jalan aspal menanjak ini menuju ketinggian ±1750 mdpl, untuk kemudian turun lagi ke kampung cinyiruan di ketinggian ±1500 mdpl. Lumayan setelah berjibaku dengan tanjakan yang cukup melelahkan ini kami akan mendapatkan bonus turunan panjang di trek “walungan saat” sampai ke makam Mr. Cup. Tiba di persimpangan menuju trek “walungan saat” kembali kami beristirahat mengatur nafas sekaligus menunggu teman – teman yang masih berjuang mengayuh pedalnya menuju ke sini. Di sini kami beristirahat sambil menikmati pemandangan perkebunan teh yang menakjubkan, cukup untuk sedikit mengembalikan stamina. Setelah regrouping kami pun satu per satu mulai menuruni trek “walungan saat” yang diawali dengan “pumping track” atau trek yang berupa gundukan – gundukan kecil, enak sekali melewatinya, apalagi dengan sepeda yang bersuspensi mumpuni. Selepas ini singel trek berubah sedikit mulus dengan hiasan 1 belokan tajam membentuk berm, nikmat sekali melewati turunan berbelok ini, dan setelah ini barulah kami melewati singel trek yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan sungai kering, banyak batu – batu besar juga cerukan – cerukan dalam, karena itulah trek ini dinamai “walungan saat” yang dalam bahasa indonesia berarti sungai yang kering. Dari sini disambung kembali dengan turunan yang cukup landai dan agak lebar dihiasi rerumputan yang merupakan sajian penutup dari trip kali ini, di sini kami  memacu sepeda sambil tetap waspada dan konsentrasi karena di beberapa bagian terdapat batu – batu lumayan besar yang tertutup rerumputan.


Akhirnya sekitar pukul 16.30 sore sampailah kami di makam belanda Mr. Cup, dan setelah semua berkumpul kami pun masuk ke jalan makadam menurun menuju kampung Cinyiruan. Ada sedikit rasa penasaran karena masih banyak turunan menantang apabila kami melanjutkan trip ini hingga kampung Bojongwaru. Tapi tidak apa – apa, karena kami sudah berencana akan mencoba sekali lagi trip ini, start  dari Artavella dan  finish bukan di Bojongwaru pangalengan, melainkan lebih jauh dari itu, treknya akan diperpanjang hingga menuju Datar Mala dan finish di Cikalong kecamatan Cimaung. Sambil mengayuh sepeda semua pengalaman dan keindahan yang tadi sudah dilewati terus terbayang di benak di fikiran masing – masing.  Dan rencana trip selanjutnya seakan terpatri di hati kami ketika sepeda – sepeda kami meluncur turun menyusuri jalan aspal perkebunan Kertamanah menuju jalan raya Pangalengan yang mengantar kami pulang kembali menuju Bandung. 

MENCICIPI PEDASNYA TANJAKAN – TANJAKAN TREK UPHILL SOREANG – PUNCAK MULYA


Satu lagi trek uphill yang cukup menantang bisa dijumpai di kawasan selatan Bandung, tepatnya di daerah Soreang, yaitu trek Soreang - Puncak Mulya. Berada di sebelah barat kota kecamatan Soreang, kampung Puncak Mulya secara administratif masuk ke kecamatan Kutawaringin. Rute jalur ini mudah ditemui karena titik start-nya dimulai dari kampung Leuwi Munding yang lokasinya tepat berada di belakang Alun – Alun Soreang. Panjang trek Puncak Mulya ini sekitar 6 km dengan dihiasi beberapa tanjakan curam yang cukup menantang untuk ditaklukkan oleh para goweser uphiller/ pecinta tanjakan. Namun tingkat kesulitan di trek ini masih lebih ringan apabila dibandingkan dengan trek Leuweung Datar yang memang memiliki tanjakan lebih banyak, lebih curam dan jarak yang lebih jauh sampai ke titik tertingginya, sehingga ketenaran trek Puncak Mulya ini dengan sendirinya berada di bawah trek Leuweung Datar yang sudah masuk kategori trek uphill legendaris bersanding dengan trek Tanjakan Monteng Majalaya-Kamojang. Tapi mengingat lokasi dan jaraknya yang relatif dekat dengan pusat kota Soreang, juga jarak treknya yang tidak begitu jauh namun dihiasi tanjakan – tanjakan yang cukup menantang membuat trek ini juga cukup banyak didatangi goweser pecinta uphill dan rasanya layak juga untuk dicoba. Dan jadilah saya bersama 3 orang teman mencoba untuk merasakan juga bagaimana pedasnya tanjakan di trek Soreang – Puncak Mulya ini.

Pukul 8 pagi kami sudah berada di Alun – Alun Soreang, sambil mempersiapkan bekal cemilan dan air minum untuk bekal selama perjalanan kami bertemu dan mengobrol dengan goweser – goweser lain yang juga berkumpul di sini, yang memang jadi titik kumpul bagi goweser yang akan melakukan perjalanan seperti ke arah Ciwidey, Buper Andes - Nangerang, dan tentu saja ke kampung Puncak Mulya. Dari ngobrol – ngobrol tersebut didapat informasi bahwa dari kampung Puncak Mulya ternyata perjalanan bisa dilanjutkan menuju kecamatan Cililin atau Situwangi kecamatan Cihampelas kabupaten Bandung Barat dengan melalui daerah Mukapayung dan Walahir. Atau bisa juga dilanjutkan menuju Ciwidey dengan melalui daerah Gunung Padang yang cukup dikenal di kalangan para peziarah, atau orang yang tengah “menginginkan sesuatu”. Bisa juga dilanjutkan menuju Buper Andes dan Sadu dengan melalui kampung Cilame atau yang terdekat ke daerah Pasir Angin yang berada di kaki Gunung Singa Leuwi Munding. Dan kami yang baru pertama kali menjajal trek ini memutuskan untuk turun menuju Cilame saja, tepatnya menuju kampung Cilame Tengah, dan dilanjutkan menyusuri jalan desa dan saluran irigasi kembali ke kampung Leuwi Munding sebagai titik finish dengan alasan ketidaktahuan kami akan estimasi waktu yang dibutuhkan apabila turun ke Cililin atau Ciwidey, sedangkan waktu gowes kami terbatas hanya sampai tengah hari.

Setelah berpamitan kepada goweser – goweser lain, tepat pukul 09.00 kami bergerak menuju kampung Leuwi Munding, pagi yang segar dan tidak terlalu panas mengiringi perjalanan kami. Setelah melewati jembatan Sungai Ciwidey jalan menjadi sedikit menanjak, terus menuju jembatan di saluran irigasi dan berakhir di atas saluran irigasi, “tanjakan selamat datang” ini cukup membuat detak jantung menjadi lebih cepat, lumayan sebagai pemanasan. Dari ujung tanjakan perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan beraspal mulus dan berhawa sejuk karena di kiri kanan kami dipayungi rerimbunan pohon – pohon bambu. Karena kebetulan saat itu adalah hari Minggu, kami pun berpapasan dengan beberapa rombongan yang akan hiking ke Gunung Singa melalui kampung Pasir Angin. Ya, Gunung Singa di daerah Leuwi Munding ini memang menjadi salah satu lokasi favorit untuk melakukan kegiatan hiking, dan dapat menikmati pemandangan kota Soreang, Bandung dan sekitarnya ketika tiba di puncaknya. 15 menit berlalu sampailah kami di sebuah pertigaan. Berbelok ke kiri menuju ke arah barat adalah tujuan kami, menuju kampung Puncak Mulya, sedangkan lurus ke arah utara akan membawa kita menuju kampung Sinday, Jatisari, Stadion Si Jalak Harupat kecamatan Kutawaringin dan sekitarnya.

Yang pertama harus dihadapi ketika kami berbelok ke arah kampung Puncak Mulya adalah jalan menanjak dengan kondisi aspal yang buruk, sebagian besar aspal di jalan ini sudah habis terkikis dan hanya menyisakan kerikil – kerikil lepas. Kami lumayan dibuat ngos – ngosan, melewati jalan menanjak dengan kondisi jalan penuh kerikil ini. Namun selepas tanjakan ini kondisi jalan mulai membaik dan kami mendapatkan bonus jalan mendatar cukup panjang ditambah sebuah turunan sebelum menuju tanjakan berikutnya. Dari pertigaan sampai ke tanjakan yang kami akan kami hadapi berikutnya ini posisinya berada di sisi utara Gunung Singa, kemudian kami bergerak menuju ke sisi baratnya, sehingga mulai dari ujung tanjakan di depan sampai ke kampung Puncak Mulya posisi kami jadi membelakangi Gunung Singa, ini membuat setiap istirahat dan melirik ke arah timur selalu pemandangan Gunung Singa dan kota Soreang selalu menemani dan menjadi penghibur kami. Tanjakan berikutnya tidak begitu panjang dan relatif masih landai, namun dihiasi sebuah belokan, ini yang membuatnya menjadi menarik. Akselerasi jadi sedikit berkurang karena harus berbelok, hasilnya selepas belokan gowesan harus lebih di-push untuk mengejar akselerasi yang tadi sempat berkurang, dan meskipun tanjakan ini bisa dilewati dengan lancar namun tetap membuat nafas menjadi semakin ngos – ngosan.  Jalan kembali datar, lumayan sekitar 8 menit menikmati jalan mendatar ini, kami bertemu kembali dengan tanjakan landai, dengan karakteristik lurus, kembali tanjakan ini dilewati dengan lancar, tapi betis mulai terasa panas dan gowesan sudah mulai terasa memberat, tidak terasa sudah hampir 2 km kami menyusuri jalur ini, pantas saja betis dan dengkul ini sudah mulai sedikit overheat.  

Hanya 5 menit berlalu di jalan mendatar, tibalah kami di sebuah tanjakan lagi, kali ini lumayan curam dan panjang. Di kiri kami berdiri anggun Gunung Aul dengan 2 puncaknya yang berhadapan, gunung ini terlihat gersang, jarang pepohonan, berbeda jauh dengan Gunung Kutawaringin di sisi kanan kami, gunung ini hijau dan bervegetasi lebat. Di kejauhan terlihat seorang pengendara motor yang berboncengan tengah berjuang melewati tanjakan ini namun gagal, motornya menyerah tidak sanggup melewatinya, akhirnya sang penumpang harus rela berjalan menuntaskan tanjakan tersebut. Kami sedikit gugup, sebegitu beratnya kah tanjakan ini sehingga motorpun harus menyerah di tengahnya?? Satu per satu sepeda melaju mulai mendaki tanjakan ini, selepas jembatan di awal tanjakan betis mulai menegang, namun kaki masih bisa menoleransi kayuhan, sepeda masih bisa melaju meskipun sedikit merayap. Memasuki pertengahan tanjakan gowesan terasa semakin berat, dan di depan ada sedikit jalan bergelombang, inilah yang menyebabkan motor tadi menyerah rupanya, dan memang ketika sepeda menginjak jalan yang bergelombang ini, kayuhan yang tadi sudah dimaksimalkan pun seakan tidak cukup untuk bisa melaluinya, berat sekali memang. Satu per satu kami berhasil melewati tanjakan ini, dan kami pun beristirahat sejenak di bawah rerimbunan bambu di ujung tanjakan untuk mengatur nafas yang tersengal. Di sini rupanya ada juga 3 orang goweser lain yang sama – sama sedang beristirahat setelah melewati tanjakan ini, setelah sejenak mengobrol rombongan goweser tadi akhirnya melanjutkan perjalanan duluan. 10 menit kami beristirahat di ujung tanjakan ini, setengah jalan lagi untuk mencapai kampung puncak mulya, waktu sudah menunjukkan pukul 09.55, ketinggian kami saat itu berada di ± 1025 mdpl, lumayan juga elevasinya, ketinggian saat start di kampung leuwi munding adalah ± 785 mdpl, dan saat ini kami sudah melalui separuh dari keseluruhan perjalanan menuju kampung Puncak Mulya. 

Sepeda kami pun melaju kembali menyongsong tanjakan – tanjakan yang entah seperti apa di karakteristiknya di depan sana. Selepas tanjakan ini rupanya kami tidak lagi menemui bonus jalan mendatar, yang ada hanyalah jalan berkelok – kelok, tidak terlihat menanjak namun ketika melewatinya betis terasa menegang dan nafas terengah – engah, cukup panjang juga jalan berkelok ini dan di ujungnya ada sebuah jembatan, kemudian jalan berbelok, baru kemudian setelah jembatan ini kami bertemu lagi dengan sebuah tanjakan lumayan curam. Karakteristik jalur yang seperti ini mengingatkan saya ke trek uphill di Bandung Timur yang cukup terkenal yaitu Ujung Berung -  Palintang, jalur ini mirip sekali dengan jalur selepas lapangan bola Palintang menuju titik tertingginya di pertigaan menuju Cibodas, Palasari 2 dan jalur Genteng. Kembali kami beristirahat di ujung tanjakan ini sambil menyaksikan pemandangan Gunung Singa dan kota Soreang di hadapan kami. Di sisi utara terlihat jalan berkelok – kelok yang tadi kami lewati, pantas saja kami terengah – engah, dari sini baru terlihat menanjaknya jalan yang baru saja kami lewati itu. Tidak terlalu lama kami berhenti di sini karena cuaca sudah beranjak panas dan di sini pun cukup gersang, tidak ada pohon – pohon peneduh. Namun di hadapan kami kembali sebuah tanjakan menanti, pendek namun cukup curam, dengan susah payah kami melewatinya, beruntung dari sini kami kembali dipayungi pepohonan sehingga kami tidak terlalu menderita.

Dan tantangan pun berlanjut, selepas ini kembali jalan menanjak, lebih curam dari sebelumnya, kemudian jalan berbelok patah, mirip sekali karakteristiknya dengan tanjakan Omen di trek Leweung datar, hanya tingkat kecuraman dan panjang tanjakannya saja yang berbeda, tanjakan ini lebih pendek dan relatif lebih landai apabila dibandingkan dengan tanjakan Omen. Lutut semakin gemetar, betis semakin menegang dan nafas tersengal - sengal ketika kami melewati tanjakan ini. Seperti halnya ketika melewati tanjakan Omen, di tanjakan ini pun kami berhenti beristirahat di ujung belokan patah di tengah – tengah tanjakan. Sepertinya spot seperti ini memang sangat cocok untuk berhenti beristirahat sambil memperhatikan para goweser lain berjuang menapakinya, seperti yang biasa dijumpai di tanjakan Omen dan tanjakan Monteng Kamojang. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10.25 ketika kami beristirahat di sini, dan ternyata jarak yang kami tempuh yang hanya sekitar 600 m ini harus dilalui selama 30 menit lebih.

Perjalanan menuju kampung Puncak Mulya sudah mendekati akhir, tanjakan ini adalah tanjakan terakhir sebelum memasuki kampung Puncak Mulya. Setelah 5 menit beristirahat kami melanjutkan perjalanan, dan tidak lama kemudian sampailah kami di kampung Puncak Mulya, dengan ciri yang paling khas ketika kita menginjakkan di kampung ini adalah plang SDN PUNCAK MULYA yang menjadi penanda kalau perjalanan menuju kampung Puncak Mulya ini berakhir. Kami tiba di sini sekitar pukul 10.45, berarti kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam 45 menit untuk mencapai kampung yang berketinggian ± 1100 mdpl ini dari Soreang, namun kami bisa memastikan bagi para goweser pencinta uphill jarak 6 km dari Soreang menuju kampung Puncak Mulya ini tidak akan memakan waktu selama kami, mungkin ada yang bisa mencapainya kurang dari 1 jam saja. Dan di sebuah warung di dekat pertigaan kami beristirahat sambil sedikit bertanya – tanya jalur yang akan kami tempuh pada saat pulang nanti.

Dari pertigaan di dekat warung ini jalur yang mengarah ke utara adalah jalur yang menuju kecamatan Cililin atau ke Situwangi kecamatan Cihampelas dengan melewati daerah Mukapayung dan Walahir yang sempat dilanda longsor besar beberapa waktu ke belakang. Sedangkan jalur yang mengarah ke selatan adalah jalur yang menuju Pasir Angin, Cilame dan Buper Andes, atau ke Ciwidey. Dan sesuai dengan kesepakatan awal tadi, kami pun pulang dengan mengambil jalur kampung Cilame Tengah dan menuju kembali ke Leuwi Munding sejauh kurang kebih 7.5 km. Setelah kembali berhadapan dengan beberapa tanjakan, akhirnya kami sepenuhnya meluncur menyusuri jalan menurun menuju kampung Cilame Tengah, dilanjutkan dengan menyusuri jalan ke arah utara di tengah – tengah area pesawahan dan saluran irigasi menuju kembali ke kampung Leuwi Munding sebagai titik akhir perjalanan kami mencicipi pedasnya trek uphill Soreang - Puncak Mulya ini.  
   


MENAKLUKKAN TANJAKAN – TANJAKAN LEUWEUNG DATAR SATU LAGI TREK UPHILL LEGENDARIS BANDUNG


Kawasan Bandung Raya yang dikelilingi perbukitan menyajikan berpuluh-puluh trek uphill/ tanjakan yang sangat menggoda dan sangat sayang untuk dilewatkan para goweser pencinta tanjakan atau uphiller. Hampir di seluruh penjuru kota Bandung tercinta ini memiliki setidaknya dua trek uphill yang menantang. Kalau boleh menyebut, dimulai dari kawasan Bandung Utara, kita mengenal trek Ciumbuleuit – Punclut – Lembang, trek Tangkuban Parahu yang sampai saat ini masih menjadi rute legendaris balap sepeda spesialis tanjakan, atau jalur Dago Bengkok – Lembang, trek Warban yang sudah sangat dikenal para goweser. Bergeser ke Bandung Timur kita mengenal Caringin Tilu, Jatihandap – Warung Daweung, dan Palintang. Kita juga tidak boleh melupakan trek Curug Cinulang – Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi, yang meskipun secara administratif berada di kabupaten Sumedang, tapi akses menuju ke sana yang cukup dekat dari Bandung. Di sebelah tenggara kita mengenal trek Cijapati, kemudian trek Majalaya – Kamojang dengan tanjakan Montengnya yang sudah sangat melegenda di kalangan goweser. Kita juga tidak boleh  melewatkan trek Ciparay – Situ Cisanti, Jelekong Cangkring – Arjasari, Banjaran – Gunung Puntang, Pangalengan, Ciwidey -  Kawah Putih, Leuweung Datar, Sadu – Buper Andes, Cililin -  Walahir, atau Cimahi - Cisarua, semua itu adalah trek – trek uphill yang sudah sangat dikenal di kalangan goweser. Dan satu lagi trek uphil legendaris yang akan saya coba angkat adalah trek Leuweung Datar.

Trek Leuweung Datar dimulai dari pertigaan Citaliktik – Banda Sari di jalan raya Soreang – Banjaran dekat Mapolres, di ketinggian sekitar 700 mdpl, titik tertinggi dari trek ini berada di tanjakan Gunung Bubut dengan ketinggian sekitar 1.240 mdpl, elevasi dari titik start sampai titik tertingginya ±535 m dengan jarak 8 km, sangat menantang. Dari ujung titik tertinggi trek Leuweung Datar ini, kita ditawarkan dua pilihan titik finish, yaitu di Cisondari Pasir Jambu atau desa Sukanagara Panyirapan Soreang, pemandangannya cukup memanjakan mata, meskipun jarak tempuh menuju Cisondari Pasir Jambu lebih jauh karena harus memutar dulu ke Ciwidey, sedangkan turun melalui Panyirapan jelas lebih dekat karena kita langsung menuju kota Soreang.

Bagi goweser yang ingin mencicipi jalur ini ada beberapa alternatif jalan untuk menuju titik start di jalan Banda Asri Citaliktik. Yang pertama melalui jalan Kopo – Soreang, masuk ke jalan Warung Lobak – Gandasoli yang tembus langsung ke jalan raya Soreang – Banjaran di kampung Citaliktik, dari ujung jalan Gandasoli kita tinggal menyeberang dan langsung masuk ke jalan Citaliktik – Banda Asri. Yang kedua bisa melalui jalan raya Dayeuhkolot – Banjaran, terus masuk ke jalan raya Banjaran -  Soreang dan di daerah Citaliktik langsung belok kiri menuju jalan Citaliktik – Banda Asri. Untuk yang ingin menempuh jalan yang relatif lebih sepi bisa mengambil jalur Cibaduyut – Sayuran, masuk ke jalan Bojong Kunci – Junti yang tembus ke Gandasoli, dari sana tinggal lurus mengikuti jalur yang dari Warung Lobak.

Titik awal trek ini sendiri dimulai dari jalan Citaliktik - Banda Asri dengan menyusuri jalan beton mulus membelah persawahan ke arah selatan, setelah ± 10 menit mengayuh sepeda, kita akan bertemu perempatan. Arah timur menuju kampung Ciluncat, ke barat menuju Panyirapan dan jalur yang akan kita tuju adalah ke arah kanan menuju jalan komplek Banda Asri. Perjalanan menuju ke komplek Banda Asri sudah mulai dihiasi tanjakan – tanjakan landai, lumayan sebagai pemanasan dan mempersiapkan kondisi fisik kita sebelum menghadapi ujian sebenarnya dari trek ini, yaitu rute komplek Banda Asri menuju Gunung Bubut kampung Leuweung Datar. Setelah 10 menit kita gowes, sampailah kita di pertigaan komplek Banda Asri, dan jalan yang akan kita tempuh adalah belokan ke kiri. Dan tak berapa lama kemudian, tampak sebuah tanjakan menghadang dengan kondisi jalan tidak begitu bagus, rupanya ini adalah “tanjakan selamat datang”, menapaki tanjakan ini barulah mulai terasa nafas menjadi agak tersengal-sengal. Agak panjang juga ternyata tanjakan ini, untungnya selepas belokan di ujung tanjakan kondisi jalan menjadi lebih bersahabat, meskipun ternyata tanjakan ini masih belum berakhir.

10 menit berlalu, ternyata jalan menanjak ini masih berlanjut, namun jalan yang mulus memudahkan kaki mengayuh pedal sepeda, meskipun harus tetap dengan nafas tersengal dan diiringi cucuran keringat untuk melaluinya. Ternyata membutuhkan waktu 1 jam lebih untuk mencapai ujung tanjakan ini, padahal jarak yang ditempuh tidak lebih dari 2 km.  Akhirnya sampai juga di kampung Leuweung Datar. Pertama yang dicari di sini adalah warung, karena sejak dari Citaliktik belum sempat sarapan, sehingga ketika sampai di sinilah kesempatan saya dan teman -teman untuk mengisi perut sekaligus mengatur nafas dan mengembalikan stamina yang sudah agak berkurang, mengingat yang akan dihadapi di depan adalah 4 rangkaian tanjakan yang menjadi ciri khas dan inti dari trek ini, keempat tanjakan ini secara berturut – turut yaitu tanjakan Rahong, tanjakan Omen, tanjakan Koneng dan yang terakhir adalah tanjakan Gunung Bubut. Di sini juga saya membeli tambahan bekal cemilan dan air minum, mengantisipasi kehabisan bekal, terutama air minum sementara jarak menuju desa terdekat masih jauh.

Setelah stamina terkumpul satu per satu sepeda kembali dikayuh menyongsong tantangan terberat dari trek ini, empat tanjakan sudah siap menyambut kami, menantang kami apakah kami akan mampu melewatinya dengan sukses, tanpa “TTB/ tuntun bike” tentu saja. Selepas perkampungan, di ujung sebuah jembatan kecil, sudah menanti satu tanjakan curam, itulah rupanya tanjakan Rahong, meskipun tidak mudah, tapi tanjakan ini masih bisa dilalui tanpa TTB berhubung kondisi jalan yang masih relatif mulus dan badan masih segar karena sebelumnya kami telah beristirahat. Namun setelah menempuh sekitar 200 m jalan yang datar, kami bertemu lagi dengan satu tanjakan curam yang dikenal dengan tanjakan Omen, tanjakannya lebih panjang dari tanjakan Rahong plus kondisi jalan yang buruk menjadi tantangan dan hambatan tersendiri yang harus dihadapi selain curamnya tanjakan itu sendiri. Saya coba menaklukkannya, namun seperti perkiraan sebelumnya, kondisi jalan yang buruk mempersulit sepeda untuk dikendalikan, baru setengah tanjakan saya pun menyerah, sulit sekali mengayuh pedal sepeda melintasi kerikil – kerikil lepas di jalan menanjak, ban kehilangan traksi dan selip, akhirnya kakipun menyentuh tanah. Tapi saya tidak mau menyerah begitu saja, setelah mengumpulkan tenaga dan mempelajari jalur yang akan dilalui tanpa harus mengalami selip lagi, pedal pun dikayuh kembali, semua tenaga dikeluarkan, menjaga kayuhan dan handling agar stabil, dan akhirnya bisa juga menaklukkan tanjakan ini, meskipun harus 2 kali berhenti. Sedikit sebelum ujung tanjakan ini adalah sebuah belokan tajam, dan tepat di muka belokan ini ada dataran agak luas, di sinilah kami berhenti dan menyaksikan teman - teman yang sedang berjuang berjibaku menaklukkan tanjakan Omen. Di sini kami kembali mengatur nafas, tersisa 2 tanjakan lagi untuk bisa menaklukkan trek ini, setelah 30 menit kami beristirahat dan regrouping, perjalanan pun kembali dilanjutkan.

Selepas belokan tajam menuju ujung tanjakan Omen, kondisi jalan menjadi semakin buruk, nyaris tidak ada lagi aspal tersisa, hanya hamparan kerikil – kerikil lepas sepanjang jalan menanjak menuju tanjakan Koneng, tanjakan yang harus kami hadapi berikutnya. Mengayuh sepeda menyusuri jalan ini pun sudah cukup menyiksa, belum lagi kami masih akan berhadapan dengan tanjakan Koneng, tanjakan ketiga. Benar saja, penderitaan kami belum berakhir, kondisi tanjakan Koneng selain curam juga setengah dari tanjakan ini kondisi jalannya buruk, sama seperti tanjakan Omen tadi, kami akhirnya memilih untuk menuntun sepeda kami melewati jalan yang buruk ini, sampai ke pertengahan tanjakan Koneng, karena dari pertengahan sampai ke ujung tanjakan ini kondisi jalan kembali mulus. Tapi ternyata stamina yang kembali terkuras setelah melewati 2 tanjakan sebelumnya menjadi tantangan tersendiri lagi untuk menaklukkannya, beberapa teman ada yang mencoba menaklukkan tanjakan ini dengan mengendarai sepedanya, namun ada pula beberapa teman yang memilih untuk TTB saja menuju ujung tanjakan Koneng.

Di ujung tanjakan Koneng sudah terlihat tanjakan terakhir, tanjakan Gunung Bubut siap menghadang. Kami pun beristirahat di bibir tanjakan Gunung Bubut, mengatur nafas yang tersengal - sengal dan mengumpulkan tenaga untuk menaklukkan tanjakan terakhir ini. Beberapa teman yang sudah berpengalaman bersepeda sudah dari tadi sampai di ujung tanjakan ini, menunggu dan siap mengabadikan momen – momen kami yang tengah berjuang sambil tertatih – tatih disiksa tanjakan Gunung Bubut. Dengan 1 kali berhenti di tengah - tengah tanjakan dan dengan nafas yang semakin tersengal saya berhasil juga sampai di ujung tanjakan, dan 10 menit kemudian teman - teman yang memilih TTB menyusul kami yang sudah tiba lebih dulu di ujung tanjakan Gunung Bubut, tanjakan terakhir di trek Leuweung Datar ini. Di ujung tanjakan gunung bubut tidak terlalu banyak view yang bisa dinikmati, hanya sedikit pemandangan ke arah timur lumayan bisa mengobati rasa lelah menuntaskan rute menanjak ini. Bagi yang ingin mendapatkan pemandangan menarik, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Pasir Jambu Ciwidey, selepas tanjakan terakhir ini akan tersaji pemandangan indah pesawahan, perbukitan, dan pemukiman-pemukiman di kawasan Baleendah, Banjaran, Dayeuhkolot dan sekitarnya di sebelah kiri kita, dan di sebelah kanan kita tersaji pemandangan alam kota Ciwidey.

Setelah semua berkumpul perjalanan dilanjutkan kembali, tidak menuju Pasir Jambu Ciwidey tetapi menuju desa Sukanagara Soreang, untuk mempersingkat jarak dan waktu tempuh berhubung sebagian besar dari kami tidak berencana untuk bersepeda fullday saat itu. Setelah disambut dengan satu tanjakan perjalanan diakhiri dengan turunan sepenuhnya, mulai dari turunan makadam dari gunung bubut sampai desa Sukanagara sejauh kurang lebih 2 km, dan dilanjut dengan turunan di jalanan aspal mulus menuju desa Panyirapan Soreang sebagai titik finish dari trip menantang ini. Dan selama perjalanan pulang terselip perasaan puas karena akhirnya saya dan teman-teman bisa juga menjajal salah satu trek uphill legendaris di Bandung ini, trek Leuweung Datar.



NIGHT RIDING XC TREK CANTILAN – PASIR JEREGED


            Setelah hampir menginjak minggu kedua di bulan ramadhan tahun 2013 ini saya melewatkan kesempatan untuk ber-night riding alias gowes malam – malam, akhirnya kesempatan itu datang juga pada hari ke 13 ramadhan, saya kembali bisa merasakan nikmatnya sensasi bersepeda malam hari atau night riding/ NR. Seperti tahun – tahun sebelumnya, saya dan teman – teman komunitas sepeda ATB selalu melakukan NR dengan menempuh rute -  rute XC di seputaran Soreang Bandung Selatan, dan untuk rute NR kali ini kami akan menempuh rute klasik Cantilan – Pasir Jereged di kecamatan Kutawaringin. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi sajian tanjakannya dari sejak pertigaan Jalan Raya Soreang – Cipatik sampai puncak Pasir/ Bukit Jereged akan memberikan rasa berbeda karena gowes dilakukan dari sore hari sebelum berbuka sampai dengan malam hari.

Jam 17 kami mulai beranjak dari jalan Kopo Sayati menuju Jalan Raya Soreang – Cipatik dengan mengambil jalur Cicukang – Kampung Adat Mahmud menuju Soreang – Cipatik di kampung Gajah Mekar. Gowes sambil menikmati cuaca sore hari yang cukup bersahabat membuat kami lupa sebenarnya kami masih berpuasa, kami memacu sepeda masing – masing, beberapa teman saling mempercepat laju sepedanya seolah berlomba, seakan terbawa suasana sore itu. Tiba di kampung Gajah Mekar waktu sudah menunjukkan pukul 17.15, kami kemudian berhenti sejenak membeli makanan untuk nanti berbuka puasa. Kami biasanya membawa bekal makanan untuk kemudian disantap ketika azan magrib tiba, di lokasi yang biasanya sudah kami tentukan sebelum perjalanan dimulai. Untuk kali ini kami berencana untuk berbuka puasa dan takjil di ujung gang/ trek semen kemudian makan malam di puncak Pasir Jereged sambil menikmati pemandangan kota Bandung malam hari.

Waktu semakin beranjak senja, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, kami bergegas mengayuh sepeda masing menuju tujuan kami, puncak Pasir Jereged. Selepas berbelok kiri di dekat rumah makan Sate Cantilan kami sudah dihadang tanjakan “selamat datang”, biasanya kami tidak begitu kesulitan melewati tanjakan ini, tapi menggowes sepeda dalam kondisi berpuasa membuat kaki terasa sangat berat untuk mengayuh sepeda, alhasil dua tanjakan ini pun dilalui dengan ngos - ngosan. Lepas tanjakan - tanjakan tadi, sebelum menuju gang/ trek semen kembali tanjakan menghadang, lebih tinggi dari tanjakan “selamat datang” sebelumnya, semakin tersiksa saja kami melewatinya, gowesan semakin melambat, target untuk menunggu azan magrib di ujung gang/ trek semen sepertinya tidak akan tercapai. Di ujung tanjakan, trek semen menanti kami, jalur semen selebar kira – kira 1 m full menanjak sepanjang kira – kira 300 m siap menaklukkan kami. Kami tidak lama berhenti dan langsung masuk ke trek semen, berharap bisa mencapai ujung trek ini pas ketika waktu berbuka tiba. Tapi meskipun gowesan sudah dipercepat ternyata kami hanya mampu mencapai kira – kira setengah dari keseluruhan trek semen menanjak ini ketika azan magrib berkumandang. Kami menghentikan gowesan dan segera mencari tempat yang agak datar untuk berbuka puasa, berhubung kami berhenti di gang sempit selebar tidak lebih dari 1 m, akhirnya kami duduk saja di jalurnya, sebagian ada juga yang duduk – duduk di pematang sawah di pinggirannya untuk berbuka puasa.

Tenggorokan yang sudah sangat kering, nafas yang terengah – engah, dan jantung berdebar kencang karena kami terus memacu sepeda sejak dari titik start  akhirnya segera terobati setelah beberapa teguk air mineral dan cendol dingin membasuh tenggorokan kering kami, Subhanallah…..nikmat sekali. Persis seperti sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa salah satu kenikmatan yang diraih ketika puasa adalah ketika saat berbuka puasa, saya dan teman – teman merasakan benar kenikmatan ini. Satu per satu gorengan yang kami bawa pun berpindah tempat ke perut masing – masing, sambil beristirahat dan mengembalikan stamina, karena kami masih akan menghadapi banyak tanjakan di depan, sementara trek semen menanjak ini saja baru separuhnya kami lalui. Sekitar 15 menit kami berhenti dan perjalanan pun kami lanjutkan, yang pertama dihadapi adalah separuh dari trek semen menanjak ini menuju kampung jereged, tujuan kami adalah sebuah masjid di sana, untuk menunaikan sholat magrib. Meskipun kami sudah berbuka puasa, tapi melewati trek semen menanjak ini dan dilanjutkan dengan sedikit lagi tanjakan menuju lokasi mesjid tetap saja membuat kami terengah – engah, 10 menit kemudian kami pun  tiba di mesjid kampung Jereged.

Pukul 18.45 kami beranjak meninggalkan mesjid menuju ¼ perjalanan lagi menuju puncak Pasir Jereged. Hari sudah beranjak gelap, senter – senter sudah dinyalakan dan sepeda pun kembali dikayuh melintasi trek semen menuju singel trek, dan sekitar 50 m di depan kami adalah singel trek menuju puncak. Malam yang semakin pekat dan kondisi singel trek yang jauh dari pemukiman warga membuat perjalanan menuju puncak menawarkan tantangan tersendiri, namun untuk keamanan dan keselamatan bersama kami pun memutuskan untuk menuntun sepeda masing – masing melewati singel trek menanjak ini. Kami pun merayap menembus kegelapan di antara rimbunnya rumpun – rumpun bambu dan rerimbunan alang – alang ketika semakin mendekati puncak, sangat mengasyikkan. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata – kata ketika kami melewatinya, padahal trek ini sudah sangat sering kami lalui, tapi melaluinya di tengah kegelapan malam benar – benar memberikan rasa tersendiri. Setelah melewati hamparan ilalang yang cukup tinggi sampailah kami di sebuah dataran, tinggal satu tanjakan lagi untuk menuju puncak Pasir Jereged, menuju sebuah lokasi yang akan kami gunakan untuk bersantap, makan malam sambil menikmati keindahan kota Bandung di malam hari.

Pukul 19.20 tibalah kami kami di puncak Pasir Jereged, kami langsung disuguhi pemandangan gemerlap lampu – lampu di hadapan kami, gemerlap kota Bandung di malam hari yang semarak dengan lampu – lampu seperti intan berkilauan, sesekali tampak cahaya berpendar dari ledakan kembang api di beberapa titik, semakin menambah keindahan yang tersaji tepat di hadapan kami. Bekal makan malam pun kami siapkan dan segera kami menyantap hidangan makan malam yang tadi kami beli di kampung Gajah Mekar, nikmat sekali makan di tengah hamparan gemerlap dan semarak lampu – lampu kota Bandung di bawah kami, meskipun beberapa saat gerimis sempat membasahi kami, tapi itu tidak cukup kuat untuk membuat kami beranjak meninggalkan semua kenikmatan yang sedang kami nikmati saat itu.

Tidak terasa 1 jam lebih kami berada di tempat itu. Angin yang mulai bertiup kencang dan udara yang semakin dingin seakan membangunkan kami, menyuruh kami untuk segera kembali pulang. Berat rasanya meninggalkan Pasir Jereged yang damai ini, tapi kami harus pulang. Suguhan singel trek plus trek semen yang sekarang akan kami turuni akhirnya membuat kami satu per satu menaiki kembali sepeda masing – masing dan meluncur turun, kembali melewati jalur yang tadi kami lalui. Sebenarnya dari lokasi ini ada beberapa opsi trek untuk pulang. Bisa melewati singel trek menuju kampung cibodas atau singel trek menuju kampung jatisari, tapi kami lebih memilih untuk kembali melalui jalur yang tadi kami  lewati, dengan alasan biar bisa finish lebih cepat saja, biar kami tidak terlalu malam sampai ke rumah masing – masing.

Ternyata tidak mudah mengendalikan sepeda menuruni singel trek di tengah kegelapan malam, butuh konsentrasi tinggi untuk melewatinya, seorang teman yang tidak bisa mengendalikan sepedanya harus merasakan jatuh dan terjerembab karena tidak melihat batu lepas dan roda depannya menginjak batu tersebut. Saya pun mengalami nasib naas, roda sepeda saya pun menginjak batu lepas, alhasil saya dan sepeda saya pun terjatuh. Dalam hati saya bersyukur pulang tidak jadi mengambil opsi menuju Cibodas atau Jatisari, saya sudah bisa membayangkan kesulitan yang akan menghadang, karena kami akan mengadapi singel trek menurun yang cukup panjang,terutama apabila melewati rute singel trek jatisari yang kondisi treknya terhitung masih alami, banyak pepohonan dan perdu merintangi jalurnya, melewati jalur ini di siang haripun harus ekstra waspada karena treknya yang tertutup pepohonan dan rerumputan, apalagi ketika harus melewatinya di tengah pekatnya malam seperti saat ini.


Lepas dari singel trek kami memasuki gang/ trek semen, jalur yang biasanya dengan mudah kami lewati sekarang harus kami lewati dengan hati – hati dan perlahan. Kami tidak berani terlalu memacu sepeda terlalu kencang, konsekuensinya lumayan apabila kami sampai terjatuh. Di samping kiri dan kanan kami adalah saluran air dan persawahan yang jarak dari permukaan jalan ke dasarnya cukup dalam. Namun karena melewatinya pada malam hari, meskipun laju sepeda tidak terlalu kencang namun tetap mengasyikkan melahap gang/ trek semen ini sampai akhir. Dan 15 menit kemudian sampailah kami di pertigaan jalan raya Cipatik – Soreang. Dan rute pulang dari sini kami sengaja tidak melalui jalur yang tadi dilewati ketika pergi, tapi sedikit memutar menuju kampung Daraulin, sedikit memberikan kejutan bagi beberapa teman yang belum pernah merasakan mengayuh sepeda melalui jembatan gantung. Di daerah Daraulin ini terdapat jembatan gantung beralas kayu yang membentang di aliran sungai Citarum Lama, seru juga ketika kami digoyang – goyang jembatan ini ketika melewatinya. Dari kampung Daraulin perjalanan dilanjutkan ke Kampung Adat Mahmud untuk kemudian menuju jalan Kopo dan kembali ke rumah masing – masing membawa sejuta kesan tidak terlupakan setelah ber-night riding dengan ber-XC ria malam – malam.