Sekali lagi Pangalengan
menawarkan trek XC yang sangat menarik dan menantang, lokasinya masih di
sekitar perkebunan Kertamanah . Untuk gowes kali ini kami akan mencoba trek Kertamanah
-Artavella kemudian dilanjutkan piknik ke Curug Panganten dan finish di kampung Cinyiruan, masih di
daerah perkebunan Kertamanah . Salah satu sesi acara dari gowes kali ini adalah
piknik sekaligus botram atau makan bersama di area Curug Panganten sebelum
kemudian meluncur menuruni perbukitan dari Artavella sampai Cinyiruan. Trip
kali ini merupakan kombinasi dari trek Artavella-Campaka, dan dilanjutkan
dengan menyusuri singel trek Campaka-Cinyiruan yang merupakan bagian dari trek Kertamanah
-Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Sudah terbayang keasyikan
yang akan kami dapatkan dari trip kali ini, sebelumnya kami pernah mencoba trek
Kertamanah -Bojongwaru yang memiliki turunan-turunan menantang,dan kali ini
trek ini akan disatukan dengan trek Artavella yang posisinya lebih tinggi dari Kertamanah
, yang baru pertama kali kami coba. Bisa dibayangkan keasyikan yang akan
didapatkan ketika sepeda-sepeda kami meluncur menuruni perbukitan dari
ketinggian ±1960 mdpl menuju ketinggian ±1550 mdpl.
Seperti biasa
kami berangkat pagi - pagi dari Bandung, sepeda kami loading dengan menggunakan 1 unit truk. Sampai di penangkaran rusa Kertamanah
sekitar pukul 9.15 dan sepeda kami
turunkan di sini, kami berencana untuk mulai menggowes dari sini menuju Artavella
sejauh kurang lebih 5 km. setelah mempersiapkan sepeda masing-masing dan
menyantap cemilan sekedar untuk mengganjal perut dan menambah stamina, kami pun
memulai perjalanan menuju Artavella dengan menempuh jalur Campaka menuju titik
pemberhentian pertama di daerah kampung Cibitung . Jarak dari Campaka ke
kampung Cibitung kurang lebih 2 km,
berupa jalan makadam dan tanjakan-tanjakan landai, kami masih bisa menikmati
perjalanan ini, meskipun tetap saja membuat nafas menjadi lebih cepat dan
jantung berdetak lebih kencang, lumayan sebagai pemanasan.
Sebenarnya
selain melewati Campaka, jalur menuju kampung Cibitung bisa juga ditempuh melalui jalur PLTP Wayang -
Windu yang kondisi jalannya beraspal dan relatif masih mulus, hanya saja
melewati jalur ini jalan yang dilalui sedikit memutar dan lebih banyak dihiasi tanjakan-tanjakan.
Dengan mengambil jalur Campaka maka tenaga bisa dihemat karena mulai dari kampung Cibitung -lah baru akan
ditemui tanjakan – tanjakan yang lebih berat menuju Artavella. Ujung dari jalur
makadam ini adalah sebuah perempatan yang lokasinya berada di atas kampung Cibitung
, yang juga menjadi pertemuan dengan jalur dari PLTP Wayang – Windu. Mulai dari
sini kondisi jalan menjadi beraspal, dengan kerusakan di beberapa bagiannya,
sedikit memudahkan kami untuk mengendalikan sepeda. Namun ternyata mulai dari
sini tanjakan yang dijumpai mulai terasa lebih berat.
Hari semakin
terik, mengayuh pedal di jalan menanjak di ketinggian lebih dari 1600 mdpl
benar – benar menyiksa. Gowesan terasa sangat lambat dan berat, ditambah dengan
gersangnya kondisi di sekitar jalur yang dilalui, hampir tidak ditemui tegakan
pepohonan rindang yang memayungi kami, benar – benar menjadi ujian fisik dan
mental untuk melaluinya. Dengan sendirinya rombongan kami terbagi menjadi 3
grup, grup yang berada paling depan adalah teman – teman yang memiliki stamina
prima, mereka mengayuh pedal sepeda dengan stabil, kecepatan konstan dan tanpa
istirahat meskipun di jalan menanjak. Grup
kedua yang berada di tengah adalah yang stamina dan kondisi fisiknya pas –
pasan namun masih berusaha mengayuh pedal melewati jalur ini, dan sebisa
mungkin tanpa TTB, meskipun akhirnya setiap sehabis melewati satu tanjakan
harus berhenti untuk mengatur nafas dan mengistirahatkan otot – otot kaki yang
mulai menegang, untuk kemudian kembali mengayuh sepedanya melanjutkan
perjalanan, slogan penyemangat yang biasa dipakai adalah “biar lambat asal
tidak TTB”. Sedang grup yang terakhir adalah teman – teman yang lebih memilih
untuk sepenuhnya ber-TTB, menuntun sepeda – sepeda mereka. Sebagian ada yang
memang sudah kehabisan tenaga sejak memasuki jalan aspal di Cibitung tadi, atau ada juga yang TTB karena sepeda –
sepeda mereka berspesifikasi FR yang akan membuat pengendaranya sangat tersiksa
apabila mencoba mengendarai sepedanya di jalur aspal menanjak ini. Namun yang
harus diapresiasi dari grup ketiga ini adalah mental dan semangat mereka yang
kuat untuk terus melanjutkan perjalanan meskipun harus bersusah payah menuntun
sepeda, dan menjadi yang paling lambat di antara rombongan ini. Tidak terasa
jarak Kertamanah – Artavella yang
“hanya” 5 km harus ditempuh selama 2 jam, karena sepanjang jalan yang dilalui
adalah tanjakan – tanjakan yang nyaris tanpa jeda yang akhirnya membuat waktu
tempuhnya menjadi sedemikian lama.
Titik
pemberhentian kami berikutnya adalah Artavella di ketinggian ±1960 mdpl, tempat
ini adalah sebuah pertigaan yang salah satu jalurnya menuju ke Curug Panganten.
Di kawasan ini pula jalan aspal berakhir, di sebuah sumur sumber gas bumi PLTP
Wayang – Windu. Sekitar pukul 12 sampailah kami di Artavella, dari pertigaan
ini kami menuju ke arah utara untuk beristirahat sejenak di sebuah warung kecil
yang berada di tengah – tengah ladang sayuran dan tegakan pohon – pohon
Eukaliptus. Warung ini menjadi tempat beristirahat dan menjadi penyedia
kebutuhan para petani penggarap seperti rokok, minuman ringan, makanan kecil
dan sebagainya selagi mereka bekerja di sekitar sini. Kami pun beristirahat di
warung ini, menyantap makanan kecil dan cemilan untuk mengembalikan stamina
yang terkuras selama perjalanan dari Kertamanah tadi. Setelah beristirahat sekitar 45 menit
kami pun melanjutkan sisa perjalanan menuju Curug Panganten. Jalur yang harus
ditempuh adalah sebuah singel trek menurun di tengah – tengah ladang, di ujung
turunan sana jalur terlihat menanjak sampai ke batas hutan. Setelah sedikit
menghibur diri dengan meluncur di turunan yang tidak terlalu panjang itu
sampailah kami di sebuah jembatan kecil di ujung turunan tadi, dan di depan
kami adalah sebuah singel trek menanjak di tengah ladang sayuran dan kemudian
disambung dengan hamparan lahan bukaan yang kelihatannya belum lama diolah dari
hutan tak lama lagi akan menjelma menjadi ladang - ladang sayuran. Melihat dari
kondisinya tidak memungkinkan untuk mengendarai sepeda melewatinya, akhirnya
kami semua pun menuntun sepeda masing – masing merayapinya, dan setelah
bersusah payah melewati ladang dan kemudian menuju ke lahan bukaan bertanah
gembur yang menyulitkan kaki untuk melangkah, pukul 13 akhirnya sampai juga
kami di batas hutan yang ditandai oleh pagar memanjang yang memisahkan kawasan
hutan dan lahan bukaan. Batas hutan ini berada di sebuah punggungan, ini
berarti perjalanan kami berikutnya menuju curug untuk sementara tidak akan
menemukan tanjakan-tanjakan, namun trek yang sempit karena berada di pinggir
jurang tidak memungkinkan untuk membawa sepeda sampai ke lokasi curug, kami pun
memutuskan untuk menyimpan sepeda di batas hutan. Setelah memastikan sepeda dalam posisi aman
kami pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi curug. Singel trek menuju lokasi
curug selain sempit juga licin karena memang curug ini cukup tersembunyi di
tengah hutan sehingga tidak begitu banyak orang yang mengetahui keberadaan Curug
Panganten ini, membuat lokasi di sekitarnya pun masih asri dan terjaga
kealamiannya.
Setelah berjalan
meniti singel trek sempit dan licin kurang lebih 100 m, sampailah kami di
sebuah belokan, sampai di belokan ini suara gemuruh air terjun belum terdengar,
baru lah setelah kami melewati punggungan kecil gemuruh suara air terjun
terdengar, tak lama kemudian di hadapan kami tampaklah 2 curug kembar
berdampingan setinggi ± 30 m, itulah Curug Panganten, indah sekali. Airnya yang
deras namun jernih menimbulkan semburan angin bercampur dengan uap - uap air
yang membasahi tubuh kami. Sejenak awan tersibak dan matahari menyinari curug
ini, seketika itu pula selarik pelangi muncul di hadapan kami, dahsyat..!!
Semua rasa lelah hilang berganti rasa takjub dan gembira menyaksikan sajian
alam yang menakjubkan di hadapan kami. Beberapa teman spontan menjerit bahagia
mengekspresikan rasa hati mereka mendapati semua keindahan ini.
Segera kami
mendekati curug, mengambil posisi terbagus dan kemudian berfoto – foto
mengabadikan keindahan Curug Panganten ini. Namun kami tidak sempat berenang
disini, meskipun saat itu air curug tidak begitu besar membuat air curug cukup
jernih, karena berhubung hari yang sudah semakin siang sementara perjalanan
kami masih cukup jauh. Juga posisi Curug Panganten yang berada di ketinggian
lebih dari 2000 mdpl membuat suhu di sekitar sini cukup dingin, padahal saat
itu waktu menunjukkan pukul 14.00 wib. Kami pun segera menuju acara utama kami
yang sudah direncanakan yaitu botram alias makan bersama. Kami mengambil spot
di sebuah tempat yang agak lapang, di balik sebuah belokan supaya ketika kami
makan kami tidak akan kebasahan terkena terpaan uap air curug. Perut yang sejak
dari tadi meminta untuk diisi akhirnya bisa mendapatkan bagiannya, kami segera
membuka dan memakan perbekalan yang kami bawa. Nikmat sekali menyantap makanan
ketika rasa lapar sudah mencapai puncaknya sambil diiringi deru air terjun Curug
Panganten, sempurna. Beberapa teman segera memanaskan air dan membuat teh dan
kopi, semakin terasa sempurna suasana botram saat itu, beristirahat setelah
perut kenyang terisi sambil menikmati indahnya Curug Panganten dengan ditemani
segelas teh panas. Tidak terasa 1 jam lebih kami berada di tempat itu, waktu
sudah menunjukkan pukul 15, kami harus segera meninggalkan Curug Panganten
karena kami masih harus menuntaskan sisa perjalanan trip ini menuju titik finish di kampung Cinyiruan.
Kami pun kembali
berjalan menyusuri singel trek menuju batas hutan ke tempat sepeda diparkir, segera mempersiapkan sepeda masing –
masing dan sepeda pun melaju membelah lahan – lahan bukaan dan ladang – ladang
sayuran menuju Artavella. Setelah regrouping
kami pun segera meluncur
meninggalkan Artavella untuk menjemput kejutan – kejutan yang akan kami jumpai
di trek menurun di depan. Seperti sudah disebutkan di atas, posisi Artavella
berada di ketinggian ±1960 mdpl dan perjalanan akan menuju kampung Cinyiruan di
ketinggian ±1550 mdpl, meluncur turun di sepanjang singel trek membelah ladang
– ladang sayur dan perkebunan teh dengan elevasi ± 400 m pasti akan memberikan
sensasi yang luar biasa, apalagi buat para pencinta downhill dengan sepeda FR-nya yang sejak dari kampung Cibitung
sudah harus menuntun sepedanya, sekaranglah saatnya bagi mereka untuk “membalas
dendam”. Dari pertigaan Artavella kami menuju ke arah timur menuju ujung jalan
aspal di sebuah sumur gas milik PLTP Wayang – Windu, dari sana mulai masuk
singel trek, dan selepas sumur gas tersebut terbentanglah singel trek meliuk –
liuk menuruni perbukitan di bawah kami, berlatar ladang sayuran dan perkebunan
teh. kota Pangalengan dan Situ Cileunca di
kejauhan terlihat seakan dibentengi oleh deretan pegunungan kawasan Cagar Alam
Gunung Tilu. Sejenak kami berhenti untuk mengabadikan pemandangan menakjubkan
ini, dan selanjutnya kami pun memacu sepeda masing – masing menuruni singel
trek yang masih terhitung mulus ini. Turunan pertama yang kami hadapi adalah
sebuah turunan yang cukup curam dan panjang, kami menamainya “Turunan 45” ,
karena tingkat kemiringannya yang ekstrem, juga karena di sini kami diharuskan
untuk memiliki “semangat 45” untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus.
Beberapa teman sukses menuruninya, terutama mereka yang mengendarai sepeda AM
dan FR. Saya dan teman – teman yang bersepeda XC dengan travel fork maksimal 120 mm pun tidak mau ketinggalan untuk bisa
melewati turunan ini dengan mulus walaupun kami harus dengan berhati – hati
ekstra konsentrasi. Beberapa teman ada yang gagal dan terjatuh ketika
melewatinya, namun semua tetap gembira
Di turunan ini
sebagian dari kami memang masih belum bisa menikmatinya, mungkin masih
beradaptasi. Tapi di turunan – turunan berikutnyalah kami semua bisa sepenuhnya
menikmati sajian trek menurun ini. Setelah menyeberangi sebuah sungai kecil
sampailah kami di sebuah turunan panjang yang cukup landai, bebas monorail dan
cukup lebar pula, kurang lebih 1m lebarnya. Di sinilah kami benar – benar
bersenang – senang mengendarai sepeda yang melaju kencang, melibas belokan –
belokan yang membentuk berm – berm alami, juga melakukan jump di dropoff yang juga terbentuk secara alami. Tidak terasa sampailah
kami di sebuah persimpangan, ini adalah titik awal dari trek Kertamanah – Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas
sebelumnya. Jadi mulai dari sini kami akan menyusuri trek Kertamanah – Bojongwaru, yang masih dihiasi turunan –
turunan menantang dan mengasyikkan meskipun di beberapa bagian ada dihiasi
tanjakan – tanjakan. Namun karena pertimbangan waktu yang sudah beranjak sore
(sekitar pukul 15.30 kami tiba di persimpangan ini) maka diputuskanlah kami
akan menyusuri separuh atau ½ bagian dari trek Kertamanah – Bojongwaru ini dan akan mengambil titik finish di Makam Belanda Gerard Alfred
Cup kemudian turun menuju kampung Cinyiruan.
Kembali kami
mengayuh pedal mengarah ke timur menuju turunan di sebuah lembah, dan satu per
satu sepeda meluncur turun menuju ujung turunan yang berupa sungai kecil, dan
seperti biasa, sebuah turunan di lembah yang diakhiri sebuah sungai, pastilah
kita akan berhadapan dengan tanjakan, begitu pula di sini, kami sekarang berhadapan
dengan sebuah tanjakan yang akan membawa kami menuju jalan aspal untuk kemudian
nanti kembali masuk ke singel trek “walungan saat”. Di persimpangan tadi kami
berada di ketinggian ±1550 mdpl, dan kami akan menyusuri singel trek disambung
dengan jalan aspal menanjak ini menuju ketinggian ±1750 mdpl, untuk kemudian
turun lagi ke kampung cinyiruan di ketinggian ±1500 mdpl. Lumayan setelah
berjibaku dengan tanjakan yang cukup melelahkan ini kami akan mendapatkan bonus
turunan panjang di trek “walungan saat” sampai ke makam Mr. Cup. Tiba di
persimpangan menuju trek “walungan saat” kembali kami beristirahat mengatur
nafas sekaligus menunggu teman – teman yang masih berjuang mengayuh pedalnya
menuju ke sini. Di sini kami beristirahat sambil menikmati pemandangan
perkebunan teh yang menakjubkan, cukup untuk sedikit mengembalikan stamina.
Setelah regrouping kami pun satu per
satu mulai menuruni trek “walungan saat” yang diawali dengan “pumping track” atau trek yang berupa
gundukan – gundukan kecil, enak sekali melewatinya, apalagi dengan sepeda yang
bersuspensi mumpuni. Selepas ini singel trek berubah sedikit mulus dengan
hiasan 1 belokan tajam membentuk berm,
nikmat sekali melewati turunan berbelok ini, dan setelah ini barulah kami
melewati singel trek yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan sungai kering,
banyak batu – batu besar juga cerukan – cerukan dalam, karena itulah trek ini
dinamai “walungan saat” yang dalam bahasa indonesia berarti sungai yang kering.
Dari sini disambung kembali dengan turunan yang cukup landai dan agak lebar
dihiasi rerumputan yang merupakan sajian penutup dari trip kali ini, di sini
kami memacu sepeda sambil tetap waspada
dan konsentrasi karena di beberapa bagian terdapat batu – batu lumayan besar
yang tertutup rerumputan.
Akhirnya sekitar
pukul 16.30 sore sampailah kami di makam belanda Mr. Cup, dan setelah semua
berkumpul kami pun masuk ke jalan makadam menurun menuju kampung Cinyiruan. Ada
sedikit rasa penasaran karena masih banyak turunan menantang apabila kami
melanjutkan trip ini hingga kampung Bojongwaru. Tapi tidak apa – apa, karena
kami sudah berencana akan mencoba sekali lagi trip ini, start dari Artavella dan finish bukan
di Bojongwaru pangalengan, melainkan lebih jauh dari itu, treknya akan diperpanjang
hingga menuju Datar Mala dan finish
di Cikalong kecamatan Cimaung. Sambil mengayuh sepeda semua pengalaman dan
keindahan yang tadi sudah dilewati terus terbayang di benak di fikiran masing –
masing. Dan rencana trip selanjutnya seakan
terpatri di hati kami ketika sepeda – sepeda kami meluncur turun menyusuri
jalan aspal perkebunan Kertamanah menuju jalan raya Pangalengan yang mengantar
kami pulang kembali menuju Bandung.
No comments:
Post a Comment