Thursday, June 5, 2014

GOWES PIKNIK TREK KERTAMANAH -CURUG PANGANTEN-CINYIRUAN


Sekali lagi Pangalengan menawarkan trek XC yang sangat menarik dan menantang, lokasinya masih di sekitar perkebunan Kertamanah . Untuk gowes kali ini kami akan mencoba trek Kertamanah -Artavella kemudian dilanjutkan piknik ke Curug Panganten dan finish di kampung Cinyiruan, masih di daerah perkebunan Kertamanah . Salah satu sesi acara dari gowes kali ini adalah piknik sekaligus botram atau makan bersama di area Curug Panganten sebelum kemudian meluncur menuruni perbukitan dari Artavella sampai Cinyiruan. Trip kali ini merupakan kombinasi dari trek Artavella-Campaka, dan dilanjutkan dengan menyusuri singel trek Campaka-Cinyiruan yang merupakan bagian dari trek Kertamanah -Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Sudah terbayang keasyikan yang akan kami dapatkan dari trip kali ini, sebelumnya kami pernah mencoba trek Kertamanah -Bojongwaru yang memiliki turunan-turunan menantang,dan kali ini trek ini akan disatukan dengan trek Artavella yang posisinya lebih tinggi dari Kertamanah , yang baru pertama kali kami coba. Bisa dibayangkan keasyikan yang akan didapatkan ketika sepeda-sepeda kami meluncur menuruni perbukitan dari ketinggian ±1960 mdpl menuju ketinggian ±1550 mdpl.

Seperti biasa kami berangkat pagi - pagi dari Bandung, sepeda kami loading dengan menggunakan 1 unit truk. Sampai di penangkaran rusa Kertamanah  sekitar pukul 9.15 dan sepeda kami turunkan di sini, kami berencana untuk mulai menggowes dari sini menuju Artavella sejauh kurang lebih 5 km. setelah mempersiapkan sepeda masing-masing dan menyantap cemilan sekedar untuk mengganjal perut dan menambah stamina, kami pun memulai perjalanan menuju Artavella dengan menempuh jalur Campaka menuju titik pemberhentian pertama di daerah kampung Cibitung . Jarak dari Campaka ke kampung Cibitung  kurang lebih 2 km, berupa jalan makadam dan tanjakan-tanjakan landai, kami masih bisa menikmati perjalanan ini, meskipun tetap saja membuat nafas menjadi lebih cepat dan jantung berdetak lebih kencang, lumayan sebagai pemanasan.

Sebenarnya selain melewati Campaka, jalur menuju kampung Cibitung  bisa juga ditempuh melalui jalur PLTP Wayang - Windu yang kondisi jalannya beraspal dan relatif masih mulus, hanya saja melewati jalur ini jalan yang dilalui sedikit memutar dan lebih banyak dihiasi tanjakan-tanjakan. Dengan mengambil jalur Campaka maka tenaga bisa dihemat karena  mulai dari kampung Cibitung -lah baru akan ditemui tanjakan – tanjakan yang lebih berat menuju Artavella. Ujung dari jalur makadam ini adalah sebuah perempatan yang lokasinya berada di atas kampung Cibitung , yang juga menjadi pertemuan dengan jalur dari PLTP Wayang – Windu. Mulai dari sini kondisi jalan menjadi beraspal, dengan kerusakan di beberapa bagiannya, sedikit memudahkan kami untuk mengendalikan sepeda. Namun ternyata mulai dari sini tanjakan yang dijumpai mulai terasa lebih berat.

Hari semakin terik, mengayuh pedal di jalan menanjak di ketinggian lebih dari 1600 mdpl benar – benar menyiksa. Gowesan terasa sangat lambat dan berat, ditambah dengan gersangnya kondisi di sekitar jalur yang dilalui, hampir tidak ditemui tegakan pepohonan rindang yang memayungi kami, benar – benar menjadi ujian fisik dan mental untuk melaluinya. Dengan sendirinya rombongan kami terbagi menjadi 3 grup, grup yang berada paling depan adalah teman – teman yang memiliki stamina prima, mereka mengayuh pedal sepeda dengan stabil, kecepatan konstan dan tanpa istirahat  meskipun di jalan menanjak. Grup kedua yang berada di tengah adalah yang stamina dan kondisi fisiknya pas – pasan namun masih berusaha mengayuh pedal melewati jalur ini, dan sebisa mungkin tanpa TTB, meskipun akhirnya setiap sehabis melewati satu tanjakan harus berhenti untuk mengatur nafas dan mengistirahatkan otot – otot kaki yang mulai menegang, untuk kemudian kembali mengayuh sepedanya melanjutkan perjalanan, slogan penyemangat yang biasa dipakai adalah “biar lambat asal tidak TTB”. Sedang grup yang terakhir adalah teman – teman yang lebih memilih untuk sepenuhnya ber-TTB, menuntun sepeda – sepeda mereka. Sebagian ada yang memang sudah kehabisan tenaga sejak memasuki jalan aspal di Cibitung  tadi, atau ada juga yang TTB karena sepeda – sepeda mereka berspesifikasi FR yang akan membuat pengendaranya sangat tersiksa apabila mencoba mengendarai sepedanya di jalur aspal menanjak ini. Namun yang harus diapresiasi dari grup ketiga ini adalah mental dan semangat mereka yang kuat untuk terus melanjutkan perjalanan meskipun harus bersusah payah menuntun sepeda, dan menjadi yang paling lambat di antara rombongan ini. Tidak terasa jarak Kertamanah  – Artavella yang “hanya” 5 km harus ditempuh selama 2 jam, karena sepanjang jalan yang dilalui adalah tanjakan – tanjakan yang nyaris tanpa jeda yang akhirnya membuat waktu tempuhnya menjadi sedemikian lama.

Titik pemberhentian kami berikutnya adalah Artavella di ketinggian ±1960 mdpl, tempat ini adalah sebuah pertigaan yang salah satu jalurnya menuju ke Curug Panganten. Di kawasan ini pula jalan aspal berakhir, di sebuah sumur sumber gas bumi PLTP Wayang – Windu. Sekitar pukul 12 sampailah kami di Artavella, dari pertigaan ini kami menuju ke arah utara untuk beristirahat sejenak di sebuah warung kecil yang berada di tengah – tengah ladang sayuran dan tegakan pohon – pohon Eukaliptus. Warung ini menjadi tempat beristirahat dan menjadi penyedia kebutuhan para petani penggarap seperti rokok, minuman ringan, makanan kecil dan sebagainya selagi mereka bekerja di sekitar sini. Kami pun beristirahat di warung ini, menyantap makanan kecil dan cemilan untuk mengembalikan stamina yang terkuras selama perjalanan dari Kertamanah  tadi. Setelah beristirahat sekitar 45 menit kami pun melanjutkan sisa perjalanan menuju Curug Panganten. Jalur yang harus ditempuh adalah sebuah singel trek menurun di tengah – tengah ladang, di ujung turunan sana jalur terlihat menanjak sampai ke batas hutan. Setelah sedikit menghibur diri dengan meluncur di turunan yang tidak terlalu panjang itu sampailah kami di sebuah jembatan kecil di ujung turunan tadi, dan di depan kami adalah sebuah singel trek menanjak di tengah ladang sayuran dan kemudian disambung dengan hamparan lahan bukaan yang kelihatannya belum lama diolah dari hutan tak lama lagi akan menjelma menjadi ladang - ladang sayuran. Melihat dari kondisinya tidak memungkinkan untuk mengendarai sepeda melewatinya, akhirnya kami semua pun menuntun sepeda masing – masing merayapinya, dan setelah bersusah payah melewati ladang dan kemudian menuju ke lahan bukaan bertanah gembur yang menyulitkan kaki untuk melangkah, pukul 13 akhirnya sampai juga kami di batas hutan yang ditandai oleh pagar memanjang yang memisahkan kawasan hutan dan lahan bukaan. Batas hutan ini berada di sebuah punggungan, ini berarti perjalanan kami berikutnya menuju curug untuk sementara tidak akan menemukan tanjakan-tanjakan, namun trek yang sempit karena berada di pinggir jurang tidak memungkinkan untuk membawa sepeda sampai ke lokasi curug, kami pun memutuskan untuk menyimpan sepeda di batas hutan.  Setelah memastikan sepeda dalam posisi aman kami pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi curug. Singel trek menuju lokasi curug selain sempit juga licin karena memang curug ini cukup tersembunyi di tengah hutan sehingga tidak begitu banyak orang yang mengetahui keberadaan Curug Panganten ini, membuat lokasi di sekitarnya pun masih asri dan terjaga kealamiannya.

Setelah berjalan meniti singel trek sempit dan licin kurang lebih 100 m, sampailah kami di sebuah belokan, sampai di belokan ini suara gemuruh air terjun belum terdengar, baru lah setelah kami melewati punggungan kecil gemuruh suara air terjun terdengar, tak lama kemudian di hadapan kami tampaklah 2 curug kembar berdampingan setinggi ± 30 m, itulah Curug Panganten, indah sekali. Airnya yang deras namun jernih menimbulkan semburan angin bercampur dengan uap - uap air yang membasahi tubuh kami. Sejenak awan tersibak dan matahari menyinari curug ini, seketika itu pula selarik pelangi muncul di hadapan kami, dahsyat..!! Semua rasa lelah hilang berganti rasa takjub dan gembira menyaksikan sajian alam yang menakjubkan di hadapan kami. Beberapa teman spontan menjerit bahagia mengekspresikan rasa hati mereka mendapati semua keindahan ini.

Segera kami mendekati curug, mengambil posisi terbagus dan kemudian berfoto – foto mengabadikan keindahan Curug Panganten ini. Namun kami tidak sempat berenang disini, meskipun saat itu air curug tidak begitu besar membuat air curug cukup jernih, karena berhubung hari yang sudah semakin siang sementara perjalanan kami masih cukup jauh. Juga posisi Curug Panganten yang berada di ketinggian lebih dari 2000 mdpl membuat suhu di sekitar sini cukup dingin, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 14.00 wib. Kami pun segera menuju acara utama kami yang sudah direncanakan yaitu botram alias makan bersama. Kami mengambil spot di sebuah tempat yang agak lapang, di balik sebuah belokan supaya ketika kami makan kami tidak akan kebasahan terkena terpaan uap air curug. Perut yang sejak dari tadi meminta untuk diisi akhirnya bisa mendapatkan bagiannya, kami segera membuka dan memakan perbekalan yang kami bawa. Nikmat sekali menyantap makanan ketika rasa lapar sudah mencapai puncaknya sambil diiringi deru air terjun Curug Panganten, sempurna. Beberapa teman segera memanaskan air dan membuat teh dan kopi, semakin terasa sempurna suasana botram saat itu, beristirahat setelah perut kenyang terisi sambil menikmati indahnya Curug Panganten dengan ditemani segelas teh panas. Tidak terasa 1 jam lebih kami berada di tempat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 15, kami harus segera meninggalkan Curug Panganten karena kami masih harus menuntaskan sisa perjalanan trip ini menuju titik finish di kampung Cinyiruan.

Kami pun kembali berjalan menyusuri singel trek menuju batas hutan ke tempat sepeda  diparkir, segera mempersiapkan sepeda masing – masing dan sepeda pun melaju membelah lahan – lahan bukaan dan ladang – ladang sayuran menuju Artavella. Setelah regrouping  kami pun segera meluncur meninggalkan Artavella untuk menjemput kejutan – kejutan yang akan kami jumpai di trek menurun di depan. Seperti sudah disebutkan di atas, posisi Artavella berada di ketinggian ±1960 mdpl dan perjalanan akan menuju kampung Cinyiruan di ketinggian ±1550 mdpl, meluncur turun di sepanjang singel trek membelah ladang – ladang sayur dan perkebunan teh dengan elevasi ± 400 m pasti akan memberikan sensasi yang luar biasa, apalagi buat para pencinta downhill dengan sepeda FR-nya yang sejak dari kampung Cibitung sudah harus menuntun sepedanya, sekaranglah saatnya bagi mereka untuk “membalas dendam”. Dari pertigaan Artavella kami menuju ke arah timur menuju ujung jalan aspal di sebuah sumur gas milik PLTP Wayang – Windu, dari sana mulai masuk singel trek, dan selepas sumur gas tersebut terbentanglah singel trek meliuk – liuk menuruni perbukitan di bawah kami, berlatar ladang sayuran dan perkebunan teh.  kota Pangalengan dan Situ Cileunca di kejauhan terlihat seakan dibentengi oleh deretan pegunungan kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Sejenak kami berhenti untuk mengabadikan pemandangan menakjubkan ini, dan selanjutnya kami pun memacu sepeda masing – masing menuruni singel trek yang masih terhitung mulus ini. Turunan pertama yang kami hadapi adalah sebuah turunan yang cukup curam dan panjang, kami menamainya “Turunan 45” , karena tingkat kemiringannya yang ekstrem, juga karena di sini kami diharuskan untuk memiliki “semangat 45” untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus. Beberapa teman sukses menuruninya, terutama mereka yang mengendarai sepeda AM dan FR. Saya dan teman – teman yang bersepeda XC dengan travel fork maksimal 120 mm pun tidak mau ketinggalan untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus walaupun kami harus dengan berhati – hati ekstra konsentrasi. Beberapa teman ada yang gagal dan terjatuh ketika melewatinya, namun semua tetap gembira

Di turunan ini sebagian dari kami memang masih belum bisa menikmatinya, mungkin masih beradaptasi. Tapi di turunan – turunan berikutnyalah kami semua bisa sepenuhnya menikmati sajian trek menurun ini. Setelah menyeberangi sebuah sungai kecil sampailah kami di sebuah turunan panjang yang cukup landai, bebas monorail dan cukup lebar pula, kurang lebih 1m lebarnya. Di sinilah kami benar – benar bersenang – senang mengendarai sepeda yang melaju kencang, melibas belokan – belokan yang membentuk berm – berm  alami, juga melakukan jump  di dropoff yang juga terbentuk secara alami. Tidak terasa sampailah kami di sebuah persimpangan, ini adalah titik awal dari trek Kertamanah  – Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Jadi mulai dari sini kami akan menyusuri trek Kertamanah  – Bojongwaru, yang masih dihiasi turunan – turunan menantang dan mengasyikkan meskipun di beberapa bagian ada dihiasi tanjakan – tanjakan. Namun karena pertimbangan waktu yang sudah beranjak sore (sekitar pukul 15.30 kami tiba di persimpangan ini) maka diputuskanlah kami akan menyusuri separuh atau ½ bagian dari trek Kertamanah  – Bojongwaru ini dan akan mengambil titik finish di Makam Belanda Gerard Alfred Cup kemudian turun menuju kampung Cinyiruan.

Kembali kami mengayuh pedal mengarah ke timur menuju turunan di sebuah lembah, dan satu per satu sepeda meluncur turun menuju ujung turunan yang berupa sungai kecil, dan seperti biasa, sebuah turunan di lembah yang diakhiri sebuah sungai, pastilah kita akan berhadapan dengan tanjakan, begitu pula di sini, kami sekarang berhadapan dengan sebuah tanjakan yang akan membawa kami menuju jalan aspal untuk kemudian nanti kembali masuk ke singel trek “walungan saat”. Di persimpangan tadi kami berada di ketinggian ±1550 mdpl, dan kami akan menyusuri singel trek disambung dengan jalan aspal menanjak ini menuju ketinggian ±1750 mdpl, untuk kemudian turun lagi ke kampung cinyiruan di ketinggian ±1500 mdpl. Lumayan setelah berjibaku dengan tanjakan yang cukup melelahkan ini kami akan mendapatkan bonus turunan panjang di trek “walungan saat” sampai ke makam Mr. Cup. Tiba di persimpangan menuju trek “walungan saat” kembali kami beristirahat mengatur nafas sekaligus menunggu teman – teman yang masih berjuang mengayuh pedalnya menuju ke sini. Di sini kami beristirahat sambil menikmati pemandangan perkebunan teh yang menakjubkan, cukup untuk sedikit mengembalikan stamina. Setelah regrouping kami pun satu per satu mulai menuruni trek “walungan saat” yang diawali dengan “pumping track” atau trek yang berupa gundukan – gundukan kecil, enak sekali melewatinya, apalagi dengan sepeda yang bersuspensi mumpuni. Selepas ini singel trek berubah sedikit mulus dengan hiasan 1 belokan tajam membentuk berm, nikmat sekali melewati turunan berbelok ini, dan setelah ini barulah kami melewati singel trek yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan sungai kering, banyak batu – batu besar juga cerukan – cerukan dalam, karena itulah trek ini dinamai “walungan saat” yang dalam bahasa indonesia berarti sungai yang kering. Dari sini disambung kembali dengan turunan yang cukup landai dan agak lebar dihiasi rerumputan yang merupakan sajian penutup dari trip kali ini, di sini kami  memacu sepeda sambil tetap waspada dan konsentrasi karena di beberapa bagian terdapat batu – batu lumayan besar yang tertutup rerumputan.


Akhirnya sekitar pukul 16.30 sore sampailah kami di makam belanda Mr. Cup, dan setelah semua berkumpul kami pun masuk ke jalan makadam menurun menuju kampung Cinyiruan. Ada sedikit rasa penasaran karena masih banyak turunan menantang apabila kami melanjutkan trip ini hingga kampung Bojongwaru. Tapi tidak apa – apa, karena kami sudah berencana akan mencoba sekali lagi trip ini, start  dari Artavella dan  finish bukan di Bojongwaru pangalengan, melainkan lebih jauh dari itu, treknya akan diperpanjang hingga menuju Datar Mala dan finish di Cikalong kecamatan Cimaung. Sambil mengayuh sepeda semua pengalaman dan keindahan yang tadi sudah dilewati terus terbayang di benak di fikiran masing – masing.  Dan rencana trip selanjutnya seakan terpatri di hati kami ketika sepeda – sepeda kami meluncur turun menyusuri jalan aspal perkebunan Kertamanah menuju jalan raya Pangalengan yang mengantar kami pulang kembali menuju Bandung. 

No comments:

Post a Comment