Satu lagi trek uphill yang cukup menantang bisa
dijumpai di kawasan selatan Bandung, tepatnya di daerah Soreang, yaitu trek
Soreang - Puncak Mulya. Berada di sebelah barat kota kecamatan Soreang, kampung
Puncak Mulya secara administratif masuk ke kecamatan Kutawaringin. Rute jalur
ini mudah ditemui karena titik start-nya dimulai dari kampung Leuwi Munding yang
lokasinya tepat berada di belakang Alun – Alun Soreang. Panjang trek Puncak
Mulya ini sekitar 6 km dengan dihiasi beberapa tanjakan curam yang cukup
menantang untuk ditaklukkan oleh para goweser uphiller/ pecinta tanjakan. Namun tingkat kesulitan di trek ini
masih lebih ringan apabila dibandingkan dengan trek Leuweung Datar yang memang
memiliki tanjakan lebih banyak, lebih curam dan jarak yang lebih jauh sampai ke
titik tertingginya, sehingga ketenaran trek Puncak Mulya ini dengan sendirinya
berada di bawah trek Leuweung Datar yang sudah masuk kategori trek uphill legendaris bersanding dengan trek
Tanjakan Monteng Majalaya-Kamojang. Tapi mengingat lokasi dan jaraknya yang
relatif dekat dengan pusat kota Soreang, juga jarak treknya yang tidak begitu
jauh namun dihiasi tanjakan – tanjakan yang cukup menantang membuat trek ini
juga cukup banyak didatangi goweser pecinta uphill
dan rasanya layak juga untuk dicoba. Dan jadilah saya bersama 3 orang teman mencoba
untuk merasakan juga bagaimana pedasnya tanjakan di trek Soreang – Puncak Mulya
ini.
Pukul 8 pagi
kami sudah berada di Alun – Alun Soreang, sambil mempersiapkan bekal cemilan
dan air minum untuk bekal selama perjalanan kami bertemu dan mengobrol dengan
goweser – goweser lain yang juga berkumpul di sini, yang memang jadi titik
kumpul bagi goweser yang akan melakukan perjalanan seperti ke arah Ciwidey,
Buper Andes - Nangerang, dan tentu saja ke kampung Puncak Mulya. Dari ngobrol –
ngobrol tersebut didapat informasi bahwa dari kampung Puncak Mulya ternyata perjalanan
bisa dilanjutkan menuju kecamatan Cililin atau Situwangi kecamatan Cihampelas kabupaten
Bandung Barat dengan melalui daerah Mukapayung dan Walahir. Atau bisa juga
dilanjutkan menuju Ciwidey dengan melalui daerah Gunung Padang yang cukup
dikenal di kalangan para peziarah, atau orang yang tengah “menginginkan
sesuatu”. Bisa juga dilanjutkan menuju Buper Andes dan Sadu dengan melalui
kampung Cilame atau yang terdekat ke daerah Pasir Angin yang berada di kaki Gunung
Singa Leuwi Munding. Dan kami yang baru pertama kali menjajal trek ini
memutuskan untuk turun menuju Cilame saja, tepatnya menuju kampung Cilame
Tengah, dan dilanjutkan menyusuri jalan desa dan saluran irigasi kembali ke
kampung Leuwi Munding sebagai titik finish
dengan alasan ketidaktahuan kami akan estimasi waktu yang dibutuhkan
apabila turun ke Cililin atau Ciwidey, sedangkan waktu gowes kami terbatas
hanya sampai tengah hari.
Setelah
berpamitan kepada goweser – goweser lain, tepat pukul 09.00 kami bergerak
menuju kampung Leuwi Munding, pagi yang segar dan tidak terlalu panas
mengiringi perjalanan kami. Setelah melewati jembatan Sungai Ciwidey jalan
menjadi sedikit menanjak, terus menuju jembatan di saluran irigasi dan berakhir
di atas saluran irigasi, “tanjakan selamat datang” ini cukup membuat detak
jantung menjadi lebih cepat, lumayan sebagai pemanasan. Dari ujung tanjakan
perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan beraspal mulus dan berhawa sejuk
karena di kiri kanan kami dipayungi rerimbunan pohon – pohon bambu. Karena
kebetulan saat itu adalah hari Minggu, kami pun berpapasan dengan beberapa
rombongan yang akan hiking ke Gunung
Singa melalui kampung Pasir Angin. Ya, Gunung Singa di daerah Leuwi Munding ini
memang menjadi salah satu lokasi favorit untuk melakukan kegiatan hiking, dan dapat menikmati pemandangan
kota Soreang, Bandung dan sekitarnya ketika tiba di puncaknya. 15 menit berlalu
sampailah kami di sebuah pertigaan. Berbelok ke kiri menuju ke arah barat
adalah tujuan kami, menuju kampung Puncak Mulya, sedangkan lurus ke arah utara
akan membawa kita menuju kampung Sinday, Jatisari, Stadion Si Jalak Harupat
kecamatan Kutawaringin dan sekitarnya.
Yang pertama
harus dihadapi ketika kami berbelok ke arah kampung Puncak Mulya adalah jalan
menanjak dengan kondisi aspal yang buruk, sebagian besar aspal di jalan ini
sudah habis terkikis dan hanya menyisakan kerikil – kerikil lepas. Kami lumayan
dibuat ngos – ngosan, melewati jalan menanjak dengan kondisi jalan penuh
kerikil ini. Namun selepas tanjakan ini kondisi jalan mulai membaik dan kami
mendapatkan bonus jalan mendatar cukup panjang ditambah sebuah turunan sebelum
menuju tanjakan berikutnya. Dari pertigaan sampai ke tanjakan yang kami akan
kami hadapi berikutnya ini posisinya berada di sisi utara Gunung Singa,
kemudian kami bergerak menuju ke sisi baratnya, sehingga mulai dari ujung
tanjakan di depan sampai ke kampung Puncak Mulya posisi kami jadi membelakangi Gunung
Singa, ini membuat setiap istirahat dan melirik ke arah timur selalu
pemandangan Gunung Singa dan kota Soreang selalu menemani dan menjadi penghibur
kami. Tanjakan berikutnya tidak begitu panjang dan relatif masih landai, namun
dihiasi sebuah belokan, ini yang membuatnya menjadi menarik. Akselerasi jadi
sedikit berkurang karena harus berbelok, hasilnya selepas belokan gowesan harus
lebih di-push untuk mengejar
akselerasi yang tadi sempat berkurang, dan meskipun tanjakan ini bisa dilewati
dengan lancar namun tetap membuat nafas menjadi semakin ngos – ngosan. Jalan kembali datar, lumayan sekitar 8 menit
menikmati jalan mendatar ini, kami bertemu kembali dengan tanjakan landai,
dengan karakteristik lurus, kembali tanjakan ini dilewati dengan lancar, tapi
betis mulai terasa panas dan gowesan sudah mulai terasa memberat, tidak terasa
sudah hampir 2 km kami menyusuri jalur ini, pantas saja betis dan dengkul ini
sudah mulai sedikit overheat.
Hanya 5 menit
berlalu di jalan mendatar, tibalah kami di sebuah tanjakan lagi, kali ini
lumayan curam dan panjang. Di kiri kami berdiri anggun Gunung Aul dengan 2
puncaknya yang berhadapan, gunung ini terlihat gersang, jarang pepohonan,
berbeda jauh dengan Gunung Kutawaringin di sisi kanan kami, gunung ini hijau
dan bervegetasi lebat. Di kejauhan terlihat seorang pengendara motor yang
berboncengan tengah berjuang melewati tanjakan ini namun gagal, motornya
menyerah tidak sanggup melewatinya, akhirnya sang penumpang harus rela berjalan
menuntaskan tanjakan tersebut. Kami sedikit gugup, sebegitu beratnya kah
tanjakan ini sehingga motorpun harus menyerah di tengahnya?? Satu per satu
sepeda melaju mulai mendaki tanjakan ini, selepas jembatan di awal tanjakan
betis mulai menegang, namun kaki masih bisa menoleransi kayuhan, sepeda masih
bisa melaju meskipun sedikit merayap. Memasuki pertengahan tanjakan gowesan
terasa semakin berat, dan di depan ada sedikit jalan bergelombang, inilah yang
menyebabkan motor tadi menyerah rupanya, dan memang ketika sepeda menginjak
jalan yang bergelombang ini, kayuhan yang tadi sudah dimaksimalkan pun seakan
tidak cukup untuk bisa melaluinya, berat sekali memang. Satu per satu kami
berhasil melewati tanjakan ini, dan kami pun beristirahat sejenak di bawah
rerimbunan bambu di ujung tanjakan untuk mengatur nafas yang tersengal. Di sini
rupanya ada juga 3 orang goweser lain yang sama – sama sedang beristirahat
setelah melewati tanjakan ini, setelah sejenak mengobrol rombongan goweser tadi
akhirnya melanjutkan perjalanan duluan. 10 menit kami beristirahat di ujung
tanjakan ini, setengah jalan lagi untuk mencapai kampung puncak mulya, waktu
sudah menunjukkan pukul 09.55, ketinggian kami saat itu berada di ± 1025 mdpl,
lumayan juga elevasinya, ketinggian saat start di kampung leuwi munding adalah
± 785 mdpl, dan saat ini kami sudah melalui separuh dari keseluruhan perjalanan
menuju kampung Puncak Mulya.
Sepeda kami pun
melaju kembali menyongsong tanjakan – tanjakan yang entah seperti apa di karakteristiknya
di depan sana. Selepas tanjakan ini rupanya kami tidak lagi menemui bonus jalan
mendatar, yang ada hanyalah jalan berkelok – kelok, tidak terlihat menanjak
namun ketika melewatinya betis terasa menegang dan nafas terengah – engah,
cukup panjang juga jalan berkelok ini dan di ujungnya ada sebuah jembatan,
kemudian jalan berbelok, baru kemudian setelah jembatan ini kami bertemu lagi
dengan sebuah tanjakan lumayan curam. Karakteristik jalur yang seperti ini
mengingatkan saya ke trek uphill di
Bandung Timur yang cukup terkenal yaitu Ujung Berung - Palintang, jalur ini mirip sekali dengan jalur
selepas lapangan bola Palintang menuju titik tertingginya di pertigaan menuju Cibodas,
Palasari 2 dan jalur Genteng. Kembali kami beristirahat di ujung tanjakan ini
sambil menyaksikan pemandangan Gunung Singa dan kota Soreang di hadapan kami.
Di sisi utara terlihat jalan berkelok – kelok yang tadi kami lewati, pantas
saja kami terengah – engah, dari sini baru terlihat menanjaknya jalan yang baru
saja kami lewati itu. Tidak terlalu lama kami berhenti di sini karena cuaca
sudah beranjak panas dan di sini pun cukup gersang, tidak ada pohon – pohon
peneduh. Namun di hadapan kami kembali sebuah tanjakan menanti, pendek namun
cukup curam, dengan susah payah kami melewatinya, beruntung dari sini kami
kembali dipayungi pepohonan sehingga kami tidak terlalu menderita.
Dan tantangan
pun berlanjut, selepas ini kembali jalan menanjak, lebih curam dari sebelumnya,
kemudian jalan berbelok patah, mirip sekali karakteristiknya dengan tanjakan
Omen di trek Leweung datar, hanya tingkat kecuraman dan panjang tanjakannya
saja yang berbeda, tanjakan ini lebih pendek dan relatif lebih landai apabila
dibandingkan dengan tanjakan Omen. Lutut semakin gemetar, betis semakin
menegang dan nafas tersengal - sengal ketika kami melewati tanjakan ini. Seperti
halnya ketika melewati tanjakan Omen, di tanjakan ini pun kami berhenti
beristirahat di ujung belokan patah di tengah – tengah tanjakan. Sepertinya
spot seperti ini memang sangat cocok untuk berhenti beristirahat sambil
memperhatikan para goweser lain berjuang menapakinya, seperti yang biasa
dijumpai di tanjakan Omen dan tanjakan Monteng Kamojang. Tidak terasa waktu
sudah menunjukkan pukul 10.25 ketika kami beristirahat di sini, dan ternyata
jarak yang kami tempuh yang hanya sekitar 600 m ini harus dilalui selama 30
menit lebih.
Perjalanan
menuju kampung Puncak Mulya sudah mendekati akhir, tanjakan ini adalah tanjakan
terakhir sebelum memasuki kampung Puncak Mulya. Setelah 5 menit beristirahat
kami melanjutkan perjalanan, dan tidak lama kemudian sampailah kami di kampung Puncak
Mulya, dengan ciri yang paling khas ketika kita menginjakkan di kampung ini
adalah plang SDN PUNCAK MULYA yang menjadi penanda kalau perjalanan menuju
kampung Puncak Mulya ini berakhir. Kami tiba di sini sekitar pukul 10.45,
berarti kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam 45 menit untuk mencapai kampung
yang berketinggian ± 1100 mdpl ini dari Soreang, namun kami bisa memastikan
bagi para goweser pencinta uphill
jarak 6 km dari Soreang menuju kampung Puncak Mulya ini tidak akan memakan
waktu selama kami, mungkin ada yang bisa mencapainya kurang dari 1 jam saja.
Dan di sebuah warung di dekat pertigaan kami beristirahat sambil sedikit
bertanya – tanya jalur yang akan kami tempuh pada saat pulang nanti.
Dari pertigaan
di dekat warung ini jalur yang mengarah ke utara adalah jalur yang menuju
kecamatan Cililin atau ke Situwangi kecamatan Cihampelas dengan melewati daerah
Mukapayung dan Walahir yang sempat dilanda longsor besar beberapa waktu ke
belakang. Sedangkan jalur yang mengarah ke selatan adalah jalur yang menuju Pasir
Angin, Cilame dan Buper Andes, atau ke Ciwidey. Dan sesuai dengan kesepakatan
awal tadi, kami pun pulang dengan mengambil jalur kampung Cilame Tengah dan menuju
kembali ke Leuwi Munding sejauh kurang kebih 7.5 km. Setelah kembali berhadapan
dengan beberapa tanjakan, akhirnya kami sepenuhnya meluncur menyusuri jalan
menurun menuju kampung Cilame Tengah, dilanjutkan dengan menyusuri jalan ke
arah utara di tengah – tengah area pesawahan dan saluran irigasi menuju kembali
ke kampung Leuwi Munding sebagai titik akhir perjalanan kami mencicipi pedasnya
trek uphill Soreang - Puncak Mulya ini.
Mantap kang artikelnya
ReplyDeleteMantap kang artikelnya
ReplyDeleteTerima kasih....
ReplyDeleteTerima kasih juga sudah mampir di blog saya😊