Bagi sebagian goweser,
goweser Bandung Selatan sekalipun, nama trek Sukanagara – Cimonce sepertinya
kurang begitu dikenal baik, trek ini jarang sekali menjadi pilihan para goweser
ketika akan melakukan trip gowes di daerah Soreang dan sekitarnya, mereka lebih
memilih trek Leuweung Datar, Cilame – Gunung Padang, Puncak Mulya atau
menyusuri jalan raya Soreang - Ciwidey yang memang lebih terkenal. Trek yang
letaknya hanya terpisah satu lembah dengan trek legendaris Leuweung Datar ini
sebenarnya masih terhubung dengan trek Leuweung Datar tersebut, titik pertemuan
antara trek Sukanagara dan trek Leuweung Datar ini berada di ujung tanjakan Gunung
Bubut, sehingga sebenarnya trek ini bisa divariasikan juga dengan trek Leuweung
Datar, seperti yang sudah pernah kami lakukan sebelumnya ketika menyusuri jalur
Leuweung Datar beberapa waktu lalu. Namun karena kalah terkenal itulah, maka
trek Sukanagara – Cimonce ini menjadi kurang begitu terdengar namanya di
kalangan goweser uphiller.
Titik start trek Sukanagara
– Cimonce berada di kampung Panyirapan, sangat mudah untuk dicapai. Kita hanya
tinggal mengarahkan sepeda kita dari jalan raya Soreang ke arah selatan di
perempatan Pemda menuju jalan bypass Al
Fathu, dan setelah sekitar 1 km melaju, kita akan menemukan sebuah persimpangan
dengan berhiaskan gapura yang bertuliskan kampung Panyirapan, itulah jalan
menuju desa Sukanagara. Di depan kita berdiri jejeran perbukitan memanjang dari
timur ke barat, di perbukitan itulah trek Sukanagara – Cimonce berada.
Sedangkan untuk titik finish-nya ada
2 pilihan, menuju Pasir Jambu dengan menempuh trek makadam menanjak sejauh
kurang lebih 2 km dari kampung Babakan sampai pertigaan Gunung Bubut Leuweung
Datar (±1.240 mdpl) dengan elevasi sekitar 110 m, kemudian dilanjutkan dengan menempuh
separuh dari trek Leuweung Datar menuju Ciseupan dan finish di jalan raya Pasir Jambu. titik finish selanjutnya dari trek ini adalah Cimonce kemudian berlanjut ke
daerah Cukang Haur di jalan raya Soreang – Ciwidey, atau dari Cimonce bisa
mengambil arah ke timur menuju Pasir Salam dan keluar di daerah Cebek, sekitar
500 meter sebelah barat kampung Panyirapan yang menjadi titik start trek ini.
Bagi goweser sejati, yang memiliki stamina sangat prima mungkin mengambil titik
finish di Pasir Jambu dengan melewati
Gunung Bubut bisa dijadikan pilihan, namun bagi saya dan teman – teman yang
hanya goweser suka – suka, cukuplah untuk mengambil titik finish di Cimonce dan turun menuju Cukang Haur saja.
Di suatu Minggu pagi yang
cerah kami dan teman – teman goweser Koskas Bandung berkumpul di Lanud Sulaeman
Bandung Selatan yang menjadi titik kumpul, dan kemudian tepat pukul 07.30 kami
pun bergerak menyusuri jalan raya Kopo - Soreang yang ramai menuju kampung Panyirapan.
Supaya tidak terlalu terganggu keramaian lalu lintas dan kemacetan akibat
aktifitas pasar tumpah di sekitar kompleks Pemda Kabupaten Bandung, kami memilih
untuk berbelok di daerah Cincin dan menyusuri jalan Citaliktik yang lebih sepi
dan lebih segar. Sekitar pukul 08.15 wib kami pun tiba di gerbang jalan kampung
Panyirapan, dan sepeda pun kemudian kami arahkan ke selatan menyusuri jalan ber-hotmix mulus menuju jalan desa Sukanagara
- Babakan. Sekitar 1 km pertama kami mengayuh pedal sepeda, trek yang tersaji
masih terbilang cukup bersahabat, tanjakan landai masih bisa dilalui dengan
relatif lancar, satu yang menghambat gowesan kami adalah aktifitas delman dan
sepeda – sepeda motor yang banyak berseliweran lumayan mengganggu gowesan kami.
Barulah selepas sebuah pertigaan dan kami mulai memasuki jalan desa Sukanagara
– Babakan jalan menjadi lebih lengang.
Namun ternyata, kondisi
lengang yang kami temui bukan berarti gowesan menjadi lebih mudah, karena
ternyata selepas pertigaan tadi jalan menjadi semakin menanjak. Walaupun tidak
begitu curam namun jarak tanjakan yang cukup panjang dan nyaris tanpa jeda
mulai membuat nafas kami tersengal, keringat mulai bercucuran deras dan lutut
mulai terasa panas. Hanya saja karena belum genap menempuh jarak 2 km
menggowes, kami masih bisa menjaga ritme gowesan dan masih berada dalam satu
rombongan. Barulah setelah menginjak kilometer 3 setelah melewati kantor Balai
Desa Sukanagara, lutut kami mulai terasa goyah dan gowesan mulai terasa
melambat, dan rombongan pun mulai terpisah – pisah. Jalan yang semakin mulus
selepas balai desa Sukanagara tidak membuat gowesan semakin mudah, tanjakan –
tanjakan yang kami jumpai semakin curam dan panjang, mulai menguji ketahanan
fisik dan mental kami mengayuh pedal sepeda. Satu – satunya hiburan yang juga
menjadi obat pelepas lelah kami adalah pemandangan indah yang tersaji di
belakang kami. Hamparan pemandangan kota dan pegunungan di kawasan utara dan
timur Bandung cukup mengobati rasa lelah kami ketika kami harus menyerah dan
berhenti di pertengahan tanjakan, kami
segera melemparkan pandangan ke arah utara dan segera saja kami reguk semua
keindahan yang tersaji saat itu. Masih ada beberapa tanjakan lagi yang harus
kami hadapi untuk sampai di kampung Babakan yang akan menjadi tempat
beristirahat dan tempat re-grouping
sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju kampung Cimonce.
Satu tanjakan panjang dan
berhias beberapa belokan tajam sudah menanti di hadapan kami. Pedal mulai
dikayuh meskipun fisik sudah semakin melemah, hari yang sudah semakin terik
juga menjadi siksaan tersendiri bagi kami menyusuri tanjakan ini. Dengan satu
kali berhenti di tengah tanjakannya saya dan seorang teman akhirnya bisa juga
melewati tanjakan ini, dan kami pun berhenti sejenak di ujung tanjakan untuk
mengatur nafas dan mengistirahatkan otot – otot kaki yang semakin panas dan
menegang sambil menikmati pemandangan sekitar yang indah. Di sebelah utara
masih menemani dengan setia jejeran Gunung Burangrang, Tangkuban Parahu,
Palasari, dan Manglayang dengan bangunan – bangunan kota yang seakan berserak
di bawahnya. Di sebelah timur mata kami tertuju pada sebuah punggungan bukit
yang dibatasi sebuah lembah yang cukup dalam dari tempat kami beristirahat saat
ini, dan di punggungan sanalah trek legendaris Leuweung Datar berada. Samar –
samar terdengar raungan suara mesin sepeda motor yang tengah berjuang melewati
tanjakan – tanjakan Leuweung Datar yang cukup “kejam”. Waktu sudah menunjukkan
pukul 09.20 wib, perjalanan pun kembali dilanjutkan menuju kampung Babakan.
Sekitar 500 m lagi dari ujung tanjakan ini kami akan sampai di kampung Babakan,
masih dengan menyusuri tanjakan meskipun sudah sedikit lebih “jinak” elevasinya.
Pukul 09.30 sampailah kami di kampung Babakan desa Sukanagara yang memiliki
ketinggian ±1.130 mdpl, setelah menempuh jarak sekitar 6,4 km. Nyaris tidak ada
jalur mendatar di sini, meskipun memang tidak dijumpai juga tanjakan terjal
seperti trek Leuweung Datar, namun tanjakan-tanjakan landai yang tanpa jeda
tetap saja mampu menguras stamina. Trek ini sangat cocok bagi para goweser
untuk menguji endurance, ketahanan
fisik dan teknik cadence atau teknik
mempertahankan ritme dan putaran gowesan kita.
Di sebuah warung kami semua
beristirahat sejenak, menghindari sengatan sinar matahari yang semakin terik
sambil menunggu teman – teman yang masih berjuang menaklukkan tanjakan –
tanjakan menuju kampung Babakan. Di kampung ini terdapat sebuah pertigaan, ke
arah kiri berupa jalur makadam menanjak adalah jalur yang menuju Leuweung Datar,
sejauh kurang lebih 2 km, tepatnya menuju pertigaan di ujung tanjakan Gunung
Bubut yang merupakan titik tertinggi dari trek uphill Leuweung Datar ini. Sedangkan jalur ke arah kanan adalah
jalur yang akan kami tuju, yaitu menuju kampung Cimonce yang berada sekitar 1
km lagi di depan kami. Satu persatu
teman – teman yang berada di rombongan terakhirpun tiba di sini. Setelah
hampir 1 jam kami beristirahat dan re-grouping
kami pun mulai beranjak meninggalkan kampung Babakan, kembali mengayuh pedal
sepeda di tengah sengatan sinar matahari menuju kampung Cimonce. Jalur yang
kami lalui relatif datar, hanya saja aspal yang mulus mulai berganti jalur
makadam, dan perjalanan kami masih saja ditemani pemandangan indah kawasan
Bandung Utara dan sekitarnya. Belum lama kami melaju, seorang teman tergoda
untuk membeli beberapa buah tomat segar yang baru saja dipanen sang petani,
rupanya bayangan akan segarnya menikmati segarnya buah tomat di cuaca tengah
hari yang panas ini membuat dia tergoda untuk membeli satu kantong tomat.
Pada pukul 10.35 wib selepas
sebuah turunan kami berhadapan dengan sebuah tanjakan makadam yang lumayan
curam, berat juga mengayuh pedal menaklukkan tanjakan ini, apalagi di tengah
sengatan sinar matahari yang semakin mendekati tengah hari. Terengah – engah
kami melewatinya, dan setelah sekitar 5 menit berjibaku, sampai juga kami di
ujung tanjakan yang sebenarnya tidak begitu panjang ini. Setibanya di ujung
tanjakan kami semua berhenti di sebuah pertigaan di sebuah tempat yang bernama Pasir
Batu Bedil, sudah berada di kawasan kampung Cimonce. Di tempat ini kami
beristirahat dan kembali re-grouping
sambil menikmati buah tomat segar, nikmat sekali rasanya. Trek berikutnya yang
akan kami lalui adalah sebuah turunan panjang dari kampung Cimonce menuju titik
finish trek ini di jalan raya Soreang
– Ciwidey di kampung Cukang Haur. Turunan dengan jarak sekitar 3 km dan elevasi
sekitar 200 m ditambah dengan bonus pemandangan perbukitan di sebelah barat
siap memanjakan kami di akhir trek ini. 5 menit kami meluncur menuruni sisa
perjalanan ini, namun tiba – tiba godaan pemandangan indah perbukitan di
hadapan kami memaksa kami untuk menghentikan sementara laju sepeda dan
mengambil beberapa foto mengabadikan pemandangan indah di hadapan kami. Setelah
puas berfoto – foto kami kembali meluncur turun, dan sekitar pukul 10.55 wib
tibalah kami semua di tepi jalan raya Soreang – Ciwidey.
Kembali kami re-grouping di tepi jalan raya Soreang –
Ciwidey dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju Bandung, spontan
saya dan seorang teman ATB bersepakat untuk memberikan sedikit kejutan dalam
perjalanan pulangnya, dengan tidak menyusuri jalan raya Soreang - Ciwidey yang
mengarah ke Sadu tetapi saya sengaja mengarahkan rombongan menuju ke arah kota Ciwidey
dulu. Teman – teman mulai bertanya – tanya, apalagi ternyata setelah ±500 m
kami melaju, saya berbelok ke arah barat menuju sebuah jalan kecil. Kejutan
pertama sudah semakin dekat, dan setelah melewati jembatan sungai Ciwidey tampaklah
di hadapan kami 1 tanjakan curam yang lumayan panjang, itulah kejutan
pertamanya. Tertatih – tatih kami melewati tanjakan ini, dan ujung dari
tanjakan ini adalah sebuah pertigaan di jalan raya Sadu - Cikoneng – Ciwidey.
Selain memberikan kejutan, tujuan saya melewati jalur ini adalah untuk
menghindari jalur utama yang pasti akan sangat padat saat itu karena bertepatan
dengan masa liburan long weekend
akhir tahun, akan sangat tidak nyaman mengayuh sepeda di tengah lalu lintas
yang sangat padat, karenanya jalur ini menjadi pilihan karena lebih sepi, lebih
sejuk karena banyak dipayungi rerimbunan pohon – pohon bambu, juga cukup banyak
pemandangan indah yang bisa dilihat di sepanjang jalur ini.
30 menit kami menyusuri
jalur Cikoneng yang cukup mulus dan naik turun ini, tibalah kami kampung Sadu,
di sinilah kejutan terakhir sudah saya siapkan untuk teman – teman gowes kali
ini. Sepeda – sepeda tidak diarahkan menuju jalan utama, namun kembali menanjak
sedikit ke arah barat kemudian masuk ke pematang sawah. Dan tak lama kemudian
tampaklah di hadapan kami jembatan kereta api tua Sadu yang eksotis dan cukup
terkenal itu, kami semua akan menggowes sepeda menyeberangi sungai Ciwidey dengan
menyusuri jembatan kereta api tersebut. Semua tampak gembira menyambut sajian
kejutan terakhir yang tidak terduga ini. Dan satu per satu sepedapun bergerak
menyeberangi jembatan kereta ini, walaupun harus ekstra hati – hati karena di
sepanjang jembatan tidak terdapat penghalang di samping kiri dan kanan
jembatan. Tepat pukul 12 wib siang kami
semua sampai di ujung jembatan kereta api Sadu, kemudian bergerak menuju ke
sebuah warung di ujung jembatan untuk beristirahat dan bersiap untuk
melanjutkan perjalanan pulang kembali menuju Bandung.
Sebagai tambahan saja,
apabila ingin mendapatkan sensasi yang berbeda dan ingin mendapatkan trek yang
lebih menantang, rute trek ini bisa dibalik, start bisa dimulai di desa Sadu kemudian masuk ke Cimonce melalui
Cukang Haur yang kondisi tanjakannya lebih terjal dan kondisi jalan yang tidak
begitu bagus, penasaran?? selamat mencoba......
No comments:
Post a Comment