Kawasan Bandung
Raya yang dikelilingi perbukitan menyajikan berpuluh-puluh trek uphill/ tanjakan yang sangat menggoda
dan sangat sayang untuk dilewatkan para goweser pencinta tanjakan atau uphiller. Hampir di seluruh penjuru kota
Bandung tercinta ini memiliki setidaknya dua trek uphill yang menantang. Kalau boleh menyebut, dimulai dari kawasan
Bandung Utara, kita mengenal trek Ciumbuleuit – Punclut – Lembang, trek
Tangkuban Parahu yang sampai saat ini masih menjadi rute legendaris balap
sepeda spesialis tanjakan, atau jalur Dago Bengkok – Lembang, trek Warban yang
sudah sangat dikenal para goweser. Bergeser ke Bandung Timur kita mengenal
Caringin Tilu, Jatihandap – Warung Daweung, dan Palintang. Kita juga tidak
boleh melupakan trek Curug Cinulang – Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi,
yang meskipun secara administratif berada di kabupaten Sumedang, tapi akses
menuju ke sana yang cukup dekat dari Bandung. Di sebelah tenggara kita mengenal
trek Cijapati, kemudian trek Majalaya – Kamojang dengan tanjakan Montengnya
yang sudah sangat melegenda di kalangan goweser. Kita juga tidak boleh melewatkan trek Ciparay – Situ Cisanti,
Jelekong Cangkring – Arjasari, Banjaran – Gunung Puntang, Pangalengan, Ciwidey
- Kawah Putih, Leuweung Datar, Sadu –
Buper Andes, Cililin - Walahir, atau
Cimahi - Cisarua, semua itu adalah trek – trek uphill yang sudah sangat dikenal di kalangan goweser. Dan satu lagi
trek uphil legendaris yang akan saya
coba angkat adalah trek Leuweung Datar.
Trek Leuweung
Datar dimulai dari pertigaan Citaliktik – Banda Sari di jalan raya Soreang –
Banjaran dekat Mapolres, di ketinggian sekitar 700 mdpl, titik tertinggi dari
trek ini berada di tanjakan Gunung Bubut dengan ketinggian sekitar 1.240 mdpl,
elevasi dari titik start sampai titik tertingginya ±535 m dengan jarak 8 km,
sangat menantang. Dari ujung titik tertinggi trek Leuweung Datar ini, kita
ditawarkan dua pilihan titik finish,
yaitu di Cisondari Pasir Jambu atau desa Sukanagara Panyirapan Soreang,
pemandangannya cukup memanjakan mata, meskipun jarak tempuh menuju Cisondari Pasir
Jambu lebih jauh karena harus memutar dulu ke Ciwidey, sedangkan turun melalui Panyirapan
jelas lebih dekat karena kita langsung menuju kota Soreang.
Bagi goweser
yang ingin mencicipi jalur ini ada beberapa alternatif jalan untuk menuju titik
start di jalan Banda Asri Citaliktik. Yang pertama melalui jalan Kopo – Soreang,
masuk ke jalan Warung Lobak – Gandasoli yang tembus langsung ke jalan raya Soreang
– Banjaran di kampung Citaliktik, dari ujung jalan Gandasoli kita tinggal
menyeberang dan langsung masuk ke jalan Citaliktik – Banda Asri. Yang kedua bisa
melalui jalan raya Dayeuhkolot – Banjaran, terus masuk ke jalan raya Banjaran
- Soreang dan di daerah Citaliktik langsung
belok kiri menuju jalan Citaliktik – Banda Asri. Untuk yang ingin menempuh
jalan yang relatif lebih sepi bisa mengambil jalur Cibaduyut – Sayuran, masuk
ke jalan Bojong Kunci – Junti yang tembus ke Gandasoli, dari sana tinggal lurus
mengikuti jalur yang dari Warung Lobak.
Titik awal trek
ini sendiri dimulai dari jalan Citaliktik - Banda Asri dengan menyusuri jalan
beton mulus membelah persawahan ke arah selatan, setelah ± 10 menit mengayuh
sepeda, kita akan bertemu perempatan. Arah timur menuju kampung Ciluncat, ke
barat menuju Panyirapan dan jalur yang akan kita tuju adalah ke arah kanan
menuju jalan komplek Banda Asri. Perjalanan menuju ke komplek Banda Asri sudah
mulai dihiasi tanjakan – tanjakan landai, lumayan sebagai pemanasan dan
mempersiapkan kondisi fisik kita sebelum menghadapi ujian sebenarnya dari trek
ini, yaitu rute komplek Banda Asri menuju Gunung Bubut kampung Leuweung Datar. Setelah
10 menit kita gowes, sampailah kita di pertigaan komplek Banda Asri, dan jalan
yang akan kita tempuh adalah belokan ke kiri. Dan tak berapa lama kemudian,
tampak sebuah tanjakan menghadang dengan kondisi jalan tidak begitu bagus,
rupanya ini adalah “tanjakan selamat datang”, menapaki tanjakan ini barulah
mulai terasa nafas menjadi agak tersengal-sengal. Agak panjang juga ternyata
tanjakan ini, untungnya selepas belokan di ujung tanjakan kondisi jalan menjadi
lebih bersahabat, meskipun ternyata tanjakan ini masih belum berakhir.
10 menit
berlalu, ternyata jalan menanjak ini masih berlanjut, namun jalan yang mulus
memudahkan kaki mengayuh pedal sepeda, meskipun harus tetap dengan nafas
tersengal dan diiringi cucuran keringat untuk melaluinya. Ternyata membutuhkan
waktu 1 jam lebih untuk mencapai ujung tanjakan ini, padahal jarak yang
ditempuh tidak lebih dari 2 km. Akhirnya
sampai juga di kampung Leuweung Datar. Pertama yang dicari di sini adalah warung,
karena sejak dari Citaliktik belum sempat sarapan, sehingga ketika sampai di
sinilah kesempatan saya dan teman -teman untuk mengisi perut sekaligus mengatur
nafas dan mengembalikan stamina yang sudah agak berkurang, mengingat yang akan
dihadapi di depan adalah 4 rangkaian tanjakan yang menjadi ciri khas dan inti
dari trek ini, keempat tanjakan ini secara berturut – turut yaitu tanjakan
Rahong, tanjakan Omen, tanjakan Koneng dan yang terakhir adalah tanjakan Gunung
Bubut. Di sini juga saya membeli tambahan bekal cemilan dan air minum, mengantisipasi
kehabisan bekal, terutama air minum sementara jarak menuju desa terdekat masih
jauh.
Setelah stamina
terkumpul satu per satu sepeda kembali dikayuh menyongsong tantangan terberat
dari trek ini, empat tanjakan sudah siap menyambut kami, menantang kami apakah
kami akan mampu melewatinya dengan sukses, tanpa “TTB/ tuntun bike” tentu saja.
Selepas perkampungan, di ujung sebuah jembatan kecil, sudah menanti satu
tanjakan curam, itulah rupanya tanjakan Rahong, meskipun tidak mudah, tapi
tanjakan ini masih bisa dilalui tanpa TTB berhubung kondisi jalan yang masih
relatif mulus dan badan masih segar karena sebelumnya kami telah beristirahat.
Namun setelah menempuh sekitar 200 m jalan yang datar, kami bertemu lagi dengan
satu tanjakan curam yang dikenal dengan tanjakan Omen, tanjakannya lebih
panjang dari tanjakan Rahong plus kondisi jalan yang buruk menjadi tantangan
dan hambatan tersendiri yang harus dihadapi selain curamnya tanjakan itu
sendiri. Saya coba menaklukkannya, namun seperti perkiraan sebelumnya, kondisi
jalan yang buruk mempersulit sepeda untuk dikendalikan, baru setengah tanjakan
saya pun menyerah, sulit sekali mengayuh pedal sepeda melintasi kerikil –
kerikil lepas di jalan menanjak, ban kehilangan traksi dan selip, akhirnya
kakipun menyentuh tanah. Tapi saya tidak mau menyerah begitu saja, setelah
mengumpulkan tenaga dan mempelajari jalur yang akan dilalui tanpa harus
mengalami selip lagi, pedal pun dikayuh kembali, semua tenaga dikeluarkan,
menjaga kayuhan dan handling agar
stabil, dan akhirnya bisa juga menaklukkan tanjakan ini, meskipun harus 2 kali
berhenti. Sedikit sebelum ujung tanjakan ini adalah sebuah belokan tajam, dan
tepat di muka belokan ini ada dataran agak luas, di sinilah kami berhenti dan
menyaksikan teman - teman yang sedang berjuang berjibaku menaklukkan tanjakan
Omen. Di sini kami kembali mengatur nafas, tersisa 2 tanjakan lagi untuk bisa
menaklukkan trek ini, setelah 30 menit kami beristirahat dan regrouping, perjalanan pun kembali
dilanjutkan.
Selepas belokan
tajam menuju ujung tanjakan Omen, kondisi jalan menjadi semakin buruk, nyaris
tidak ada lagi aspal tersisa, hanya hamparan kerikil – kerikil lepas sepanjang
jalan menanjak menuju tanjakan Koneng, tanjakan yang harus kami hadapi
berikutnya. Mengayuh sepeda menyusuri jalan ini pun sudah cukup menyiksa, belum
lagi kami masih akan berhadapan dengan tanjakan Koneng, tanjakan ketiga. Benar
saja, penderitaan kami belum berakhir, kondisi tanjakan Koneng selain curam
juga setengah dari tanjakan ini kondisi jalannya buruk, sama seperti tanjakan
Omen tadi, kami akhirnya memilih untuk menuntun sepeda kami melewati jalan yang
buruk ini, sampai ke pertengahan tanjakan Koneng, karena dari pertengahan
sampai ke ujung tanjakan ini kondisi jalan kembali mulus. Tapi ternyata stamina
yang kembali terkuras setelah melewati 2 tanjakan sebelumnya menjadi tantangan
tersendiri lagi untuk menaklukkannya, beberapa teman ada yang mencoba
menaklukkan tanjakan ini dengan mengendarai sepedanya, namun ada pula beberapa
teman yang memilih untuk TTB saja menuju ujung tanjakan Koneng.
Di ujung
tanjakan Koneng sudah terlihat tanjakan terakhir, tanjakan Gunung Bubut siap
menghadang. Kami pun beristirahat di bibir tanjakan Gunung Bubut, mengatur
nafas yang tersengal - sengal dan mengumpulkan tenaga untuk menaklukkan
tanjakan terakhir ini. Beberapa teman yang sudah berpengalaman bersepeda sudah
dari tadi sampai di ujung tanjakan ini, menunggu dan siap mengabadikan momen –
momen kami yang tengah berjuang sambil tertatih – tatih disiksa tanjakan Gunung
Bubut. Dengan 1 kali
berhenti di tengah - tengah tanjakan dan dengan nafas yang semakin tersengal
saya berhasil juga sampai di
ujung tanjakan, dan 10 menit kemudian teman - teman yang memilih TTB menyusul
kami yang sudah tiba lebih dulu di ujung tanjakan Gunung Bubut, tanjakan
terakhir di trek Leuweung Datar ini. Di ujung tanjakan gunung bubut tidak
terlalu banyak view yang bisa dinikmati, hanya sedikit pemandangan ke arah
timur lumayan bisa mengobati rasa lelah menuntaskan rute menanjak ini. Bagi
yang ingin mendapatkan pemandangan menarik, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Pasir
Jambu Ciwidey, selepas tanjakan terakhir ini akan tersaji pemandangan indah
pesawahan, perbukitan, dan pemukiman-pemukiman di kawasan Baleendah, Banjaran,
Dayeuhkolot dan sekitarnya di sebelah kiri kita, dan di sebelah kanan kita
tersaji pemandangan alam kota Ciwidey.
Setelah semua berkumpul
perjalanan dilanjutkan kembali, tidak menuju Pasir Jambu Ciwidey tetapi menuju
desa Sukanagara Soreang, untuk mempersingkat jarak dan waktu tempuh berhubung
sebagian besar dari kami tidak berencana untuk bersepeda fullday saat itu. Setelah disambut dengan satu tanjakan perjalanan
diakhiri dengan turunan sepenuhnya, mulai dari turunan makadam dari gunung
bubut sampai desa Sukanagara sejauh kurang lebih 2 km, dan dilanjut dengan
turunan di jalanan aspal mulus menuju desa Panyirapan Soreang sebagai titik finish dari trip menantang ini. Dan
selama perjalanan pulang terselip perasaan puas karena akhirnya saya dan
teman-teman bisa juga menjajal salah satu trek uphill legendaris di Bandung ini, trek Leuweung Datar.
No comments:
Post a Comment