Thursday, June 5, 2014

NIGHT RIDING XC TREK CANTILAN – PASIR JEREGED


            Setelah hampir menginjak minggu kedua di bulan ramadhan tahun 2013 ini saya melewatkan kesempatan untuk ber-night riding alias gowes malam – malam, akhirnya kesempatan itu datang juga pada hari ke 13 ramadhan, saya kembali bisa merasakan nikmatnya sensasi bersepeda malam hari atau night riding/ NR. Seperti tahun – tahun sebelumnya, saya dan teman – teman komunitas sepeda ATB selalu melakukan NR dengan menempuh rute -  rute XC di seputaran Soreang Bandung Selatan, dan untuk rute NR kali ini kami akan menempuh rute klasik Cantilan – Pasir Jereged di kecamatan Kutawaringin. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi sajian tanjakannya dari sejak pertigaan Jalan Raya Soreang – Cipatik sampai puncak Pasir/ Bukit Jereged akan memberikan rasa berbeda karena gowes dilakukan dari sore hari sebelum berbuka sampai dengan malam hari.

Jam 17 kami mulai beranjak dari jalan Kopo Sayati menuju Jalan Raya Soreang – Cipatik dengan mengambil jalur Cicukang – Kampung Adat Mahmud menuju Soreang – Cipatik di kampung Gajah Mekar. Gowes sambil menikmati cuaca sore hari yang cukup bersahabat membuat kami lupa sebenarnya kami masih berpuasa, kami memacu sepeda masing – masing, beberapa teman saling mempercepat laju sepedanya seolah berlomba, seakan terbawa suasana sore itu. Tiba di kampung Gajah Mekar waktu sudah menunjukkan pukul 17.15, kami kemudian berhenti sejenak membeli makanan untuk nanti berbuka puasa. Kami biasanya membawa bekal makanan untuk kemudian disantap ketika azan magrib tiba, di lokasi yang biasanya sudah kami tentukan sebelum perjalanan dimulai. Untuk kali ini kami berencana untuk berbuka puasa dan takjil di ujung gang/ trek semen kemudian makan malam di puncak Pasir Jereged sambil menikmati pemandangan kota Bandung malam hari.

Waktu semakin beranjak senja, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, kami bergegas mengayuh sepeda masing menuju tujuan kami, puncak Pasir Jereged. Selepas berbelok kiri di dekat rumah makan Sate Cantilan kami sudah dihadang tanjakan “selamat datang”, biasanya kami tidak begitu kesulitan melewati tanjakan ini, tapi menggowes sepeda dalam kondisi berpuasa membuat kaki terasa sangat berat untuk mengayuh sepeda, alhasil dua tanjakan ini pun dilalui dengan ngos - ngosan. Lepas tanjakan - tanjakan tadi, sebelum menuju gang/ trek semen kembali tanjakan menghadang, lebih tinggi dari tanjakan “selamat datang” sebelumnya, semakin tersiksa saja kami melewatinya, gowesan semakin melambat, target untuk menunggu azan magrib di ujung gang/ trek semen sepertinya tidak akan tercapai. Di ujung tanjakan, trek semen menanti kami, jalur semen selebar kira – kira 1 m full menanjak sepanjang kira – kira 300 m siap menaklukkan kami. Kami tidak lama berhenti dan langsung masuk ke trek semen, berharap bisa mencapai ujung trek ini pas ketika waktu berbuka tiba. Tapi meskipun gowesan sudah dipercepat ternyata kami hanya mampu mencapai kira – kira setengah dari keseluruhan trek semen menanjak ini ketika azan magrib berkumandang. Kami menghentikan gowesan dan segera mencari tempat yang agak datar untuk berbuka puasa, berhubung kami berhenti di gang sempit selebar tidak lebih dari 1 m, akhirnya kami duduk saja di jalurnya, sebagian ada juga yang duduk – duduk di pematang sawah di pinggirannya untuk berbuka puasa.

Tenggorokan yang sudah sangat kering, nafas yang terengah – engah, dan jantung berdebar kencang karena kami terus memacu sepeda sejak dari titik start  akhirnya segera terobati setelah beberapa teguk air mineral dan cendol dingin membasuh tenggorokan kering kami, Subhanallah…..nikmat sekali. Persis seperti sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa salah satu kenikmatan yang diraih ketika puasa adalah ketika saat berbuka puasa, saya dan teman – teman merasakan benar kenikmatan ini. Satu per satu gorengan yang kami bawa pun berpindah tempat ke perut masing – masing, sambil beristirahat dan mengembalikan stamina, karena kami masih akan menghadapi banyak tanjakan di depan, sementara trek semen menanjak ini saja baru separuhnya kami lalui. Sekitar 15 menit kami berhenti dan perjalanan pun kami lanjutkan, yang pertama dihadapi adalah separuh dari trek semen menanjak ini menuju kampung jereged, tujuan kami adalah sebuah masjid di sana, untuk menunaikan sholat magrib. Meskipun kami sudah berbuka puasa, tapi melewati trek semen menanjak ini dan dilanjutkan dengan sedikit lagi tanjakan menuju lokasi mesjid tetap saja membuat kami terengah – engah, 10 menit kemudian kami pun  tiba di mesjid kampung Jereged.

Pukul 18.45 kami beranjak meninggalkan mesjid menuju ¼ perjalanan lagi menuju puncak Pasir Jereged. Hari sudah beranjak gelap, senter – senter sudah dinyalakan dan sepeda pun kembali dikayuh melintasi trek semen menuju singel trek, dan sekitar 50 m di depan kami adalah singel trek menuju puncak. Malam yang semakin pekat dan kondisi singel trek yang jauh dari pemukiman warga membuat perjalanan menuju puncak menawarkan tantangan tersendiri, namun untuk keamanan dan keselamatan bersama kami pun memutuskan untuk menuntun sepeda masing – masing melewati singel trek menanjak ini. Kami pun merayap menembus kegelapan di antara rimbunnya rumpun – rumpun bambu dan rerimbunan alang – alang ketika semakin mendekati puncak, sangat mengasyikkan. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata – kata ketika kami melewatinya, padahal trek ini sudah sangat sering kami lalui, tapi melaluinya di tengah kegelapan malam benar – benar memberikan rasa tersendiri. Setelah melewati hamparan ilalang yang cukup tinggi sampailah kami di sebuah dataran, tinggal satu tanjakan lagi untuk menuju puncak Pasir Jereged, menuju sebuah lokasi yang akan kami gunakan untuk bersantap, makan malam sambil menikmati keindahan kota Bandung di malam hari.

Pukul 19.20 tibalah kami kami di puncak Pasir Jereged, kami langsung disuguhi pemandangan gemerlap lampu – lampu di hadapan kami, gemerlap kota Bandung di malam hari yang semarak dengan lampu – lampu seperti intan berkilauan, sesekali tampak cahaya berpendar dari ledakan kembang api di beberapa titik, semakin menambah keindahan yang tersaji tepat di hadapan kami. Bekal makan malam pun kami siapkan dan segera kami menyantap hidangan makan malam yang tadi kami beli di kampung Gajah Mekar, nikmat sekali makan di tengah hamparan gemerlap dan semarak lampu – lampu kota Bandung di bawah kami, meskipun beberapa saat gerimis sempat membasahi kami, tapi itu tidak cukup kuat untuk membuat kami beranjak meninggalkan semua kenikmatan yang sedang kami nikmati saat itu.

Tidak terasa 1 jam lebih kami berada di tempat itu. Angin yang mulai bertiup kencang dan udara yang semakin dingin seakan membangunkan kami, menyuruh kami untuk segera kembali pulang. Berat rasanya meninggalkan Pasir Jereged yang damai ini, tapi kami harus pulang. Suguhan singel trek plus trek semen yang sekarang akan kami turuni akhirnya membuat kami satu per satu menaiki kembali sepeda masing – masing dan meluncur turun, kembali melewati jalur yang tadi kami lalui. Sebenarnya dari lokasi ini ada beberapa opsi trek untuk pulang. Bisa melewati singel trek menuju kampung cibodas atau singel trek menuju kampung jatisari, tapi kami lebih memilih untuk kembali melalui jalur yang tadi kami  lewati, dengan alasan biar bisa finish lebih cepat saja, biar kami tidak terlalu malam sampai ke rumah masing – masing.

Ternyata tidak mudah mengendalikan sepeda menuruni singel trek di tengah kegelapan malam, butuh konsentrasi tinggi untuk melewatinya, seorang teman yang tidak bisa mengendalikan sepedanya harus merasakan jatuh dan terjerembab karena tidak melihat batu lepas dan roda depannya menginjak batu tersebut. Saya pun mengalami nasib naas, roda sepeda saya pun menginjak batu lepas, alhasil saya dan sepeda saya pun terjatuh. Dalam hati saya bersyukur pulang tidak jadi mengambil opsi menuju Cibodas atau Jatisari, saya sudah bisa membayangkan kesulitan yang akan menghadang, karena kami akan mengadapi singel trek menurun yang cukup panjang,terutama apabila melewati rute singel trek jatisari yang kondisi treknya terhitung masih alami, banyak pepohonan dan perdu merintangi jalurnya, melewati jalur ini di siang haripun harus ekstra waspada karena treknya yang tertutup pepohonan dan rerumputan, apalagi ketika harus melewatinya di tengah pekatnya malam seperti saat ini.


Lepas dari singel trek kami memasuki gang/ trek semen, jalur yang biasanya dengan mudah kami lewati sekarang harus kami lewati dengan hati – hati dan perlahan. Kami tidak berani terlalu memacu sepeda terlalu kencang, konsekuensinya lumayan apabila kami sampai terjatuh. Di samping kiri dan kanan kami adalah saluran air dan persawahan yang jarak dari permukaan jalan ke dasarnya cukup dalam. Namun karena melewatinya pada malam hari, meskipun laju sepeda tidak terlalu kencang namun tetap mengasyikkan melahap gang/ trek semen ini sampai akhir. Dan 15 menit kemudian sampailah kami di pertigaan jalan raya Cipatik – Soreang. Dan rute pulang dari sini kami sengaja tidak melalui jalur yang tadi dilewati ketika pergi, tapi sedikit memutar menuju kampung Daraulin, sedikit memberikan kejutan bagi beberapa teman yang belum pernah merasakan mengayuh sepeda melalui jembatan gantung. Di daerah Daraulin ini terdapat jembatan gantung beralas kayu yang membentang di aliran sungai Citarum Lama, seru juga ketika kami digoyang – goyang jembatan ini ketika melewatinya. Dari kampung Daraulin perjalanan dilanjutkan ke Kampung Adat Mahmud untuk kemudian menuju jalan Kopo dan kembali ke rumah masing – masing membawa sejuta kesan tidak terlupakan setelah ber-night riding dengan ber-XC ria malam – malam. 

No comments:

Post a Comment