Setelah
hampir menginjak minggu kedua di bulan ramadhan tahun 2013 ini saya melewatkan
kesempatan untuk ber-night riding alias
gowes malam – malam, akhirnya kesempatan itu datang juga pada hari ke 13 ramadhan,
saya kembali bisa merasakan nikmatnya sensasi bersepeda malam hari atau night riding/ NR. Seperti tahun – tahun
sebelumnya, saya dan teman – teman komunitas sepeda ATB selalu melakukan NR
dengan menempuh rute - rute XC di
seputaran Soreang Bandung Selatan, dan untuk rute NR kali ini kami akan
menempuh rute klasik Cantilan – Pasir Jereged di kecamatan Kutawaringin.
Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi sajian tanjakannya dari sejak pertigaan Jalan
Raya Soreang – Cipatik sampai puncak Pasir/ Bukit Jereged akan memberikan rasa
berbeda karena gowes dilakukan dari sore hari sebelum berbuka sampai dengan malam
hari.
Jam 17 kami mulai beranjak dari
jalan Kopo Sayati menuju Jalan Raya Soreang – Cipatik dengan mengambil jalur
Cicukang – Kampung Adat Mahmud menuju Soreang – Cipatik di kampung Gajah Mekar.
Gowes sambil menikmati cuaca sore hari yang cukup bersahabat membuat kami lupa
sebenarnya kami masih berpuasa, kami memacu sepeda masing – masing, beberapa
teman saling mempercepat laju sepedanya seolah berlomba, seakan terbawa suasana
sore itu. Tiba di kampung Gajah Mekar waktu sudah menunjukkan pukul 17.15, kami
kemudian berhenti sejenak membeli makanan untuk nanti berbuka puasa. Kami
biasanya membawa bekal makanan untuk kemudian disantap ketika azan magrib tiba,
di lokasi yang biasanya sudah kami tentukan sebelum perjalanan dimulai. Untuk
kali ini kami berencana untuk berbuka puasa dan takjil di ujung gang/ trek
semen kemudian makan malam di puncak Pasir Jereged sambil menikmati pemandangan
kota Bandung malam hari.
Waktu semakin
beranjak senja, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, kami bergegas mengayuh
sepeda masing menuju tujuan kami, puncak Pasir Jereged. Selepas berbelok kiri
di dekat rumah makan Sate Cantilan kami sudah dihadang tanjakan “selamat datang”,
biasanya kami tidak begitu kesulitan melewati tanjakan ini, tapi menggowes
sepeda dalam kondisi berpuasa membuat kaki terasa sangat berat untuk mengayuh
sepeda, alhasil dua tanjakan ini pun dilalui dengan ngos - ngosan. Lepas
tanjakan - tanjakan tadi, sebelum menuju gang/ trek semen kembali tanjakan
menghadang, lebih tinggi dari tanjakan “selamat datang” sebelumnya, semakin
tersiksa saja kami melewatinya, gowesan semakin melambat, target untuk menunggu
azan magrib di ujung gang/ trek semen sepertinya tidak akan tercapai. Di ujung
tanjakan, trek semen menanti kami, jalur semen selebar kira – kira 1 m full
menanjak sepanjang kira – kira 300 m siap menaklukkan kami. Kami tidak lama
berhenti dan langsung masuk ke trek semen, berharap bisa mencapai ujung trek ini
pas ketika waktu berbuka tiba. Tapi meskipun gowesan sudah dipercepat ternyata
kami hanya mampu mencapai kira – kira setengah dari keseluruhan trek semen
menanjak ini ketika azan magrib berkumandang. Kami menghentikan gowesan dan
segera mencari tempat yang agak datar untuk berbuka puasa, berhubung kami
berhenti di gang sempit selebar tidak lebih dari 1 m, akhirnya kami duduk saja
di jalurnya, sebagian ada juga yang duduk – duduk di pematang sawah di
pinggirannya untuk berbuka puasa.
Tenggorokan
yang sudah sangat kering, nafas yang terengah – engah, dan jantung berdebar
kencang karena kami terus memacu sepeda sejak dari titik start akhirnya segera
terobati setelah beberapa teguk air mineral dan cendol dingin membasuh
tenggorokan kering kami, Subhanallah…..nikmat
sekali. Persis seperti sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa salah satu
kenikmatan yang diraih ketika puasa adalah ketika saat berbuka puasa, saya dan
teman – teman merasakan benar kenikmatan ini. Satu per satu gorengan yang kami
bawa pun berpindah tempat ke perut masing – masing, sambil beristirahat dan
mengembalikan stamina, karena kami masih akan menghadapi banyak tanjakan di
depan, sementara trek semen menanjak ini saja baru separuhnya kami lalui.
Sekitar 15 menit kami berhenti dan perjalanan pun kami lanjutkan, yang pertama
dihadapi adalah separuh dari trek semen menanjak ini menuju kampung jereged,
tujuan kami adalah sebuah masjid di sana, untuk menunaikan sholat magrib.
Meskipun kami sudah berbuka puasa, tapi melewati trek semen menanjak ini dan
dilanjutkan dengan sedikit lagi tanjakan menuju lokasi mesjid tetap saja
membuat kami terengah – engah, 10 menit kemudian kami pun tiba di mesjid kampung Jereged.
Pukul 18.45
kami beranjak meninggalkan mesjid menuju ¼ perjalanan lagi menuju puncak Pasir
Jereged. Hari sudah beranjak gelap, senter – senter sudah dinyalakan dan sepeda
pun kembali dikayuh melintasi trek semen menuju singel trek, dan sekitar 50 m
di depan kami adalah singel trek menuju puncak. Malam yang semakin pekat dan
kondisi singel trek yang jauh dari pemukiman warga membuat perjalanan menuju
puncak menawarkan tantangan tersendiri, namun untuk keamanan dan keselamatan
bersama kami pun memutuskan untuk menuntun sepeda masing – masing melewati
singel trek menanjak ini. Kami pun merayap menembus kegelapan di antara
rimbunnya rumpun – rumpun bambu dan rerimbunan alang – alang ketika semakin
mendekati puncak, sangat mengasyikkan. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan
dengan kata – kata ketika kami melewatinya, padahal trek ini sudah sangat sering
kami lalui, tapi melaluinya di tengah kegelapan malam benar – benar memberikan
rasa tersendiri. Setelah melewati hamparan ilalang yang cukup tinggi sampailah
kami di sebuah dataran, tinggal satu tanjakan lagi untuk menuju puncak Pasir
Jereged, menuju sebuah lokasi yang akan kami gunakan untuk bersantap, makan
malam sambil menikmati keindahan kota Bandung di malam hari.
Pukul 19.20
tibalah kami kami di puncak Pasir Jereged, kami langsung disuguhi pemandangan
gemerlap lampu – lampu di hadapan kami, gemerlap kota Bandung di malam hari
yang semarak dengan lampu – lampu seperti intan berkilauan, sesekali tampak
cahaya berpendar dari ledakan kembang api di beberapa titik, semakin menambah
keindahan yang tersaji tepat di hadapan kami. Bekal makan malam pun kami
siapkan dan segera kami menyantap hidangan makan malam yang tadi kami beli di
kampung Gajah Mekar, nikmat sekali makan di tengah hamparan gemerlap dan
semarak lampu – lampu kota Bandung di bawah kami, meskipun beberapa saat
gerimis sempat membasahi kami, tapi itu tidak cukup kuat untuk membuat kami
beranjak meninggalkan semua kenikmatan yang sedang kami nikmati saat itu.
Tidak terasa 1
jam lebih kami berada di tempat itu. Angin yang mulai bertiup kencang dan udara
yang semakin dingin seakan membangunkan kami, menyuruh kami untuk segera
kembali pulang. Berat rasanya meninggalkan Pasir Jereged yang damai ini, tapi
kami harus pulang. Suguhan singel trek plus trek semen yang sekarang akan kami
turuni akhirnya membuat kami satu per satu menaiki kembali sepeda masing –
masing dan meluncur turun, kembali melewati jalur yang tadi kami lalui.
Sebenarnya dari lokasi ini ada beberapa opsi trek untuk pulang. Bisa melewati
singel trek menuju kampung cibodas atau singel trek menuju kampung jatisari,
tapi kami lebih memilih untuk kembali melalui jalur yang tadi kami lewati, dengan alasan biar bisa finish lebih cepat saja, biar kami tidak
terlalu malam sampai ke rumah masing – masing.
Ternyata tidak
mudah mengendalikan sepeda menuruni singel trek di tengah kegelapan malam,
butuh konsentrasi tinggi untuk melewatinya, seorang teman yang tidak bisa
mengendalikan sepedanya harus merasakan jatuh dan terjerembab karena tidak
melihat batu lepas dan roda depannya menginjak batu tersebut. Saya pun
mengalami nasib naas, roda sepeda saya pun menginjak batu lepas, alhasil saya
dan sepeda saya pun terjatuh. Dalam hati saya bersyukur pulang tidak jadi
mengambil opsi menuju Cibodas atau Jatisari, saya sudah bisa membayangkan
kesulitan yang akan menghadang, karena kami akan mengadapi singel trek menurun
yang cukup panjang,terutama apabila melewati rute singel trek jatisari yang
kondisi treknya terhitung masih alami, banyak pepohonan dan perdu merintangi jalurnya,
melewati jalur ini di siang haripun harus ekstra waspada karena treknya yang
tertutup pepohonan dan rerumputan, apalagi ketika harus melewatinya di tengah
pekatnya malam seperti saat ini.
Lepas dari
singel trek kami memasuki gang/ trek semen, jalur yang biasanya dengan mudah
kami lewati sekarang harus kami lewati dengan hati – hati dan perlahan. Kami
tidak berani terlalu memacu sepeda terlalu kencang, konsekuensinya lumayan
apabila kami sampai terjatuh. Di samping kiri dan kanan kami adalah saluran air
dan persawahan yang jarak dari permukaan jalan ke dasarnya cukup dalam. Namun
karena melewatinya pada malam hari, meskipun laju sepeda tidak terlalu kencang
namun tetap mengasyikkan melahap gang/ trek semen ini sampai akhir. Dan 15
menit kemudian sampailah kami di pertigaan jalan raya Cipatik – Soreang. Dan
rute pulang dari sini kami sengaja tidak melalui jalur yang tadi dilewati
ketika pergi, tapi sedikit memutar menuju kampung Daraulin, sedikit memberikan
kejutan bagi beberapa teman yang belum pernah merasakan mengayuh sepeda melalui
jembatan gantung. Di daerah Daraulin ini terdapat jembatan gantung beralas kayu
yang membentang di aliran sungai Citarum Lama, seru juga ketika kami digoyang –
goyang jembatan ini ketika melewatinya. Dari kampung Daraulin perjalanan
dilanjutkan ke Kampung Adat Mahmud untuk kemudian menuju jalan Kopo dan kembali
ke rumah masing – masing membawa sejuta kesan tidak terlupakan setelah ber-night riding dengan ber-XC ria malam –
malam.
No comments:
Post a Comment