Saturday, May 31, 2014

NIKMATNYA MENYUSURI TREK XC PERKEBUNAN KERTAMANAH PANGALENGAN


            Kawasan Pangalengan di Bandung Selatan yang berada di dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata ±1500mdpl, dihiasi dengan jejeran perbukitan di sekelilingnya menawarkan pemandangan yang indah dan eksotis dan masih sangat alami. Keindahannya mengundang banyak wisatawan datang berkunjung ke sana, banyak obyek wisata terdapat di pangalengan, seperti Situ Cileunca, pemandian air panas Cibolang dan lain-lain. Belum lagi hamparan perkebunan teh milik PTPN VIII yang sangat luas menawarkan beragam atraksi wisata yang sangat menarik seperti outbond, teawalk, hiking dan bersepeda. Bersepeda adalah kegiatan yang akan saya bahas karena kebetulan saya sempat beberapa kali merasakan sensasi yang luar biasa menantang dan menyenangkan saat bersepeda cross country/ XC di kawasan perkebunan teh Pangalengan.

            Salah satu lokasi yang sangat menantang dan menarik untuk melakukan kegiatan bersepeda, salah satunya berada di sekitar Perkebunan Kertamanah PTPN VIII, mulai dari pintu masuk dari daerah Elos sampai ujung jalan aspal di lereng utara Gunung Wayang terbentang jalan mulus menanjak dan menurun membelah perkebunan teh, siap untuk ditaklukkan oleh para goweser onroad dan pencinta uphill. Belum lagi suguhan tanjakan dan turunan-turunan ekstrem di trek-trek offroad siap memanjakan para goweser offroad penyuka trek XC dan XC trail.  

            Setelah sebelumnya saya menjajal eksotisme trek XC Kertamanah – Situ Cisanti – Malabar, rute gowes saya kali ini sepenuhnya menyusuri perbukitan di sekitar perkebunan Kertamanah, dengan mengambil start di daerah Campaka, sekitar 250 m sebelum pabrik pengolahan teh Perkebunan Kertamanah, dan finish di kampung Bojong Waru , sekitar 500 m sebelah timur jalan raya Bandung Pangalengan, dengan jarak tempuh sekitar 16 km. Kondisi trek 90 % single trek tanah dan makadam, dan 10 % jalan makadam dan jalan aspal. Komposisi trek sekitar 30% tanjakan dan 70% turunan, titik tertinggi dari jalur ini berada di ketinggian ±1770 mdpl. Tantangan pertama yang harus dihadapi sekaligus “ucapan selamat datang” di awal trek ini, sesaat setelah meninggalkan daerah Campaka adalah single trek menanjak curam yang cukup panjang, membelah hamparan pohon-pohon teh, di tanjakan pertama ini beberapa goweser sudah langsung kewalahan menaklukkannya, dan lebih memilih untuk ber-TTB menuntaskan tanjakan di tengah pepohonan teh ini. Tiba di ujung tanjakan ini rupanya tantangan belum berakhir, di depan saya tanjakan panjang masih menghadang, demi menghemat tenaga, saya beristirahat sejenak di ujung tanjakan pertama sambil mengabadikan perjuangan kawan-kawan yang tengah bersusah payah menuntaskan tanjakan selamat datang ini. Perjalanan dilanjutkan kembali, saya pun kembali berjuang dengan susah payah menaklukkan tanjakan ini meskipun harus beberapa kali berhenti untuk menarik nafas, dan akhirnya saya bisa sampai juga di ujung “tanjakan selamat datang” ini.

     Ujung dari tanjakan ini adalah sebuah perempatan, lurus dan kembali menanjak menyusuri ladang-ladang akan membawa kita menuju hutan, ke arah timur adalah bagian dari singel trek rute Curug Panganten (yang akan saya bahas di tulisan saya berikutnya), dan arah yang akan saya tuju adalah turunan yang mengarah ke utara. Bertemu turunan, artinya adalah mengobati rasa lelah sehabis menaklukkan tanjakan tadi, segera saja saya dan kawan-kawan meluncur menuruninya, menikmati naiknya adrenalin ketika sepeda kita dengan kecepatan tinggi melewati turunan ini. Ujung dari turunan ini adalah sebuah sungai, dan trek yang dihadapi berikutnya adalah tanjakan yang agak “bersahabat”, dan tanjakan ini berakhir di jalan aspal yang akan mengantarkan saya menuju singel trek berikutya yang tidak kalah menantang. Ternyata sang pemandu sengaja membawa saya dan kawan-kawan sedikit memutar dengan tujuan memang untuk memberikan ucapan selamat datang kepada kami. Jaraknya menjadi lebih jauh, tapi menurut saya trek yang memutar ini menjadi lebih berkesan dibandingkan dengan harus menyusuri jalan aspal menanjak dari Campaka menuju singel trek berikutnya, yang titik awalnya berada di ketinggian ±1770 mdpl, sekaligus menjadi titik tertinggi dari keseluruhan rute ini.  

Jalan aspal menanjak sejauh sekitar 500 m harus dilalui untuk mencapai titik pemberhentian berikutnya ini cukup berat, tapi sajian pemandangan yang sangat indah membuat perjalanan menempuh jalan menanjak ini menjadi tidak terlalu berat, sebelum saya kembali menghadapi turunan panjang dan menantang, disertai beberapa obstacle yang cukup menguji skill dan mental. Akhirnya sampailah saya di sebuah pertigaan, kemudian berbelok ke kiri memasuki sebuah dataran yang agak luas. Di titik ini, pemandangan yang tersaji sangat indah, bagus juga sebagai tempat beristirahat, dan berfoto-foto, sambil menunggu kawan-kawan yang lain yang masih berjuang menuntaskan jalan aspal menanjak tadi. Di hadapan saya terlihat Situ Cileunca yang berlatar perkebunan teh Riung Gunung dan jejeran perbukitan Cagar Alam Gunung Tilu, hamparan perkebunan teh Malabar, Kertamanah, pipa-pipa gas penyalur panas bumi terlihat meliuk-liuk di sela-sela perbukitan dan pepohonan teh, hembusan uap berhembus tanpa henti dari PLTP Wayang Windu yang terlihat seperti menempel di dinding lereng Gunung Wayang, cantik sekali, sebuah sajian landscape yang begitu indah dan sempurna. Satu persatu kawan-kawan tiba di peristirahatan ini, setelah beristirahat sambil tidak lupa mengambil beberapa foto kami pun melanjutkan perjalanan menuju trek menurun berikutnya. Trek yang saya hadapi selanjutnya ini sangat menantang dan menguji keahlian kita mengendalikan sepeda, yang pertama dilalui adalah trek bergelombang, dengan konsentrasi tinggi, cukup asyik juga melewatinya dengan kecepatan sedang, trek berikutnya adalah sebuah trek yang saya namai “walungan saat” atau sungai kering, trek ini sebenarnya mengasyikkan, ada berm (belokan tajam), dilanjutkan dengan turunan panjang. Tapi karena gerusan air hujan membuat tanah di sebagian trek ini terkikis dan hanya menyisakan ceruk-ceruk dalam dan batu-batu cukup besar mencuat di permukaan, butuh handling yang prima untuk melewatinya, beberapa kali saya harus menuntun sepeda melewati ceruk yang dalam atau melewati batu yang lumayan besar. Beberapa teman ada yang terjungkal karena ban depan sepedanya terkunci karena tidak bisa melewati batu atau ceruk tadi, cukup melelahkan menyelesaikan trek ini. 

Perjuangan menuruni trek walungan saat ini tidak sia-sia, karena yang akan dihadapi berikutnya adalah singel trek turunan panjang nan mulus, payback time. Inilah kesempatan saya untuk mengganti semua rasa kesal setelah sebelumnya menempuh trek aspal menanjak dan merayap trek walungan saat, sepeda pun segera dipacu menuruni turunan ini. Ujung dari turunan ini adalah adalah sebuah pertigaan dan lapangan kecil, ke arah kiri akan membawa kita ke jalan aspal Pangalengan – Kertamanah, jalur yang diambil adalah kembali sebuah turunan dan sedikit tanjakan menuju sebuah makam tua yang dipayungi pohon beringin besar. Setelah re-grouping di pertigaan tersebut, kembali perjalanan dilanjutkan menuju makam tua tadi. Makam ini berada di sebuah bukit kecil tepat di belakang mess/ rumah dinas administratur perkebunan Kertamanah, di makam ini kami kembali berhenti sejenak untuk melihat makam ini. Makam ini adalah makam seorang Belanda  administratur perkebunan Kertamanah bernama Gerard Alfred Cup, dari nisannya tertera beliau ini lahir tahun 1911 dan wafat tahun 1973. Setelah sejenak melihat-lihat makam ini, perjalanan kembali dijanjutkan, sebuah pemandangan yang sangat menawan menyambut saya dan kawan-kawan, singel trek mendatar di di tengah-tengah hamparan perkebunan teh berlatar Gunung Tilu siap memanjakan kami, sebuah turunan panjang kembali menyambut, dan sepeda-sepeda pun meluncur melahap turunan yang sangat mengasyikkan ini, meskipun ada insiden seorang teman yang terjun ke sungai yang  posisinya sekitar 3 m di bawah trek yang dilalui, cukup mendebarkan juga.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, kami semua kembali mengayuh sepeda, kembali menuju sebuah turunan panjang yang berakhir di sebuah pertigaan. Berbelok ke kanan menuju jalan aspal kampung Cinyiruan, sedangkan ke kiri menuju makadam menanjak masuk kembali ke hamparan perkebunan teh menuju sebuah tempat yang dinamakan oleh para penduduk sekitar dengan sebutan “saung koboy”, disanalah spot berikutnya yang akan dituju, untuk beristirahat dan membuka bekal makan siang. ¾ perjalanan sudah terlalui, tinggal ¼ perjalanan lagi menuju titik finish di kampung Bojong Waru. Nikmat sekali rasanya menikmati makan siang sambil memandang hamparan perkebunan teh sejauh mata memandang.

Setelah satu jam beristirahat dan makan siang, waktunya saya dan kawan-kawan menghabiskan sisa perjalanan ini, trek di hadapan saya adalah makadam yang berada di ujung perkebunan teh, yang berbatasan dengan ladang penduduk. Dengan sisa tenaga saya melewati trek makadam ini, untuk menyambut singel trek turunan terakhir dari keseluruhan trip ini, berhubung hari sudah beranjak sore, tidak berlama lama saya pun langsung melahap turunan ini, dan ujung dari turunan ini adalah sebuah sungai kecil, dan di seberangnya adalah singel trek menanjak plus monorail cukup dalam langsung menyambut dan mengantarkan saya menuju titik finish di kampung Bojong Waru.


Setelah re-group dan beristirahat sejenak di kampung bojong waru, perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan beton menurun menuju kampung Elos, di  jalan raya Pangalengan -  Bandung. Selanjutnya satu per satu sepeda dipacu, dan meluncur menikmati bonus terakhir, jalan aspal mulus menurun sepanjang 20km menuju kecamatan Banjaran, dan akhirnya kembali mengayuh sepeda menuju rumah masing-masing. 

SENSASI GOWES UPHILL MAJALAYA – KAMOJANG 10 KM MENGUJI KETAHANAN FISIK DAN MENTAL


Kamojang adalah kawasan geothermal yang terletak di selatan kota kecamatan Majalaya kabupaten Bandung, menjadi salah satu pembangkit listrik tenaga panas bumi di Jawa barat. Terletak di kampung Cibeet kecamatan Paseh kabupaten Bandung, berbatasan langsung dengan kecamatan Samarang kabupaten Garut, terletak di ketinggian ± 1500 mdpl. Kawasan Kamojang menawarkan potensi wisata alam yang cukup menarik seperti Kawah Kareta Api yang unik karena mengeluarkan hembusan uap yang kuat sehingga mampu menerbangkan sebuah botol air mineral beberapa meter ke udara, atau atraksi wisata mandi sauna di Kawah Hujan.

Tidak hanya menawarkan obyek wisata yang cukup menarik, kawasan Kamojang juga menawarkan sesuatu yang cukup menantang bagi para pesepeda, baik bagi para pengemar offroad maupun onroad. Kamojang yang berada di ketinggian membuat goweser yang ingin mencapai ke sana mau tidak mau harus berhadapan dengan jalanan yang dihiasi tanjakan-tanjakan curam, termasuk satu tanjakan yang sudah sangat dikenal dan legendaris, yaitu tanjakan Monteng, tanjakan terakhir dan terberat sebelum kita memasuki kawasan PLTP Kamojang. Bagi para penggemar sepeda offroad, dari kawasan Kamojang terdapat banyak trek offroad yang cukup menantang, seperti trek Situ Ciharus, trek Kamojang - Ibun, dan trek Situ Cibeureum.

Bagi para goweser penggemar tanjakan atau uphiller, menaklukkan trek onroad Majalaya - Kamojang berikut menaklukkan tanjakan legendaris Monteng akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, mengingat beratnya medan yang harus ditempuh. Berdasarkan data GPS, tingkat elevasi trek ini adalah titik start dari Majalaya di ketinggian ± 670 mdpl dan titik finish di power plant PLTP Kamojang pada ketinggian ± 1550 mdpl adalah ± 850 m dengan jarak tempuh ± 10 km, inilah yang menyebabkan jalan menuju kawasan Kamojang banyak dihiasi tanjakan-tanjakan curam.

Bagi goweser dari kota Bandung yang ingin mencicipi jalur ini ada beberapa rute yang bisa dipilih. Yang pertama bisa mengambil rute Buah batu - Bojong Soang - Ciparay – Majalaya, atau bagi yang ingin memilih jalur yang relatif sepi dengan pemandangan yang cukup memanjakan mata bisa mengambil rute Buah Batu – Derwati – Sapan – Majalaya, atau Tegal Luar -  Jalan Kontrol Sungai Citarik- Solokan Jeruk -  Majalaya. Dari majalaya sepeda kita arahkan ke jalan raya Paseh – Ibun, sekitar 6 km menuju Paseh, kita akan berhadapan dengan tanjakan-tanjakan ringan dan sedang, cukup untuk pemanasan sebelum kita menghadapi tantangan sebenarnya, yaitu jalur Paseh -  Kamojang. Lepas dari Paseh barulah kita berhadapan dengan jalan menanjak dengan kemiringan yang cukup membuat miris, nafas mulai tersengal, padahal ini baru tanjakan pertama. Lolos dari tanjakan pertama, tak lama tibalah kita di tanjakan berikutnya, sebuah tanjakan yang dihiasi dengan belokan tajam, fisik dan mental kembali diuji untuk menaklukkannya. Di ujung tanjakan ini terdapat sebuah warung yang kerap digunakan sebagai tempat istirahat dan mengatur nafas dan mengembalikan stamina para goweser sebelum kembali berhadapan dengan tanjakan-tanjakan curam berikutnya.

Tanjakan berikutnya yang harus dihadapi adalah tanjakan Patrol, ini adalah tanjakan terakhir sebelum kita berhadapan dengan tanjakan Monteng yang legendaris. Dari sini terlihat bukit-bukit dimana tanjakan Monteng berada, kita menengadah melihatnya, posisinya masih di atas kita. Kita masih harus berhadapan dengan tanjakan Patrol yang kemiringannya sedikit bisa meruntuhkan mental sebelum mencapai ke sana. Merayapi tanjakan Patrol cukup menguras stamina, namun rasa penasaran untuk segera berhadapan dan merasakan sensasi menaklukkan tanjakan Monteng membuat kita bersemangat untuk segera melewati tanjakan patrol ini. Walaupun dengan tertatih tatih menggowes sepeda, akhirnya sampailah kita di sebuah warung, di akhir tanjakan Patrol. Di depan kita tanjakan Monteng yang legendaris telah menunggu untuk ditaklukkan. Tanjakan yang sangat terkenal bukan hanya di kalangan goweser saja, tapi cukup membuat gentar juga para pengendara motor maupun mobil yang sudah mendengar dan dan merasakan kecuramannya. Inilah kesempatan kita untuk menuntaskan ujian terberat dari trek ini, menaklukkan tanjakan Monteng, akan lebih baik lagi apabila kita menaklukkannya tanpa berhenti di tengah-tengah tanjakannya.

Nafas kembali diatur, stamina kembali dikumpulkan, sampai akhirnya tibalah saatnya kita kembali menggowes sepeda masing-masing, merayapi tanjakan legendaris ini. Bagi yang sudah terbiasa dan memiliki stamina prima, dari warung sehabis tanjakan Patrol, sepeda bisa digowes nonstop sampai di shelter di ujung tanjakan Monteng II atau di shelter di ujung tanjakan Monteng III, namun cukup bijaksana juga kiranya membagi 3 titik pemberhentian untuk menaklukkan tanjakan ini, karena baru pertama menghadapinya. Selepas warung, titik pemberhentian pertama adalah jembatan selepas tanjakan Monteng I, dengan tertatih-tatih titik ini bisa juga dicapai. Titik pemberhentian selanjutnya adalah warung dan shelter di sebuah belokan sangat tajam di ujung tanjakan Monteng II. Ada dua pilihan jalur untuk menuntaskan tanjakan Monteng II ini, bagi yang memiliki stamina dan skill menanjak yang mumpuni, bisa mengambil jalur kiri yang sangat curam. Namun bagi pemula atau yang pertama menginjakkan sepeda kesana, mengambil jalur sebelah kanan cukup masuk akal juga, karena relatif lebih landai, meskipun tetap saja menyiksa ketika melewatinya.


Lulus dari tanjakan Monteng II, apalagi tanpa TTB, bolehlah kita berbangga, karena titik terberat dari tanjakan ini sudah berhasil dilewati. Di ujung tanjakan Monteng II, terdapat warung dan shelter, di sinilah para goweser yang sudah menaklukkan tanjakan Monteng II menonton dan menyemangati rekan-rekan goweser lain yang masih berjuang menaklukkan tanjakan ini. Lumayan membuat gugup bagi beberapa goweser yang tengah berjuang menaklukkan titik terberat dari tanjakan ini sambil ditonton dari atas oleh goweser lainnya, tapi katanya itulah sensasinya. Dari ujung tanjakan ini kita memiliki 2 pilihan, bagi yang masih penasaran bisa menghabiskan tanjakan Monteng sampai ke ujungnya, dan dilanjutkan menuju power plant PLTP Kamojang. Apabila masih memiliki stamina cukup kuat, dari power plant sepeda bisa diarahkan menuju ke timur menuju kawasan obyek wisata kawah Kamojang, tapi kalau niat kita dari awal hanya untuk mencicipi dan menaklukkan tanjakan Monteng, gowesan kita bisa diakhiri di power plant PLTP Kamojang ini. Finish di power plant PLTP Kamojang berarti kita sudah dikatakan lulus dan berhasil menaklukkan trek uphill Majalaya - Kamojang, salah satu trek uphill terberat di kawasan Bandung. Sebelum kita kembali ke Bandung, kita bisa narsis berfoto-foto di kawasan power plant PLTP Kamojang yang megah, sambil mengabadikan jejak - jejak kita menaklukkan trek uphill legendaris kota Bandung. 

MENIKMATI SENSASI TANJAKAN DAN TURUNAN DI TREK XC GUNUNG BULEUD


Trek-trek XC di sekitar Bandung Selatan seakan tak pernah habis dieksplorasi, setelah sebelumnya saya mengangkat trek XC Pasir Jereged - Alun Alun Soreang dan Situ Cileunca - Gambung Argapuri, sekarang saya akan mencoba mengangkat lagi satu trek di Bandung Selatan yaitu trek Gunung Buleud yang berada di kecamatan Kutawaringin. Trek ini menawarkan kombinasi jalur onroad dan offoad serta tanjakan dan turunan yang cukup menantang. Di luar trek-trek tersebut di atas tentu saja masih banyak trek lain di daerah Bandung Selatan yang sudah dieksplorasi oleh teman-teman goweser lain yang belum sempat terekspose.

Trek ini dapat dicapai melalui beberapa jalur yang semuanya berada di sepanjang jalan raya Soreang-Cipatik, yaitu melalui jalan desa Cikopo, Jatisari atau Cantilan. Jalur pertama melalui jalan desa Cikopo yang posisinya tidak begitu jauh dari Kompleks Perkantoran Kabupaten Bandung dan Alun - Alun Soreang, di jalur ini kita akan melewati jalan aspal di tengah-tengah persawahan, pemandangannya cukup menarik. Walaupun jalur ini jaraknya lebih dekat untuk mencapai kampung Cipeundeuy sebagai pintu masuk menuju trek Gunung Buleud, namun melewati jalur ini kita akan menemui banyak tanjakan curam yang cukup menguras stamina untuk mencapai kampung Cipeundeuy. Yang kedua adalah melewati jalan desa Jatisari menuju desa Cibodas sebelum mencapai kampung Cipeundeuy, melalui jalur ini kita tidak akan menemui banyak tanjakan tetapi jalur ini sedikit jauh karena agak memutar. Jalur ketiga adalah melalui Cantilan - Pasir Jereged, alternatif ketiga ini merupakan gabungan dari trek Pasir Jereged dan trek Gunung Buleud, trek Pasir Jereged berakhir di jalan desa Cibodas. Sebagai variasi, di Cibodas ada dua opsi untuk mencapai kampung Cipeundeuy, bisa menyusuri jalan aspal menanjak tapi jaraknya lebih pendek menuju kampung Cipeundeuy, atau masuk ke singel trek jalur irigasi dan “jalur silet”. Jalur ini lebih jauh tapi lebih variatif dan menantang. Bagi goweser yang berdomisili di sekitar Bandung Barat bisa mencapai trek Gunung Buleud dengan menyusuri jalan desa Situwangi di kecamatan Cihampelas Kabupaten Bandung Barat, dengan kondisi jalur banyak tanjakan yang cukup curam.  

Jalur-jalur menanjak menuju kampung Cipeundeuy sebenarnya lebih kepada pemanasan saja sebelum kita menuju trek Gunung Buleud, karena stamina kita sebenarnya akan diuji ketika memasuki jalan Cipeundeuy menuju kampung Gunung Buleud. Dari pertigaan dekat SD Cipeundeuy kita mengarah ke utara, setelah menemui satu turunan dan mulailah kita berhadapan dengan trek menanjak variatif yang cukup panjang dan menguras stamina kita. Diawali dengan tanjakan di jalur aspal, di ujung jalan aspal tanjakan berikutnya yang berupa makadam siap menyambut kita. Selepas menaklukkan tanjakan makadam yang disertai beberapa belokan tajam kita kemudian menemui jalur mendatar sekitar 100 meter, lumayan buat mengatur kembali nafas yang terengah-engah, karena berikutnya kita akan menghadapi singel trek menanjak yang lumayan jauh untuk mencapai kampung Gunung Buleud, ditambah jarangnya pepohonan di sepanjang jalur ini membuat jalur ini menjadi panas dan gersang. Menggowes atau menuntun sepeda sekalipun ditengah jalur menanjak ditambah sengatan sinar matahari membuat stamina kita semakin cepat terkuras. Setelah satu jam lebih kita berjibaku menaklukkan trek ini, termasuk menaklukkan tanjakan terakhir yang dikiri kanannya ditumbuhi rumpun-rumpun bambu maka sampailah kita di kampung Gunung Buleud. Di sini terdapat persimpangan, kita yang masuk dari kampung Cipeundeuy datang dari arah selatan, sedangkan ke arah utara adalah jalur menuju desa Situwangi kecamatan Cihampelas. Tujuan kita adalah jalur makadam yang mengarah ke timur menuju singel trek menurun. Namun sebelumnya kita mampir dahulu ke sebuah warung di dekat pertigaan, beristirahat, memulihkan stamina sambil mengisi perut kita yang sudah mulai keroncongan, sekaligus mengisi perbekalan air, karena trek berikutnya masih cukup jauh untuk sampai ke titik finish di jalan desa Jatisari.

Setelah cukup beristirahat dan stamina sudah kembali pulih saatnya perjalanan dilanjutkan, gowes dilanjutkan menuju trek makadam disambung singel trek menuju tugu perbatasan Kabupaten Bandung - Bandung Barat, satu tanjakan menghadang kita sebelum menuju tugu perbatasan, selepas tanjakan ini trek mendatar di tengah-tengah rumpun ilalang akan kita temui, yang kalau kita melewati trek ini ketika musim hujan, ilalang-ilalang yang tumbuh menutupi singel trek tersebut dapat melukai kaki kita dan cukup membuat kaki kita perih-perih. Kebetulan saat ini sedang kemarau, banyak ilalang yang mengering, bahkan di beberapa tempat seperti habis terbakar, membuat singel trek mendatar ini kelihatan semakin lebar. Di sebelah kiri kita menjulang Gunung Buleud dengan dinding batunya, di sebelah utara puncak Gunung Buleud menjulang 2 buah batu besar yang oleh penduduk sekitar disebut Lawang Angin, di kejauhan menghampar Danau Saguling sejauh mata memandang, indah sekali. Tetapi kita harus cepat-cepat meninggalkan keindahan yang tersaji ini, turunan panjang dan menantang sudah menanti kita. Trek menurun yang kering dan bebas monorail (jejak berupa cekungan memanjang di sepanjang jalur, biasanya akibat gerusan ban kendaraan roda dua) menggoda kita untuk memacu sepeda melewatinya, hilanglah sudah semua rasa lelah yang tadi hinggap ketika melewati trek menanjak sebelumnya.

Setelah lebih dari 10 menit kita memacu sepeda di trek menurun, kita kembali menemui jalur menanjak yang akan membawa kita menuju turunan makadam. Di ujung tanjakan kita bisa berhenti sejenak sambil menikmati pemandangan pesawahan dan bukit-bukit di sekitar Soreang. Di kejauhan terlihat juga stadion Si Jalak Harupat kebanggaan warga Kabupaten Bandung berdiri dengan megahnya. Perjalanan selanjutnya adalah menuruni trek makadam sejauh kurang lebih 1 km. Cukup tersiksa juga ketika melewatinya, membuat tangan dan badan pegal-pegal, terutama bagi goweser yang bersepeda hardtail/ tanpa suspensi belakang.
Ujung trek makadam ini adalah sebuah persimpangan. Arah ke timur membawa kita menuju singel trek menuruni bukit menuju desa Jatisari, arah utara menuju singel trek yang berujung di Cantilan, yang menjadi titik start trek XC Pasir Jereged, arah selatan adalah singel trek menurun dengan beberapa belokan-belokan tajam yang juga adalah bagian dari trek XC Pasir Jereged menuju desa Cibodas.

Arah yang kita ambil adalah ke timur, menuju ke perbukitan yang banyak ditumbuhi rumpun-rumpun bambu menuju desa Jatisari sebagai titik finish trek ini. Trek menurun di bukit ini sebagian besar lurus dengan sedikit belokan, enak untuk memacu kecepatan sepeda kita. Namun yang harus diingat ketika memasuki trek ini adalah banyaknya ranting-ranting pohon bambu bekas tebangan yang banyak berserakan di kiri kanan trek, kehilangan kewaspadaan dan konsentrasi ketika melewatinya dapat membuat ranting-ranting tadi masuk ke RD sepeda kita dan merontokkannya. Saling mengawasi sepeda yang di depan kita menjadi hal yang penting juga untuk menghindari kejadian tersebut terjadi, kita bisa memberitahukan teman di depan kita bila terlihat ada ranting yang masuk ke roda sepedanya. Hadangan lain adalah rerumputan yang tumbuh lebat menutupi singel trek, membuat kita kesulitan melihat apa yang ada di depan kita, batu-batu yang berserakan, ranting-ranting pohon, atau cekungan-cekungan bekas aliran air siap menjatuhkan kita. Tapi dengan kewaspadaan dan konsentrasi penuh, kita bisa memacu sepeda kita melewati trek menurun ini sekaligus menyelesaikan perjalanan kita menyusuri trek XC Gunung Buleud.

Ujung dari singel trek bukit ini adalah sebuah jembatan di saluran irigasi, yang apabila kita menyeberanginya dan mengambil jalan menurun kita akan sampai di jalan desa Jatisari, sekaligus sebagai titik finish trek XC Gunung Buleud. Apabila kita menyusuri singel trek saluran irigasi mengarah ke utara akan membawa kita menuju Cantilan, dan apabila kita mengarah ke selatan, akan membawa kita menuju “jalur silet” menuju kampung Cipeundeuy yang menjadi pintu masuk menuju trek XC Gunung Buleud yang tadi kita bahas.
Namun sebelum kita pulang, di ujung trek sebelum jembatan terdapat beberapa gundukan atau dropoff yang dapat kita gunakan untuk melakukan beberapa aksi jump. Lumayan sebagai “hidangan penutup/ cuci mulut” sebelum kita menyudahi perjalanan ini. Puas melakukan beberapa jump kita ambil jalan menurun menuju jalan desa Jatisari, belok ke kiri membawa kita kembali menuju jalan raya Soreang - Cipatik. Dengan demikian berakhir pulalah perjalanan kita bersepeda menikmati sensasi tanjakan dan turunan di sepanjang trek XC Gunung Buleud ini. Selamat mencoba….

GOWES MENGGAPAI PUNCAK PIRAMIDA GUNUNG LALAKON

Gunung Lalakon yang terletak di kampung Jelegong desa Badaraksa kecamatan Kutawaringin ini belakangan ramai diperbincangkan setelah muncul dugaan bahwa gunung ini adalah sebuah bangunan piramid, sejak saat itu pula semakin banyak orang - orang yang datang mengunjungi gunung ini, didorong oleh rasa penasaran setelah mendengar cerita - cerita tadi. Tiba-tiba saja terbersit dalam benak saya, kalau orang-orang selama ini bisa mendaki gunung itu sampai ke puncaknya berarti setidaknya terdapat jalan atau singel trek menuju ke sana, kalau ada singel trek disana berarti kemungkinan besar jalur tersebut bisa dilalui juga oleh sepeda MTB. Setelah berunding dengan beberapa teman saya bersama beberapa teman memutuskan untuk mencoba menggapai puncak Gunung Lalakon dengan bersepeda MTB, sekaligus untuk memperkaya khasanah jalur-jalur bersepeda di Bandung Selatan khususnya yang berkategori XC.



gn Lalakon, the pyramid


gn Lalakon tampak di kejauhan

Setelah beberapa waktu tertunda akhirnya belum lama ini kami mencoba bersepeda ke Gunung Lalakon. Tujuan pertama adalah kampung Jelegong desa Badaraksa kecamatan Kutawaringin sebagai starting point kami. Dari jalan raya Soreang-Cipatik kami berbelok masuk ke jalan kecil menanjak mengarah ke selatan sambil bertanya apakah benar ini jalur menuju puncak Gunung Lalakon. Kebanyakan orang yang kami temui dan kami tanya sambil mengiyakan terlihat keheranan melihat kami membawa sepeda dan berniat mendaki ke puncak Gunung Lalakon, bahkan ada beberapa orang yang terlihat menganggap hal yang kami lakukan mengada-ada, bersepeda sampai ke puncak Gunung Lalakon. Tapi kami tetap berkeyakinan pada tujuan awal kami untuk bersepeda kesana, kami tetap memutuskan untuk mencoba mendakinya, dan kami pun pergi meninggalkan kampung Jelegong menuju ladang-ladang penduduk di belakang kampung dengan diiringi tatapan heran para penduduknya.




titik awal trek gn Lalakon di desa Badaraksa

Sampai di ujung gang, perbatasan antara perkampungan dengan ladang penduduk kami langsung berhadapan dengan tanjakan tangga, tidak ada jalan lain kami harus mengangkat sepeda masing-masing melewatinya. 



Selepas tanjakan tangga tersebut barulah tampak singel trek, namun ternyata hampir di sebagian besar singel trek sepeda tidak bisa dinaiki karena sempitnya jalur yang kami lalui, di samping kiri atau kanan kami berselang-seling antara jurang dan semak belukar di antara ladang-ladang penduduk. Perjalanan terasa sangat lambat, menapaki jalur menanjak sambil menuntun sepeda lumayan menguras tenaga, beruntung saat itu udara sangat bersahabat, matahari tertutup awan, angin bertiup sepoi-sepoi, udara cukup sejuk selama perjalanan. Sepanjang perjalanan menuju punggungan bukit hampir 70% sepeda tidak bisa dinaiki, kami harus menuntunnya. Sampai di punggungan bukit kami bertanya pada petani yang sedang berladang disana, kemana jalur menuju puncak. Beliau menunjuk ke arah barat, mengarah ke sebuah punggungan lagi.






Berlatar puncak gn Lalakon





Wow..!!! berarti tadi dari titik start, jalur yang dilalui ternyata sedikit memutar, dari sisi timur perjalanan mengarah ke selatan dan berakhir di punggungan ini. Posisi kami sekarang berada di sisi selatan Gunung Lalakon. Kami kembali harus menyusuri singel trek di sepanjang punggungan menuju ke arah barat. Walaupun jalur yang kami lalui masih saja menanjak, tapi tanjakan yang tidak terlalu curam memungkinkan kami menaiki sepeda masing-masing, walaupun semak yang semakin rimbun cukup menghambat laju sepeda kami, juga jurang di samping kami membuat kami harus meningkatkan konsentrasi dan ekstra hati-hati melaluinya.




Setelah bersusah payah menapaki jalur ini sampailah kami di ujung punggungan di sisi barat. Pemandangan di arah barat kami adalah daerah Cihampelas, Rongga, dan sekitarnya di kabupaten Bandung Barat yang di kejauhan terlihat berbatasan dengan Danau Saguling. Sawah menguning di sekitarnya, di sebelah selatan kami terdapat bukit bekas galian batu, dan terdapat jalur makadam disana, kelihatan jalur tersebut dulunya mungkin dipakai untuk mengangkut batu-batu untuk diangkut menuju desa Situwangi di kaki bukitnya. Meskipun sudah tidak dipakai tapi jalur tersebut masih kelihatan, berkelok-kelok dari desa Situwangi menanjak sampai ke puncaknya. Lain kali kami harus mencoba bersepeda di jalur itu, akan sangat menantang bersepeda menaklukkan tanjakannya hingga puncak dan kemudian menuruninya.



Pemandangan dari sisi barat gn Lalakon

Posisi kami saat ini adalah di sebuah persimpangan, ke utara menanjak ke arah puncak Gunung Lalakon, ke arah barat berarti menuju jalur galian batu, dan ke arah timur adalah jalur kami naik. Setelah berunding, kami memutuskan untuk naik dulu ke puncak dan kemudian pulang melalui jalur galian batu menuju desa Situwangi kecamatan Cihampelas Bandung Barat. Kami kembali menanjak sambil menuntun sepeda karena jalur yang ada tidak mungkin untuk dinaiki, sambil menghibur diri membayangkan nikmatnya saat menaiki sepeda menuruninya. Setelah sekitar 10 menit kami berjalan, kami memutuskan untuk menyimpan sepeda kami  di sebuah lahan yang agak datar dan luas, sekitar 15 meter lagi menuju menara kembar di puncak Gunung Lalakon, dengan pertimbangan terbatasnya waktu, mengingat kami start dari kampung Jelegong sekitar pukul 13 wib dan menargetkan pada pukul 16 wib harus sudah sampai di daerah Cantilan.



Summit attack !!


Summit attack !!


Berpose di puncak gn Lalakon


Berpose di menara kembar  puncak gn Lalakon



melepas lelah di puncak gn Lalakon



Pemandangan kota Soreang dan sekitarnya dilihat dari puncak gn Lalakon 

Sepeda kemudian kami simpan dan kami lanjutkan berjalan menuju puncak. Jalur yang kami lalui berbelok kemudian mengarah ke timur, dari sini terlihatlah menara kembar puncak Gunung Lalakon semakin dekat, dan tidak lama kemudian sampailah kami di puncak Gunung Lalakon. Pemandangan yang tersaji sungguh sangat indah. Di arah selatan dan barat hamparan persawahan yang pada saat itu sedang menguning berpadu dengan hijaunya perbukitan, di kejauhan pemukiman di daerah Cihampelas, Rongga dan Cililin berbatasan langsung dengan Danau Saguling. Di arah utara permukiman, persawahan berselingan dengan pemukiman, diantara bukit-bukit yang sudah nyaris tidak berbentuk lagi, sebagian besar sudah habis ditambang batu dan pasirnya. Sangat disayangkan udara saat itu agak berawan, kalau cuaca cerah dan langit bersih dapat dipastikan pemandangan yang tersaji akan lebih indah dari saat ini.

Tak lama kami menikmati pemandangan di puncak Gunung Lalakon, kami segera turun menuju tempat sepeda kami disimpan dan bersiap menuruni jalurnya. Pasti sangat menyenangkan. Dan mulailah masing-masing sepeda meluncur menuruni jalur Gunung Lalakon, berbelok ke arah barat menuju jalur galian batu desa Situwangi. Benar saja, kami mendapat imbalan yang sepadan setelah bersusah payah mendorong sepeda dari kampung Jelegong sampai ke puncak. Jalur berupa tanah sedikit berbatu cadas diselingi rerumputan menurun berkelok-kelok benar-benar kami nikmati, walaupun di beberapa tempat jalurnya sedikit berpasir membuat sepeda kami sedikit hilang kendali, namun kami tetap bisa memacu sepeda kami sampai di galian batu desa Situwangi kecamatan Cihampelas kabupaten Bandung Barat.


Turunan mantap !!!





Dari ujung singel trek kami mengambil jalur menurun menuju jalur truk biasa mengangkut hasil galian, kebetulan saat itu hari Minggu sehingga tidak ada aktifitas di sekitar galian ini. Kami kembali memacu sepeda, melompati beberapa dropoff / gundukan sampai akhirnya sampailah kami di jalan raya desa Situwangi, yang berarti inilah akhir jalur offroad Gunung Lalakon. 


Galian batu desa Situwangi, titik finish trek gn Lalakon











Dari jalan raya desa Situwangi kami melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Cipatik dan perjalanan pun kami akhiri di sebuah rumah makan di daerah Cantilan. 


Jalan desa Situwangi-Cipatik



Istirahat dan makan siang (meskipun sudah agak terlambat dari jam makan siang seharusnya), memulihkan stamina sebelum gowes lagi menuju rumah masing-masing. 

GOWES DAN NARSIS DI TREK XC SITU CILEUNCA - RAHONG - ARGAPURI

Pada kesempatan kali ini saya akan memperkenalkan satu lagi jalur gowes XC yang ada di Bandung Selatan, yaitu jalur Situ Cileunca - Argapuri, yang dimulai dari dam Sungai Palayangan Situ Cileunca dan berakhir di Bukit Indah Argapuri Kecamatan Pasirjambu. Jalur ini cukup variatif, kombinasi jalan aspal, makadam, dan singel trek yang hampir sekitar 60% berada di tengah-tengah perkebunan teh, berpadu dengan keindahan pemandangan di sepanjang jalurnya. Hal itulah yang membuat saya sedikit tergerak untuk menambahkan kata narsis yang sudah saya persempit sendiri maknanya menjadi berfoto diri sendiri di suatu tempat yang salah satu tujuannya selain sebagai kenang-kenangan juga menjadi satu kebanggaan bisa menjejakkan kaki kita di tempat itu. Akan sangat menyesal apabila gowes ke jalur ini dilalui tanpa berfoto-foto di sepanjang jalurnya, semua keindahan yang tersaji selama perjalanan akan menggoda siapapun yang menjajal jalur ini untuk mengabadikan keindahannya.
Supaya kita bisa lebih menikmati gowesan kita dan sekaligus menghemat tenaga, berhubung jarak dari titik start di Situ Cileunca sampai titik finish di Bukit Indah Argapuri berjarak lebih dari 10 km dan jalurnya lumayan menguras stamina karena banyaknya tanjakan dan turunan, sebaiknya kita mengangkut sepeda kita terlebih dahulu menggunakan mobil bak terbuka atau sejenisnya menuju titik start di Situ Cileunca atau menurut istilah para goweser di-loading terlebih dahulu.
Setelah mengecek kelengkapan dan kesiapan kita serta sepeda kita, gowes dimulai dari pinggir Situ Cileunca  sebelum dam Sungai Palayangan menuju jalan kecil ke arah barat, di sekitar titik start ini pemandangan lumayan indah, berfoto di sekitar tempat ini rasanya sayang apabila dilewatkan. 



foto bersama di pinggir situ cileunca



foto bersama di dam sungai Palayangan

Tidak terlalu lama kita gowes, jalan aspal berganti singel trek yang membawa kita menuju ke perkebunan teh. Trek menurun di tengah perkebunan teh menyambut kita selepas tanjakan, trek menurun yang minim belokan tajam membuat kita leluasa memacu sepeda kita menyusuri kebun teh kemudian masuk ke hutan pinus. Singel trek ini berakhir di jalan aspal Perkebunan Riung Gunung yang juga merupakan jalan alternatif Pangalengan – Ciwidey.








Perjalanan sepanjang trek ini sebenarnya mengikuti jalur jalan alternatif Pangalengan – Ciwidey, tetapi di banyak bagian kita mengambil jalan pintas  berupa singel trek di tengah -  tengah perkebunan teh. Dari ujung singel trek pertama tadi kita memintas lagi, mengambil jalur menanjak menuju perkampungan, masuk kembali ke perkebunan teh menempuh jalur yang menanjak menuju sebuah spot yang lumayan tinggi di antara perkebunan teh. Di titik tertinggi inilah kita beristirahat sejenak sambil menikmati hamparan perkebunan teh Perkebunan Teh Pasir Malang afdeling Riung Gunung yang diselingi pepohonan tinggi, memandangi pemandangan kota Pangalengan di kejauhan yang seakan dipagari jajaran pegunungan Wayang Windu, terlihat pula asap membubung dari pembangkit listrik PLTP Wayang-Windu, sangat indah memanjakan mata. Kita seakan dipaksa untuk mengabadikan diri kita, berfoto diantara semua keindahan ini. Suasana alam perkebunan teh  membuat kita kembali segar dan siap melanjutkan setengah dari keseluruhan perjalanan ini.









Dari lokasi kita beristirahat kita sekali lagi disambut trek menurun sebelum masuk kembali ke jalan Pangalengan-Ciwidey. Sebagai selingan dan sedikit memperpendek jarak ketika menempuh jalan yang sebagian besar aspalnya sudah terkelupas ini kita bisa kembali memintas melalui singel trek melewati rerimbunan pohon teh yang banyak terdapat di sekitar jalan tersebut. Jalur-jalur tersebut adalah jalan pintas bagi para karyawan perkebunan teh untuk memperpendek jarak tempuh mereka dibandingkan dengan harus berjalan mengikuti jalan besar. Bagi kami, ini adalah sebuah sensasi tersendiri mengayuh sepeda melewati rapatnya pohon-pohon teh, meskipun kita harus berhati-hati jangan sampai kita merusak pohon-pohon teh yang kita lalui.
Akhirnya kita sampai di ujung perkebunan teh Riung Gunung, dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan Pangalengan-Ciwidey yang kondisinya rusak parah. Pemandangan pun berubah dari hamparan perkebunan teh menjadi pepohonan besar yang di bawahnya diselingi semak-semak dan pohon-pohon kopi, menuju kawasan Gunung Tilu. Gowesan terasa semakin berat sekaligus membosankan. Jalan yang menanjak, berdebu dan kondisi hutan yang sudah agak jarang pepohonannya membuat sinar matahari terus menyinari kita sepanjang jalan ini sampai di titik peristirahatan kita selanjutnya , di ujung tanjakan di kawasan hutan Gunung Tilu.









Tibalah kita di sebuah bangunan kayu di tengah hutan gunung tilu. Di bawah pepohonan besar banyak terdapat pohon-pohon kopi, mungkin pohon-pohon kopi ini adalah sebagian dari program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang sempat digulirkan pemerintah beberapa waktu lalu. Kita kembali beristirahat sejenak di sini untuk memulihkan stamina kita. Trek selanjutya yang akan kita tempuh adalah turunan sepanjang jalan Pangalengan-Ciwidey dilanjutkan dengan menyusuri singel trek menurun di sepanjang perkebunan teh PPTK Gambung menuju titik finish kita di Bukit Indah Argapuri atau yang kami sebut sebagai Bukit Teletubbies.
Menyusuri akhir dari perjalanan kita ini terutama ketika melewati jalan besar kewaspadaan dan handling prima mutlak dibutuhkan. Kondisi jalan menurun berkelok-kelok dengan aspal yang sudah menghilang hanya menyisakan batu-batu kerikil akan dengan mudah membuat kita kehilangan kontrol dan akhirnya membuat kita terjatuh. Mengingat resiko yang mungkin terjadi, di sepanjang jalan ini sebaiknya kita menahan diri untuk memacu sepeda kita, sambil terus berkonsentrasi dan waspada, mengingat jalan ini juga cukup ramai dilalui masyarakat dari atau menuju Pangalengan dan sekitarnya.
Setelah kita menyusuri jalan menembus hutan Gunung Tilu maka sampailah kita di perkebunan teh PPTK Gambung, ini berarti kita sudah memasuki wilayah kecamatan Pasirjambu. Dari sini kita kembali mengambil jalan pintas memasuki singel trek di tengah hamparan perkebunan teh. Jalurnya cukup menantang, memacu sepeda melewatinya bisa mengobati rasa kesal kita tadi menyusuri jalan besar sebelumnya. Tapi sekali lagi, kita tetap harus berkonsentrasi dan waspada, beberapa tonjolan akar pohon teh dan ranting-rantingnya siap menghadang kita. 








Akhir dari singel trek ini adalah sebuah sungai, dan dari sini kita masuk ke jalan Gambung yang beraspal hotmix  mulus. Sekitar 10 menit kita mengayuh sepeda kita dan akhirnya sampailah kita di pintu masuk Bukit Indah Argapuri, menanjak sedikit dan sampailah kita di titik finish di atas Bukit Teletubbies.   
Tempat ini berupa beberapa gundukan bukit-bukit kecil yang uniknya tidak ada tumbuhan yang tumbuh di atasnya, mengingatkan kita kepada serial televisi untuk anak-anak, Teletubbies. Pada sore hari banyak orang yang menghabiskan waktunya di sini, menikmati hangatnya mentari sore sambil menunggunya hingga tenggelam. Beberapa komunitas motokross juga sering mendatangi bukit ini dan memacu motor-motor mereka melewati bukit-bukitnya, kami pun tergoda untuk memacu sepeda melewati bukit-bukit tersebut, nikmat sekali. Setelah puas bersepeda mengitari bukit ini, saatnya kita beristirahat, dan sekali lagi kita dipaksa untuk mengeluarkan kamera kita mengabadikan pemandangan menakjubkan ini, inilah akhir dari perjalanan kita di jalur ini.










Puas beristirahat, saatnya kita kembali ke rumah kita masing-masing. Ada dua pilihan jalur pulang dari bukit indah argapuri ini, yang pertama kita bisa drifting menyusuri jalan mulus menurun menuju kota Ciwidey kemudian menuju Soreang. Atau bagi yang belum puas menikmati jalur offroad, bisa mengambil jalur singel trek di belakang Villa Argapuri kembali masuk ke kawasan hutan Gunung Tilu menuju kampung Cinangsi Kecamatan Cimaung, kemudian menyusuri jalan aspal sepanjang alur sungai Cisangkuy yang akan membawa kita ke jalan raya Soreang-Banjaran, tepatnya di kampung Ciherang. Dua jalur pulang tadi masing-masing menawarkan kenikmatan tersendiri, mengambil opsi pertama atau kedua sebagai jalur pulang rasanya tidak terlalu menjadi masalah. Hal yang paling utama adalah kepuasan kita bersepeda di alam terbuka sambil menikmati keindahannya, sambil tetap berhati-hati dan berkonsentrasi selama mengayuh sepeda kita dari awal perjalanan sampai akhirnya kembali ke rumah kita masing-masing.

GOWES CURUG CIPANJI CIWIDEY, MENIKMATI KEINDAHAN DALAM BALUTAN KESUNYIAN

Di Ciwidey ada curug yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kota Ciwidey? masa iya sih. Itulah kesan saya ketika pertama kali mendengar dari seorang kawan bahwa di daerah Ciwidey ada curug atau air terjun. Saya sedikit terkejut, soalnya dari yang selama ini saya ketahui dari sekian banyak obyek wisata yang ada di daerah Ciwidey dan sekitarnya tidak pernah saya mendengar obyek wisata curug/ air terjun, tapi teman saya meyakinkan saya bahwa memang di daerah Ciwidey terdapat curug karena dia memang pernah hiking kesana dan kemudian menantang saya untuk membuktikannya sendiri dan saya menyanggupinya. Ialah curug Cipanji, terletak di desa Tenjolaya kecamatan Pasirjambu Ciwidey. Saya dan beberapa orang teman akhirnya memutuskan untuk mengunjunginya dengan bersepeda MTB.

 Dan pergilah kami kesana. Setelah melahap tanjakan-tanjakan sepanjang perjalanan dari Bandung, sampailah kami di Ciwidey. Jalan menuju curug ini berada tidak jauh setelah melewati satu rumah makan sunda terkenal di sana, kita kemudian akan menemukan belokan ke kiri, itulah jalan menuju ke curug Cipanji. Dan kita akan menerima kejutan yang berkesan manakala melewati jalan ini, tanjakan-tanjakan panjang, fisik kita diuji lagi untuk melewati tanjakan-tanjakan ini. Jalan yang dilalui sudah beraspal hotmix, dengan lebar sekitar 3-4 meter. Setelah sekitar 1 km kita bergerak kita akan menemukan jalan bercabang, ambil jalan yang ke kanan dan kejutan itu masih berlanjut, kita masih harus melewati tanjakan-tanjakan lagi, beruntung jalan yang lumayan mulus memudahkan kami untuk melewatinya, dan setelah ini kita menemukan lagi sebuah persimpangan, dan jalur yang diambil adalah ke kanan, ke arah perkebunan teh.



Foto bersama sebelum memasuki singel trek










Jalur yang pendek namun melelahkan karena tanjakannya semakin terjal, dan jalan beraspal akan segera berakhir berganti dengan makadam, dan setelah kita melewati jalur makadam ini saatnya kita untuk beristirahat. Di ujung jalan besar sebelum memasuki jalan setapak kita akan menemukan rumah penimbangan pucuk teh yang lumayan luas, tempat yang cocok untuk mengumpulkan tenaga, karena jalur yang akan dihadapi berikutnya adalah trek tanah merah menyusuri kebun teh sebelum jalur ini membawa kita masuk ke hutan, dan tentu saja, masih menanjak. Di trek ini rasanya nyali dan tenaga saja rasanya belum cukup, harus diikuti oleh perhitungan matang dan kemampuan pengendalian sepeda untuk melewatinya, saya benar-benar merasakan susahnya mengendalikan sepeda ketika mendakinya, apalagi nanti ketika menuruninya, tampaknya akan menjadi sebuah balasan yang sempurna, idaman para penggemar MTB. Perjalanan menyusuri kebun teh seakan singkat karena kita dimanjakan oleh pemandangan alam yang sangat indah, hamparan kebun teh dengan latar belakang kota Ciwidey dan barisan bukit-bukit yang ada di sekitarnya. Tak terasa kita akhirnya masuk ke hutan, tapi ternyata hutan yang dari kejauhan tadi kelihatan lebat itu ternyata tidak seperti kelihatannya, banyak lahan yang sudah beralih fungsi menjadi lahan-lahan pertanian, entah legal atau ilegal, sedikit rasa kecewa dan terenyuh menyelinap di hati.

Sepeda kami hanya bisa dikendarai sampai sekitar 2 km, selanjutnya jalan menurun curam menuju dasar lembah, sepeda pun harus dituntun. Setelah menyeberangi sungai perjalanan menjadi semakin sulit, jalan yang licin dan curam harus dilewati, sepeda sudah tidak mungkin lagi dinaiki. 







Beruntung jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 100 m dan jalan pun berakhir di pinggir sungai. Sepeda sudah tidak memungkinkan lagi untuk dibawa, sedangkan curug masih belum kelihatan juga, bahkan gemuruh suara air terjunnya sekalipun belum kedengaran. Akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan sepeda di sana dan meneruskan perjalanan tanpa membawa sepeda, setelah sepeda kami amankan perjalanan pun dilanjutkan. Dari jawaban seseorang yang sempat kami temui di perjalanan, seharusnya curug itu sudah tidak terlalu jauh lagi jaraknya dari posisi kami, dan benar saja, setelah sekitar 50 meteran kami menyusuri sungai sampailah kami di curug Cipanji.




Curug pertama yang kami temui ini berupa tebing sungai yang landai sehingga lebih menyerupai sebuah perosotan besar yang dialiri air, pantas orang yang tadi kami tanyai menyebutnya dengan “sosorodotan”/ perosotan. 

Kami masih penasaran karena orang tadi menyebut masih ada lagi curug-curug yang lebih tinggi. Benar saja, setelah kami menyeberangi curug yang pertama, dari kejauhan terlihat ada 2 curug lagi, bersusunan, yang bawah tingginya sekitar 5 meter, dan yang di atas tingginya sekitar 8 meter. Sebuah kejutan bagi kami, bisa menyaksikan 3 curug/ air terjun bersusun seperti ini, tapi masih saja kami penasaran karena ini semua belum dapat menjelaskan jawaban dari orang tadi.





Kami mencoba untuk menyusuri jalan setapak yang posisinya berada di tebing di atas curug-curug tadi, harus ekstra hati-hati melewatinya, karena jika terpeleset curug-curug sudah siap menelan kami. Di ujung curug ketiga, jalan buntu. Kita harus menyeberangi sungai ini, jaraknya sekitar 1 meter di depan mulut air terjun, adrenalin meninggi, namun rasa penasaran membuat keinginan untuk melihat curug yang tertinggi mengalahkan rasa itu. Setelah menyeberanginya, mulailah terlihat banyak uap air dan terpaan angin kencang, kami yakin curug pertama sudah semakin dekat. Inilah jawaban dari orang tadi rupanya, curug Cipanji!. Curug setinggi sekitar 15 meter dengan debit air yang besar namun jernih menimbulkan uap-uap air dan menghembuskan angin yang cukup besar ketika airnya menyentuh dasar air terjun, membasahi pepohonan yang berada di sekitarnya, Indah!











Perjalanan melelahkan sejak dari Bandung terbayar di sini. Hembusan angin yang disertai uap air menghilangkan penat kami, berganti kesegaran. Lokasi yang bersih karena curug ini memang jarang dikunjungi orang memberikan kami sesuatu yang berbeda. Terbebas dari hiruk pikuk aktifitas manusia, baik yang berwisata ataupun para pedagang dengan lapak-lapaknya diposisikan tepat berada di sekitar air terjun, serakan sampah dan perilaku-perilaku menyimpang lainnya yang akhirnya hanya merusak keindahan lokasinya itu sendiri. Di sini yang kami lihat dan rasakan hanyalah sebuah keindahan alam yang berada dalam kesunyian. Kami hanya ditemani gemuruh air terjun, suara-suara burung penghuni hutan dan pepohonan tinggi yang mengelilingi kami, sungguh eksotis. Padahal kami mengunjungi curug ini pada hari Minggu, tapi jarang sekali orang di sana. Kami hanya bertemu kurang dari 15 orang pada saat itu, di lokasi maupun di sepanjang perjalanannya, cukup mengejutkan mengingat lokasi curug ini yang tidak terlalu jauh jaraknya dari kota Ciwidey.

Bagi orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap hal-hal yang berbau mistis, kesunyian di tempat ini pasti akan menimbulkan nuansa berbeda dan akan menimbulkan pikiran-pikiran tentang hal-hal gaib. Tapi di luar itu, pesona curug Cipanji benar-benar memanjakan kita. Empat curug yang bersusun dengan airnya yang jernih dan udaranya yang sejuk membuat kita betah berlama-lama di sini, bahkan rasa dingin yang semula menyelimuti kami terkalahkan melihat godaan airnya yang jernih, jadilah kami semua berenang di curug keempat, yang berupa perosotan itu, meluncur ke dasarnya yang berupa cerukan lebar. Bagi kami, ini adalah sebuah waterboom alami, hasil karya alam yang menakjubkan.

Saatnya pulang, melihat siang yang semakin mendung membuat kami harus bergegas pulang, trek tanah yang masih basah bekas hujan hari sebelumnya siap menguji kemampuan kami bersepeda. Segera kami ambil sepeda dan menuntunnya kembali menuju ke atas lembah, ke trek yang akan membawa kami kembali ke perkebunan teh di bawah sana. Dan kesenangan pun dimulai, kami benar-benar menikmati naiknya adrenalin ketika meluncur dan meliuk-liuk melintasi trek menurun ini. Tidak terasa sampailah kami di trek makadam kembali, mengantarkan kami menuju jalan aspal kembali ke Ciwidey dan pulang ke rumah dengan membawa berjuta pengalaman mengesankan.

Sambil bercanda salah satu teman saya bilang, mudah-mudahan curug ini tidak terdeteksi oleh masyarakat lainnya maupun oleh pemerintah/ dinas pariwisata sehingga tidak akan ada pembangunan yang dapat mengubah kondisi alamnya, juga kemungkinan banyaknya wisatawan yang datang berwisata yang ditakutkan akan ikut menyumbang kerusakan di sekitar curug Cipanji. Sehingga suasana alam di sekitarnya akan tetap seperti apa adanya, dan curug Cipanji akan tetap berada dalam kedamaian dan kesunyiannya.         

MENJAJAL TREK XC SATE - BAJIGUR (CANTILAN - ALUN ALUN SOREANG)

Jalur-jalur atau trek bersepeda di seputaran Bandung memang sangat banyak dan variatif, mulai dari jalur aspal, cross country atau XC sampai trek downhill atau DH tersedia di kota kita tercinta ini. Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan salah satu trek bersepeda di kawasan Bandung Selatan yang berkategori  XC, yaitu trek “Sate-Bajigur”. Sedikit aneh memang namanya, nama trek ini sebenarnya adalah Cantilan - Jereged - Alun Alun Soreang, sesuai dengan rute yang dilewatinya. Saya sengaja mengambil nama kuliner tadi karena memang trek ini berhubungan erat dengan kedua kuliner tersebut. Trek ini mengambil start di dekat Rumah Makan Sate Cantilan Kecamatan Kutawaringin dan berakhir di depan lapak penjual bajigur depan Mesjid Agung Alun-Alun Soreang. Apabila kita memang berniat untuk menikmati hangat dan nikmatnya bajigur di akhir perjalanan, maka kita harus memulai perjalanannya pada siang hari sekitar pukul 14 wib karena pedagang bajigurnya baru mulai berdagang sekitar pukul 17 wib. Dengan estimasi waktu 4 jam, kita akan sampai di Alun-Alun Soreang pada petang hari sekitar pukul 18 wib. Artinya kita juga harus mempersiapkan perlengkapan untuk ber-night riding seperti lampu senter, karena kita akan gowes pulang menuju rumah masing-masing sekitar pukul 19 wib, sekaligus sebagai antisipasi apabila kita kemalaman sebelum mencapai finish point. 

Trek ini sangat variatif dan menantang fisik dan skill bersepeda kita, juga menawarkan keindahan alam Bandung Selatan dan sekitarnya yang dapat kita nikmati selama menjajal trek ini. Variatif dan menantang karena di sepanjang trek ini kita akan disuguhi banyak tanjakan yang cukup menguras tenaga, bukan hanya tanjakan jalur aspal, tapi kita juga akan menghadapi tanjakan jalur semen, makadam dan singel track tanah. Juga kita akan melewati beberapa turunan yang cukup curam. Dan satu variasi trek yang cukup unik di jalur ini adalah “jalur silet”, yaitu menyusuri dinding fondasi irigasi selebar kurang lebih 30 cm dengan panjang sekitar 150 m. Hanya memiliki 2 pilihan untuk melewatinya, yang kurang percaya diri lebih baik kita menuntun sepeda kita melewatinya, dan yang merasa sanggup mengendalikan keseimbangan kita bisa mencoba mengendarai sepeda kita melewatinya, dengan konsekuensi kalau kita kehilangan konsentrasi dan keseimbangan, siap-siap tercebur ke saluran irigasi.  

Perjalanan dimulai di sekitar Rumah Makan Sate Cantilan, begitu kita melaju kita langsung disambut tanjakan Cantilan, lumayan buat pemanasan. Dari ujung tanjakan Cantilan kemudian berbelok ke kiri masuk ke singel trek di pinggiran saluran irigasi, kita menyusuri trek ini sampai ke jalan desa di desa Jatisari. Setelah sekitar 15 menit kita melaju, kita berbelok ke kanan dari samping sebuah pesantren, menuju ke trek semen. Tapi sebelumnya kita harus melewati lagi satu tanjakan aspal, lolos dari tanjakan ini, kita mengatur napas sejenak karena sekarang akan memasuki tanjakan semen. 


Tanjakan selamat datang, sebelum masuk ke trek semen

Ini sebenarnya adalah sebuah gang sepanjang kurang lebih 300 m dengan lebar sekitar 1 m yang kondisinya menanjak membelah perkampungan dan persawahan. Bisa dikatakan ini adalah ujian pertama dari fisik dan skill bersepeda dari keseluruhan perjalanan kita, membagi kemampuan fisik, konsentrasi dan handling bersepeda ketika melewatinya. Tantangan akan semakin berat ketika jalur ini dalam keadaan basah terkena hujan.

Trek semen..padahal nanjak nih

masih nanjak

Setelah melewati trek ini, tujuan kita selanjutnya adalah singel trek Pasir Jereged. Dari ujung gang kita mengambil arah ke selatan, kita akan menaklukkan lagi beberapa tanjakan sebelum kita sampai di ketinggian Pasir jereged. Di Pasir Jereged kita beristirahat di sebuah lapangan, kembali mengatur nafas sambil menikmati indahnya pemandangan kota Bandung dan sekitarnya. Pesawahan mengampar luas, terlihat di kejauhan sungai Citarum Lama berkelok-kelok di antara bukit-bukit, sedikit mengarahkan pandangan ke arah barat laut sosok gunung Lalakon yang belakangan menjadi perbincangan hangat kokoh berdiri, di kejauhan berderet pegunungan dari utara bersambung ke timur seperti memagari kota bandung. Sungguh menyegarkan, cukup untuk mengembalikan stamina dan semangat kita menyelesaikan trek ini.    

Setelah tenaga kembali pulih perjalanan dilanjutkan menuju puncak Pasir Jereged, 

Suasana di puncak Pasir Jereged


untuk kemudian menikmati turunan singel trek menuju Desa Cibodas kecamatan Kutawaringin. Ketika melihat turunan seketika kita tergoda memacu sepeda menuruninya, tetap jaga konsentrasi ketika menuruninya, karena di trek menurun ini sudah banyak goweser jatuh tersungkur, bahkan ada yang sampai terluka.

Menikmati turunan


Masih di ketinggian, di trek menurun itu kita bisa berhenti sejenak di sebuah tempat peristirahatan berupa saung bambu yang posisinya menghadap ke arah selatan, sawah terhampar di bawah kita dikelilingi bukit-bukit, sangat indah. Di kejauhan terlihat juga kota Soreang, sedikit kontradiksi dengan pemandangan di pesawahan depannya. Perjalanan turun dilanjutkan kembali, bagi goweser yang memiliki skill bersepeda mumpuni bisa kembali memacu sepedanya dan melakukan sedikit cornering di beberapa tikungan menjelang akhir singel trek ini. Ujung singel trek in adalah jalan aspal yang membawa kita ke jalan desa cibodas menyusuri persawahan sebelum akhirnya kembali menyusuri trek saluran irigasi berikut “jalur siletnya”. 


Jalur silet...buat yang mau menguji nyali


Kurang lebih 10 menit kita melaju, kita akan masuk ke singel trek di saluran irigasi. Kembali konsentrasi harus dijaga selama melalui trek ini sebab di samping kita adalah saluran irigasi dengan kedalaman 1 m. terus kita menyusurinya, akhirnya kita akan bertemu dengan “trek silet”. 

Jalur yang tersedia disini hanyalah bantaran dinding fondasi saluran irigasi dari semen selebar kira-kira 30cm, di kanan kita adalah saluran irigasi dan di sebelah kiri kita adalah adalah tanah yang ditumbuhi rumput tebal yang menjadi batas antara saluran irigasi dengan tebing penyangganya. Yang bernyali bisa mencoba mengendarai sepeda kita menyusurinya, sambil berharap tidak terpeleset dan terjatuh ke arah kanan, tercebur ke saluran irigasi. Atau cara teraman adalah menuntun sepeda kita untuk melewatinya. Dari saluran irigasi kita akan menuruni tebing menuju persawahan, dan kita akan kembali masuk ke jalan aspal menyusuri persawahan kembali menuju trek saluran irigasi yang berujung di jalan aspal disambung makadam menanjak menuju kampung Sinday.


Tanjakan sebelum makadam jahanam


Fisik kita kembali diuji untuk menaklukkan jalan aspal dan makadam menanjak curam sepanjang kurang lebih 500m. Kami menjuluki tanjakan ini makadam jahanam karena begitu sulitnya menaklukkan tanjakan ini. Ini adalah ujian terakhir fisik kita menjelang akhir perjalanan.


Makadam jahanam

Di kampung Sinday di ujung tanjakannya kita akan menemui perempatan, mengambil jalan lurus akan langsung mengantar kita menuju leuwi munding, akhir dari perjalanan kita. Tapi kita akan mengambil belokan ke kiri kembali masuk singel trek menanjak di antara rumpun-rumpun bambu dan semak-semak untuk menemui bonus terakhir dari perjalanan kita yaitu mencicipi nikmatnya turunan mini DH ini. Sehabis menikmati trek menurun ini kita kemudian menuju kampung Leuwi Munding. Setelah kira-kira 15 menit kita melaju sampailah kita di pertigaan Leuwi Munding - Alun Alun Soreang, ini artinya adalah akhir dari perjalanan kita. Kita akan menuju finish point kita di Alun-Alun Soreang, tepatnya di depan Mesjid Agung Soreang dimana pedagang bajigur tersebut berada. Dan akhirnya perjalanan kita akan ditutup oleh nikmat dan gurihnya segelas bajigur hangat, sambil dinikmati bersama beberapa potong gorengan yang disiram sambal oncom pedas.



Imbalan yang sepadan setelah kita menghabiskan tenaga menggowes sepeda kita sejak pukul 14 menyusuri trek ini. Puas beristirahat sambil menikmati bajigur dan gorengan, badan kembali segar, siap untuk ber-night riding menempuh Jalan Raya Soreang kembali ke rumah kita masing-masing. 

Dimuat di harian PR edisi 11 Maret 2012