Kawasan Pangalengan
di Bandung Selatan yang berada di dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata ±1500mdpl,
dihiasi dengan jejeran perbukitan di sekelilingnya menawarkan pemandangan yang
indah dan eksotis dan masih sangat alami. Keindahannya mengundang banyak
wisatawan datang berkunjung ke sana, banyak obyek wisata terdapat di
pangalengan, seperti Situ Cileunca, pemandian air panas Cibolang dan lain-lain.
Belum lagi hamparan perkebunan teh milik PTPN VIII yang sangat luas menawarkan
beragam atraksi wisata yang sangat menarik seperti outbond, teawalk, hiking dan bersepeda. Bersepeda adalah kegiatan
yang akan saya bahas karena kebetulan saya sempat beberapa kali merasakan
sensasi yang luar biasa menantang dan menyenangkan saat bersepeda cross country/ XC di kawasan perkebunan
teh Pangalengan.
Salah
satu lokasi yang sangat menantang dan menarik untuk melakukan kegiatan
bersepeda, salah satunya berada di sekitar Perkebunan Kertamanah PTPN VIII,
mulai dari pintu masuk dari daerah Elos sampai ujung jalan aspal di lereng
utara Gunung Wayang terbentang jalan mulus menanjak dan menurun membelah
perkebunan teh, siap untuk ditaklukkan oleh para goweser onroad dan pencinta uphill. Belum
lagi suguhan tanjakan dan turunan-turunan ekstrem di trek-trek offroad siap memanjakan para goweser offroad penyuka trek XC dan XC trail.
Setelah sebelumnya saya menjajal
eksotisme trek XC Kertamanah – Situ Cisanti – Malabar, rute gowes saya kali ini
sepenuhnya menyusuri perbukitan di sekitar perkebunan Kertamanah, dengan
mengambil start di daerah Campaka, sekitar 250 m sebelum pabrik pengolahan teh Perkebunan
Kertamanah, dan finish di kampung Bojong Waru , sekitar 500 m sebelah timur
jalan raya Bandung Pangalengan, dengan jarak tempuh sekitar 16 km. Kondisi trek
90 % single trek tanah dan makadam, dan 10 % jalan makadam dan jalan aspal.
Komposisi trek sekitar 30% tanjakan dan 70% turunan, titik tertinggi dari jalur
ini berada di ketinggian ±1770 mdpl. Tantangan pertama yang harus dihadapi
sekaligus “ucapan selamat datang” di awal trek ini, sesaat setelah meninggalkan
daerah Campaka adalah single trek
menanjak curam yang cukup panjang, membelah hamparan pohon-pohon teh, di
tanjakan pertama ini beberapa goweser sudah langsung kewalahan menaklukkannya,
dan lebih memilih untuk ber-TTB menuntaskan tanjakan di tengah pepohonan teh
ini. Tiba di ujung tanjakan ini rupanya tantangan belum berakhir, di depan saya
tanjakan panjang masih menghadang, demi menghemat tenaga, saya beristirahat
sejenak di ujung tanjakan pertama sambil mengabadikan perjuangan kawan-kawan
yang tengah bersusah payah menuntaskan tanjakan selamat datang ini. Perjalanan
dilanjutkan kembali, saya pun kembali berjuang dengan susah payah menaklukkan
tanjakan ini meskipun harus beberapa kali berhenti untuk menarik nafas, dan
akhirnya saya bisa sampai juga di ujung “tanjakan selamat datang” ini.
Ujung
dari tanjakan ini adalah sebuah perempatan, lurus dan kembali menanjak
menyusuri ladang-ladang akan membawa kita menuju hutan, ke arah timur adalah
bagian dari singel trek rute Curug Panganten (yang akan saya bahas di tulisan
saya berikutnya), dan arah yang akan saya tuju adalah turunan yang mengarah ke
utara. Bertemu turunan, artinya adalah mengobati rasa lelah sehabis menaklukkan
tanjakan tadi, segera saja saya dan kawan-kawan meluncur menuruninya, menikmati
naiknya adrenalin ketika sepeda kita dengan kecepatan tinggi melewati turunan
ini. Ujung dari turunan ini adalah sebuah sungai, dan trek yang dihadapi
berikutnya adalah tanjakan yang agak “bersahabat”, dan tanjakan ini berakhir di
jalan aspal yang akan mengantarkan saya menuju singel trek berikutya yang tidak
kalah menantang. Ternyata sang pemandu sengaja membawa saya dan kawan-kawan
sedikit memutar dengan tujuan memang untuk memberikan ucapan selamat datang
kepada kami. Jaraknya menjadi lebih jauh, tapi menurut saya trek yang memutar
ini menjadi lebih berkesan dibandingkan dengan harus menyusuri jalan aspal
menanjak dari Campaka menuju singel trek berikutnya, yang titik awalnya berada
di ketinggian ±1770 mdpl, sekaligus menjadi titik tertinggi dari keseluruhan
rute ini.
Jalan aspal
menanjak sejauh sekitar 500 m harus dilalui untuk mencapai titik pemberhentian
berikutnya ini cukup berat, tapi sajian pemandangan yang sangat indah membuat
perjalanan menempuh jalan menanjak ini menjadi tidak terlalu berat, sebelum
saya kembali menghadapi turunan panjang dan menantang, disertai beberapa obstacle yang cukup menguji skill dan mental. Akhirnya sampailah
saya di sebuah pertigaan, kemudian berbelok ke kiri memasuki sebuah dataran
yang agak luas. Di titik ini, pemandangan yang tersaji sangat indah, bagus juga
sebagai tempat beristirahat, dan berfoto-foto, sambil menunggu kawan-kawan yang
lain yang masih berjuang menuntaskan jalan aspal menanjak tadi. Di hadapan saya
terlihat Situ Cileunca yang berlatar perkebunan teh Riung Gunung dan jejeran
perbukitan Cagar Alam Gunung Tilu, hamparan perkebunan teh Malabar, Kertamanah,
pipa-pipa gas penyalur panas bumi terlihat meliuk-liuk di sela-sela perbukitan
dan pepohonan teh, hembusan uap berhembus tanpa henti dari PLTP Wayang Windu yang
terlihat seperti menempel di dinding lereng Gunung Wayang, cantik sekali,
sebuah sajian landscape yang begitu
indah dan sempurna. Satu persatu kawan-kawan tiba di peristirahatan ini,
setelah beristirahat sambil tidak lupa mengambil beberapa foto kami pun
melanjutkan perjalanan menuju trek menurun berikutnya. Trek yang saya hadapi
selanjutnya ini sangat menantang dan menguji keahlian kita mengendalikan sepeda,
yang pertama dilalui adalah trek bergelombang, dengan konsentrasi tinggi, cukup
asyik juga melewatinya dengan kecepatan sedang, trek berikutnya adalah sebuah
trek yang saya namai “walungan saat” atau sungai kering, trek ini sebenarnya
mengasyikkan, ada berm (belokan
tajam), dilanjutkan dengan turunan panjang. Tapi karena gerusan air hujan
membuat tanah di sebagian trek ini terkikis dan hanya menyisakan ceruk-ceruk
dalam dan batu-batu cukup besar mencuat di permukaan, butuh handling yang prima untuk melewatinya,
beberapa kali saya harus menuntun sepeda melewati ceruk yang dalam atau
melewati batu yang lumayan besar. Beberapa teman ada yang terjungkal karena ban
depan sepedanya terkunci karena tidak bisa melewati batu atau ceruk tadi, cukup
melelahkan menyelesaikan trek ini.
Perjuangan
menuruni trek walungan saat ini tidak
sia-sia, karena yang akan dihadapi berikutnya adalah singel trek turunan
panjang nan mulus, payback time.
Inilah kesempatan saya untuk mengganti semua rasa kesal setelah sebelumnya
menempuh trek aspal menanjak dan merayap trek walungan saat, sepeda pun segera dipacu menuruni turunan ini. Ujung
dari turunan ini adalah adalah sebuah pertigaan dan lapangan kecil, ke arah
kiri akan membawa kita ke jalan aspal Pangalengan – Kertamanah, jalur yang
diambil adalah kembali sebuah turunan dan sedikit tanjakan menuju sebuah makam
tua yang dipayungi pohon beringin besar. Setelah re-grouping di pertigaan tersebut, kembali perjalanan dilanjutkan
menuju makam tua tadi. Makam ini berada di sebuah bukit kecil tepat di belakang
mess/ rumah dinas administratur perkebunan Kertamanah, di makam ini kami
kembali berhenti sejenak untuk melihat makam ini. Makam ini adalah makam
seorang Belanda administratur perkebunan
Kertamanah bernama Gerard Alfred Cup, dari nisannya tertera beliau ini lahir
tahun 1911 dan wafat tahun 1973. Setelah sejenak melihat-lihat makam ini,
perjalanan kembali dijanjutkan, sebuah pemandangan yang sangat menawan
menyambut saya dan kawan-kawan, singel trek mendatar di di tengah-tengah
hamparan perkebunan teh berlatar Gunung Tilu siap memanjakan kami, sebuah
turunan panjang kembali menyambut, dan sepeda-sepeda pun meluncur melahap
turunan yang sangat mengasyikkan ini, meskipun ada insiden seorang teman yang
terjun ke sungai yang posisinya sekitar
3 m di bawah trek yang dilalui, cukup mendebarkan juga.
Setelah
memastikan semuanya baik-baik saja, kami semua kembali mengayuh sepeda, kembali
menuju sebuah turunan panjang yang berakhir di sebuah pertigaan. Berbelok ke
kanan menuju jalan aspal kampung Cinyiruan, sedangkan ke kiri menuju makadam
menanjak masuk kembali ke hamparan perkebunan teh menuju sebuah tempat yang
dinamakan oleh para penduduk sekitar dengan sebutan “saung koboy”, disanalah
spot berikutnya yang akan dituju, untuk beristirahat dan membuka bekal makan
siang. ¾ perjalanan sudah terlalui, tinggal ¼ perjalanan lagi menuju titik
finish di kampung Bojong Waru. Nikmat sekali rasanya menikmati makan siang
sambil memandang hamparan perkebunan teh sejauh mata memandang.
Setelah satu
jam beristirahat dan makan siang, waktunya saya dan kawan-kawan menghabiskan
sisa perjalanan ini, trek di hadapan saya adalah makadam yang berada di ujung
perkebunan teh, yang berbatasan dengan ladang penduduk. Dengan sisa tenaga saya
melewati trek makadam ini, untuk menyambut singel
trek turunan terakhir dari keseluruhan trip ini, berhubung hari sudah
beranjak sore, tidak berlama lama saya pun langsung melahap turunan ini, dan
ujung dari turunan ini adalah sebuah sungai kecil, dan di seberangnya adalah singel trek menanjak plus monorail cukup dalam langsung menyambut
dan mengantarkan saya menuju titik finish
di kampung Bojong Waru.
Setelah re-group dan beristirahat sejenak di
kampung bojong waru, perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan beton menurun
menuju kampung Elos, di jalan raya Pangalengan
- Bandung. Selanjutnya satu per satu
sepeda dipacu, dan meluncur menikmati bonus terakhir, jalan aspal mulus menurun
sepanjang 20km menuju kecamatan Banjaran, dan akhirnya kembali mengayuh sepeda
menuju rumah masing-masing.