Destinasi gowes
saya berikutnya di Tasikmalaya adalah Curug Ciparay, terletak di lereng barat gunung
Galunggung, tepatnya di kampung Parentas desa Cidugaleun kecamatan Cigalontang kabupaten
Tasikmalaya, berjarak sekitar 15 km dari ibu kota Tasikmalaya, Singaparna. Lokasi
wanawisata air terjun kembar ini berada di ketinggian 860 mdpl, masuk ke dalam
wilayah BKPH Singaparna dan KPH Tasikmalaya. Curug pertama memiliki debit air
sangat besar sedang curug yang satu lagi memiliki debit tidak begitu besar
sehingga kita bisa mendekat hingga ke kolam penampungan airnya.
Curug Ciparay |
Awal Desember
2016 trip ini direalisasikan. Pukul 08 pagi sepeda mulai meluncur menuju alun – alun Singaparna, seperti pada
gowes sebelumnya, tidak banyak pesepeda yang saya temui, jauh berbeda dengan di
Bandung yang selalu ramai oleh para pesepeda di setiap Minggu pagi. Dari alun
alun sepeda diarahkan ke utara menuju jalan Leuwisari, masih juga tidak banyak
ditemui para goweser, padahal menurut info yang saya dapat biasanya hari Minggu
banyak yang gowes ke Curug Ciparay.
Matahari tidak
begitu terik pagi itu membuat kayuhan menjadi bersemangat. Lepas dari Leuwisari
menuju desa Sariwangi masih belum ditemui tanjakan - tanjakan yang dapat
membuat lutut goyah, hanya beberapa tanjakan landai yang masih bisa dilalui
dengan mulus. 8 km lepas dari Singaparna barulah saya menemui tanjakan yang
akhirnya mampu membuat nafas tersengal dan keringat bercucuran, ini ternyata
adalah tanjakan pembuka sebelum akhirnya saya dipaksa untuk melahap tanjakan –
tanjakan berikutnya yang lebih kejam. 2 km lepas dari tanjakan tadi saya tiba
di jembatan Cidugaleun sepanjang ±100
m dengan sungai yang berair cukup deras di bawahnya, sungai ini berasal dari Curug
Ciparay, saya semakin penasaran sebesar apakah Curug Ciparay, melihat derasnya
air di sungai ini.
Tanjakan menyambut selepas jembatan Cidugaleun |
Jembatan Cidugaleun berlatar gn. Galunggung |
Sejenak saya
beristirahat dan berfoto – foto, dengan latar gunung Galunggung membuat
pemandangan di sekitar jembatan menjadi eksotis. Sambil mengumpulkan tenaga
karena di depan sudah menghadang satu tanjakan lagi yang kelihatannya cukup
panjang. Pedal kembali dikayuh, sejenak melihat peta di handphone, ternyata cukup panjang juga jalan menanjak ini, hampir
1,8 km dengan elevasi sekitar 85 m. Ternyata desa Cidugaleun ( ±680 mdpl) adalah akhir
dari jalan ber-hotmix mulus,
berikutnya ban sepeda harus menginjak jalan yang sebagian besar kondisinya
sudah hancur. Komplit sudah, dengan stamina yang sudah menurun dihadapkan pada
jalan menanjak sekaligus rusak. Gowes semakin melambat, ritme kayuhan dan handling sepeda diatur sedemikian rupa
supaya sepeda tetap melaju. Jarak 900 m ditempuh hampir 15 menit, saya tiba di
sebuah jembatan lagi, di atasnya terdapat spanduk besar bertuliskan “WANA
WISATA CURUG CIPARAY 3 KM”. Tanjakan curam menanti di hadapan, susah payah
sepeda dikayuh melewatinya. Sejenak saya berhenti mengatur nafas dan melemaskan
otot kaki yang mulai keram. Sepeda saya tuntun sejenak menuju jalan yang agak
datar, kondisi jalan sedikit membaik, perlahan sepeda kembali melaju dan saya
memutuskan untuk berhenti di sebuah warung. Menurut pemilik warung, kampung
tempat saya istirahat ini bernama kampung Pasir Pari, berada di ketinggian ±831 mdpl. Berarti dari
jembatan tadi saya gowes dengan elevasi sekitar 142 m dan jarak 1,9 km namun
memakan waktu hingga 45 menit. Dari sini ke lokasi curug sekitar 1,8 km lagi, dan
dari gerbang tiket menuju titik air terjun kita harus menuruni jalan setapak
sejauh sekitar 450 m.
Pukul 11.15 saya
kembali melanjutkan perjalanan, selepas warung saya mendapatkan bonus jalan
mendatar cenderung menurun. Di sebelah utara menjulang gunung Galunggung, sedang
di hadapan saya gunung Karacak sedikit tertutup kabut. Jalan menurun ini mengantarkan
saya menuju satu jembatan lagi, dari sini jalan sudah sepenuhnya hancur, jalan
makadam menanjak harus ditempuh untuk sampai ke lokasi curug. Dengan terengah
engah dan beberapa kali beristirahat akhirnya pada pukul 11.45 sampailah saya
di lokasi wanawisata Curug Ciparay. Di bawah sana terlihat dua curug kembar
dengan debit air cukup besar, setelah membayar tiket seharga Rp. 5.000,- sepeda
saya bawa masuk dan dititipkan di warung, karena dengan kondisi jalan setapak menurun
ditambah stamina yang sudah melemah tidak memungkinkan saya untuk membawa
sepeda mendekati lokasi curug. Posisi warung – warung berada di ±860m, berada di atas lembah dengan view menghadap ke sisi barat gunung Galunggung,
posisinya seperti diapit oleh gunung Galunggung dan gunung Karacak. Jalan
makadam ini kabarnya tembus ke daerah Wanaraja kab. Garut, dan kampung terdekat
dari curug ini adalah kampung Parentas, lain waktu rasanya ingin mencoba gowes
ke kampung Parentas dan pulang ke arah Garut.
Perjalanan
dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Curug Ciparay (±778 mdpl), meskipun tenaga sudah hampir habis, tapi
rasa penasaran untuk melihat lebih dekat Curug Ciparay membuat saya kembali
bersemangat. Dan pukul 12.20 sampailah saya di mulut air terjun , dua curug
besar menyambut dengan hempasan angin bercampur titik titik air menerpa tubuh,
debit air sangat besar yang jatuh inilah yang menyebabkan angin tersebut. Di
tengah keajaiban alam ini, saya merasa sangat kecil, hanya rasa takjub meliputi
saat menyaksikan kemegahan Curug Ciparay, pesona curug kembar yang memiliki
ketinggian 75m dan 55 m ini membuat saya tidak mampu berkata apa – apa lagi.
Hanya sekitar 10
menit berada di lokasi curug, saya harus segera kembali ke atas mengingat
perjalanan pulang yang masih harus ditempuh, ditambah kondisi fisik yang sudah
melemah, pasti akan membuat perjalanan pulang akan sama menyiksanya. Tertatih
saya menuju ke warung tempat sepeda dititipkan, beberapa kali berhenti menarik
nafas dan melenturkan otot kaki yang nyaris keram. Setibanya di warung segera
saya menyantap makanan ringan untuk mengganjal perut dan mengisi kembali tenaga
untuk saya pulang. Dan tepat pukul 13.15 saya meninggalkan Curug Ciparay,
sepeda kembali menyusuri jalan makadam bersambung jalan hotmix mulus, menikmati turunan
- turunan panjang hingga ke kota Singaparna.
No comments:
Post a Comment