Thursday, August 7, 2014

GOWES WISATA CURUG BUNIAGUNG, GUA JEPANG DAN SITUS GUNUNG SADU SOREANG


Gowes di kawasan Soreang kali ini agak berbeda dari trip – trip gowes sebelumnya yang lebih kepada menjelajahi trek – trek XC baik yang uphill maupun downhill, trip gowes kali ini kami akan mengunjungi daerah Sadu untuk mengunjungi situs gunung Sadu yang terkenal dengan fenomena geomagnetiknya dan serta situs gua Jepang, yang lokasinya tidak jauh dari gunung Sadu. Di Soreang seorang teman goweser setempat yang juga seorang penggiat kegiatan alam bebas memberikan tambahan rute berikut satu objek wisata menarik yaitu curug Buniagung sebelum menuju tujuan awal kami ke gunung Sadu. Bagi saya yang cukup sering gowes di seputaran Soreang awalnya cukup terkejut ketika mendengar bahwa di daerah Soreang masih ada keindahan yang tersembunyi di tengah – tengah gencarnya pembangunan ibu kota kabupaten Bandung ini, bahkan lokasinya tidak jauh dari pusat kota Soreang. Tanpa berpikir lama kami langsung menyambut ajakan teman tadi, maka jadilah trip kali ini menjadi trip wisata curug Buniagung, gua jepang dan berakhir di situs gunung Sadu.

Setelah regrouping di jalan raya Citaliktik, sekitar pukul 08.30 kami bergerak ke arah barat menyusuri jalan Citaliktik di tengah cuaca pagi yang cerah menuju kampung Panyirapan. Tidak butuh waktu lama sampailah kami di sebuah persimpangan, tujuan kami adalah ke arah barat. arah selatan dari persimpangan ini adalah arah menuju trek uphill Sukanagara – Cimonce. Kali ini perjalanan kami ditemani pemandangan gunung Sadu tepat di hadapan kami, seakan mengucapkan salam selamat datang dan bersiap menyambut kami ketika mengunjunginya. Kami kembali bertemu dengan sebuah persimpangan, kemudian kami berbelok ke arah selatan menuju kampung Padasuka, dan dari sinilah baru kami bertemu dengan tanjakan, belum begitu curam tanjakan ini, tapi karena hari sudah sangat panas, gowesan kami melewati tanjakan ini cukup memeras keringat juga. Di ujung tanjakan selamat datang ini kami berhenti di sebuah warung, sekedar mendinginkan suhu tubuh setelah disengat matahari sejak dari titik start di Citaliktik ditambah dengan suguhan tanjakan selamat datang tadi. Dari sini kami berunding tentang rute yang akan diambil, dan diputuskanlah kami akan mengambil rute Legok Jampang, curug Buniagung, kemudian menuju kampung Cijengkol dengan bonus sekitar 1 km jalur offroad dan jalan aspal menurun menuju situs gua jepang dan puncak gunung Sadu. 

Pukul 10 kami kembali bergerak menuju kampung Legok Jampang, dan ternyata selepas warung ini kami bertemu dengan tanjakan yang semakin aduhai. Satu tanjakan berhasil dilewati, namun di depan satu tanjakan lagi telah menanti, lebih panjang dan lebih curam, untunglah ini adalah tanjakan terakhir sebelum menuju spot pertama kami curug Buniagung. Di ujung tanjakan kami berhenti di sebuah tempat yang cukup bagus untuk beristirahat, tempatnya cukup nyaman dan teduh karena dipayungi dua pohon Gamelina besar. Dari sini tersaji pemandangan yang cukup menakjubkan. arah utara kami adalah hamparan kota Soreang dan sekitarnya, di kejauhan terlihat deretean pegunungan Burangrang, Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul dan Manglayang. Tepat di hadapan kami gunung Sadu (911 mdpl) tegak berdiri dengan berselimut rerimbunan pohon – pohon bambu. Di kiri kami terhampar beberapa gunung, mulai dari gunung Singa, gunung Aul, Kutawaringin, gunung Buleud dan di belakangnya sang piramida gunung Lalakon berdiri dengan anggun. 

Cukup lama kami beristirahat di tempat ini, mengatur nafas mengembalikan stamina sambil menikmati sajian pemandangan indah yang tersaji di hadapan kami, tentu saja sambil tidak lupa mengambil beberapa foto, mengabadikan keindahan yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Setelah 15 menit kami beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju curug Buniagung. Di tengah perjalanan, tepat di kampung Legok Jampang kami mengunjungi  sebuah tempat peristirahatan yang cukup asri dan nyaman dengan bangunan – bangunan tradisional terbuat dari bambu. Di sekeliling tempat ini cukup teduh karena dipayungi aneka pepohonan rindang. Tampaknya tempat ini bisa juga dijadikan sebagai destinasi wisata di akhir pekan sekedar untuk “melarikan diri” sejenak dari hiruk pikuknya kehidupan kota. 

Kami tidak berlama – lama di tempat ini karena tujuan pertama kami adalah curug Buniagung, yang berjarak kurang dari 300 m dari tempat ini. Sekitar 100 meter kami meninggalkan tempat tadi, sepeda kemudian berbelok ke kanan menuju sebuah jalan setapak menuruni lembah. Inilah rupanya jalan masuk menuju curug Buniagung, di ujung jalan setapak terdapat sebuah jembatan bambu yang menghubungkan jalan setapak tadi dengan jalan kecil yang telah dilapisi semen di seberang sungai. Tepat di bawah jembatan inilah curug Buniagung berada, namun untuk mencapai lokasi curugnya kami harus melewati kembali sebuah jalan setapak menuju bibir air terjun. Di sebuah persimpangan, sepeda kami simpan dan kami lanjutkan dengan berjalan kaki menuju lokasi curug karena kondisi jalan setapak yang tidak mungkin bisa dilalui oleh sepeda. Tidak sampai 10 menit akhirnya sampailah kami di curug Buniagung. Curugnya lumayan tinggi, sekitar 10 m dan berair cukup deras. Sangat berbeda dengan curug Cangkring di daerah Jelekong yang pernah kami kunjungi sebelumnya yang lebih mirip shower alami karena debit airnya yang sangat kecil, padahal dengan gambaran lokasi yang hampir serupa, tersembunyi di dekat keramaian.    

Seperti biasa, kami pun segera mengambil posisi terbagus untuk berfoto-foto , namun niat untuk mandi dan bermain air di sini sejenak dikesampingkan dulu, berhubung kami masih harus melanjutkan perjalanan yang masih cukup jauh menuju lokasi selanjutnya yaitu gua jepang dan puncak gunung Sadu. Setelah puas berfoto-foto dan menikmati suasana curug Buniagung, sekitar pukul 11.15 kamipun beranjak meninggalkan lokasi curug menuju tempat sepeda tersimpan. Di persimpangan dekat lokasi penyimpanan sepeda, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki sebuah gang kecil menanjak ke arah barat. puluhan anak tangga dan kondisi jalannya yang licin karena lembab dan berlumut siap menguji fisik kami. Benar saja, kondisi gang yang menanjak dan licin ini sangat menyulitkan untuk melangkah, apalagi dengan menuntun sepeda, butuh perjuangan ekstra untuk melaluinya. Tiba di ujung gang jalan semen berubah menjadi jalan setapak, posisinya cukup tinggi, sehingga jalan yang tadi terlewati di kampung Legok Jampang terlihat berada di bawah. Juga terlihat kawasan perbukitan daerah Sukanagara, yang sebagian besar bukitnya sudah hancur dipapas untuk dijadikan perumahan.

Tidak banyak berhenti ketika menyusuri jalan setapak ini, pun ketika kami sampai di ujung jalan setapak ini, karena masih ada 2 destinasi lagi yang harus kami kunjungi. Kami bergegas meninggalkan jalan setapak ini menyusuri jalan aspal menuju gunung Sadu. Sekitar pukul 12 siang kami tiba di sebuah persimpangan di kampung Cijengkol. Kami arahkan sepeda menuju ke utara menuju situs gunung Sadu, namun sebelum sampai ke sana, kami akan mengunjungi dulu gua jepang yang lokasinya ada di dekat gunung Sadu. Sekitar 50 m sebelum tempat parkir situs gunung Sadu, sepeda kami simpan, dan kami berjalan mengarah ke barat menuruni sebuah bukit kecil. Tepat di kaki bukit, di dekat pemakaman umum kami menemukan sebuah lubang kecil,yang hanya bisa dimasuki dengan berjalan jongkok. Awalnya kami tidak menyangka itu adalah mulut sebuah goa, tapi teman yang sudah lebih dulu mengetahui tempat ini terus meyakinkan kami, bahkan dia lebih dulu masuk ke mulut gua. Didorong rasa penasaran akan rupa di balik mulut gua yang sangat sempit itu, kami pun satu persatu masuk ke sana. Dan benar juga ternyata, di balik mulutnya yang sempit, ternyata di dalamnya adalah sebuah gua yang cukup besar dan lumayan panjang. Tingginya sekitar 1,2 m dengan panjang gua sekitar 15 m, di ujung gua bagian dalam, terdapat bekas longsoran, tampaknya sebuah longsoran menutupi ujung gua itu sehingga menjadi buntu. Hal yang sama terjadi di mulut gua, longsoran tanah menyebabkan mulut gua mengecil bahkan hampir menutupinya. Menurut teman saya yang mendapat cerita dari masyarakat sekitar sini, gua ini adalah satu dari 5 gua yang ada di sekitar gunung Sadu yang dibuat pada jaman pendudukan jepang. Tampaknya trip gowes berikutnya harus mengagendakan untuk menyusuri 5 gua jepang di sekitar gunung Sadu ini, cukup menarik juga. 

Setelah puas menikmati suasana gua, kami kembali ke atas, melanjutkan perjalanan menuju situs gunung sadu. Jalan aspal berakhir di sebuah tempat parkir di dekat sebuah lapangan bola. Di sekitar tempat parkir tampak beberapa bangunan, sepertinya untuk pengunjung situs ini. Hanya sangat disayangkan kondisi bangunan – bangunan tersebut sangat memprihatinkan, kotor dan tidak terurus. Kembali sepeda kami simpan, kami titipkan di sebuah warung, dan perjalanan menuju puncak gunung Sadu dilanjutkan dengan berjalan kaki. Setelah menyusuri samping lapangan bola, kami memasuki jalan setapak menanjak di tengah rerimbunan pohon – pohon bambu. Sejuknya suasana sedikit mengobati rasa lelah menyusuri jalan menanjak menuju puncak gunung sadu. Setelah 10 menit berjalan, sampailah kami di puncak gunung Sadu (911 mdpl). 

Di puncaknya yang cukup luas terdapat beberapa gundukan batu – batu besar dan bale – bale bambu yang digunakan para pengunjung untuk beristirahat. Konon katanya di gundukan – gundukan batu besar itulah terdapat fenomena geomagnetik yang cukup kuat, sehingga dapat mengacaukan arah kompas, sayang saat itu kami tidak membawa kompas sehingga tidak dapat membuktikan secara langsung fenomena tersebut. Hanya melalui cerita beberapa orang yang sedang duduk di batu – batu besar, menurut mereka duduk di batu – batu itu menjadi semacam media untuk terapi pengobatan. Mungkin saja gelombang geomagnetik yang kuat di sekitar batu itu memberikan semacam energi positif bagi tubuh sehingga dapat menjadi terapi bagi penyakit yang mereka derita, entahlah. Kami harus menanyakan kepada orang yang ahli untuk bisa mendapatkan penjelasan lebih lengkap tentang fenomena ini. 30 menit kami berada di puncak gunung Sadu, hari semakin beranjak siang, sekitar pukul 14 siang kami pun beranjak meninggalkan puncak gunung Sadu menuju tempat sepeda dititipkan. Setelah regrouping, satu persatu sepeda meninggalkan situs gunung Sadu menuju kota Soreang melalui jalan Cijengkol yang menurun sampai ke jalan raya Sadu, setelah kembali regrouping kami pun mengayuh sepeda masing – masing pulang menuju bandung. Di belakang kami gunung Sadu berdiri dengan anggun, dengan segala cerita, fenomena dan misterinya, melepas kami pulang. 

No comments:

Post a Comment