Setiap hari saya menyaksikan pemandangan di seputar Bandung yang dikelilingi pergunungan di
segala penjurunya. Sebagai seorang yang suka jalan - jalan, terkadang
terselip juga rasa penasaran bagaimana rasanya mendatangi gunung-gunung yang
mengelilingi Bandung dan menjejakkan kaki di puncaknya. Gunung – gunung di Bandung
elevasinya tidak terlalu tinggi memang bila dibandingkan dengan gunung – gunung
yang sudah pernah saya datangi, terutama yang ada di luar jawa barat, namun
kenyataan bahwa gunung – gunung ini berada di kota tempat saya besar membuat
ada rasa ingin tahu lebih dekat dengannya. Setelah sekian lama menahan
keinginan mendatangi gunung – gunung Bandung, karena ketidaktahuan saya
terhadap kondisi alam dari gunung – gunung tersebut, membuat saya penasaran
untuk mulai mencari tahu tentang gunung – gunung Bandung di dunia maya, dan
aktifitas di dunia maya tersebut akhirnya membawa saya mengetahui dan mengenal sebuah
komunitas yang secara khusus beraktifitas menjelajahi gunung – gunung di
sekitaran Bandung dan daerah – daerah lain yang berbatasan langsung dengan
kawasan Bandung Raya.
Adalah komunitas
Jelajah Gunung Bandung atau JGB, dan dari komunikasi saya dengan komunitas ini saya
bisa mengetahui bahwa mereka masih aktif sampai saat ini mengadakan kegiatan hiking ke gunung – gunung Bandung. Dari
beberapa obrolan dengan komunitas ini saya mendapatkan kesimpulan bahwa salah
satu keistimewaan hiking menjelajahi
gunung – gunung Bandung adalah durasinya yang tidak terlalu lama. Kegiatan
mendaki gunung Bandung kebanyakan bisa dilakukan dalam 1 hari saja, sangat
cocok dengan kondisi saya yang sudah tidak bisa lagi beraktifitas luar ruang
seperti hiking atau mendaki gunung
yang memakan waktu berhari-hari seperti dahulu. Namun dengan durasi yang cukup
singkat ini tidak akan mengurangi keasyikan kita untuk menjelajahinya, karena
ternyata gunung – gunung Bandung memiliki kekhasan tersendiri yang sangat sulit
untuk didapatkan dari gunung – gunung yang sudah pernah saya datangi
sebelumnya. Mereka mengatakan jangan memandang gunung – gunung Bandung hanya
dari ketinggiannya saja, namun karakteristik gunungnya lah yang membuat
penjelajahan mendaki gunung – gunung Bandung ini tidak kalah menantang. Salah
satu ciri khas gunung – gunung Bandung adalah medannya yang sulit, lembah –
lembah yang dalam, punggungan tipis membuat jalur pendakian memiliki tingkat
kecuraman yang cukup ekstrem, bahkan tidak jarang ditemui gunung yang tidak
memiliki jalur pendakian yang reguler, sehingga harus merintis jalur sendiri,
karena gunung tersebut jarang sekali terjamah para penjelajah. Kenyataan itu
semakin membuat keinginan saya untuk bergabung dengan komunitas ini semakin
besar.
Setelah sekian lama berharap,
kesempatan saya untuk ikut hiking
menjelajahi gunung Bandung pun datang pada bulan november 2013 ketika komunitas
ini akan mengadakan kegiatan hiking
ke Gunung Buyung di ujung timur Bandung, tepatnya di kecamatan cicalengka
kabupaten Bandung. Gunung Buyung memiliki ketinggian
±1.440 mdpl, berada dalam sebuah kompleks pegunungan dengan beberapa puncaknya
seperti Puncak Dungus Malati, Pasir Serewen, dan sebagainya. Dan perkataan
teman – teman tentang betapa menantangnya trek pendakian gunung Bandung itu
terbukti di sini.
Start dari Kampung Ciseupang
desa Sawah Lega Kecamatan Cicalengka (±830 mdpl) sekitar pukul 08.20 wib
ditemani cerahnya sinar matahari pagi membuat langkah bersemangat. Untuk
mempersingkat jarak dan waktu pendakian, dari titik start kami langsung
berjalan menanjak menaiki sebuah lembah, hal ini dilakukan untuk menghindari
jalur reguler yang memutar lebih jauh. 15 menit kami berjalan di antara rumpun
– rumpun bambu kemudian bersambung dengan ladang – ladang pertanian sebelum
akhirnya sampailah kami di atas lembah, di jalur pendakian yang sebenarnya.
Jalur ini berdampingan dengan sebuah parit yang mengalirkan air dari mata air
di hutan menuju Kampung Ciseupang. Di sisi kanan kami adalah jurang cukup
dalam, dialiri sebuah sungai yang di hulunya terdapat sebuah curug bernama Curug
Cowang di bawah hutan pinus bukit dungus malati yang berdampingan dengan pasir
serewen. Daerah pasir serewen sendiri menjadi lokasi pemancar dari salah satu
perusahaan telekomunikasi indonesia, pada hari minggu lokasi ini banyak
didatangi para pengunjung yang datang pasir serewen untuk hiking atau berjalan – jalan menikmati pemandangan dan suasana
pegunungan di sana.
Sejenak kami berhenti dan
melemparkan pandangan ke arah selatan, tampak di depan kami satu lagi gunung Bandung
yang sangat unik, yaitu gunung Mandalawangi, yang satu sisi ada di kabupaten Bandung
dan sisi yang lainnya ada di kecamatan Kadungora kabupaten Garut. Disebut unik
karena selain jalur pendakiannya yang sulit dengan vegetasi yang rapat, juga
karena gunung ini memiliki sekitar 25 puncakan, mengagumkan. Setelah puas kami
menikmati pemandangan gunung Mandalawangi kami pun melanjutkan perjalanan.
Semakin jauh kami berjalan, suasana menjadi semakin teduh karena kami mulai
memasuki hutan pinus yang cukup rindang. Perjalanan masih ditemani jurang yang
cukup dalam di sebelah kanan kami, dari bawah sana samar – samar terdengar
teriakan orang – orang. Mereka pasti adalah para pengunjung Curug Cowang yang
tengah bersenang – senang menikmati suasana curug. Kami sempat tergoda, namun
keinginan untuk menggapai puncak Gunung Buyung adalah yang harus diutamakan, sedangkan mengunjungi Curug
Cowang tidak lebih dari sebuah bonus, itupun jika waktu masih memungkinkan. Semakin
masuk ke dalam hutan pinus sampailah kami di ujung lembah, tidak ada lagi
jurang yang dalam di sisi kanan kami, dan parit di sisi kiri kami pun sudah
sampai di pangkalnya, di sebuah bak penampungan air yang menampung air sungai
di atasnya. Mulai dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri aliran
sungai, meniti bebatuan kemudian menuju hutan bambu dan masuk ke jalur menanjak
di lereng Gunung Buyung.
Dari hulu sungai berbatu kami
kemudian naik menuju hutan bambu dan berjalan menyusuri jalur di bawah rumpun
bambu yang rimbun, diselingi juga dengan rambatan pohon rotan dengan batangnya
yang berduri tajam. Kurang dari 1 jam perjalanan, jalur pendakian seakan
menghilang, setelah dilihat di perangkat GPS, ternyata jalur pendakian ada di
atas kami pada sebuah punggungan. Kalau begitu berarti kami harus mengambil
jalan pintas untuk bisa menggapai jalur pendakian yang sebenarnya. Cara satu –
satunya ialah dengan merintis jalur mendaki menyusuri sebuah lereng terjal,
dengan tingkat kecuraman 60 - 70ยบ dan kondisi jalur yang licin karena yang akan
kami pijak bukan berupa tanah melainkan batu – batu cadas berbentuk kerikil
lepas. Salah mengambil langkah resikonya adalah melorot kembali ke bawah,
bahkan jatuh terjerembab, ditambah dengan jarangnya tegakan perdu, pepohonan kecil atau akar – akar untuk
berpegangan benar – benar menyulitkan kami untuk melewatinya, merangkak menjadi
satu pilihan yang cukup rasional untuk melalui jalur yang menyiksa ini. Teman
yang membawa golok tebas berada paling depan untuk merintis jalur, dan seutas
tali yang dibawa oleh salah satu teman lainnya kemudian digunakan untuk
membantu tangan mendapatkan pegangan dan membantu kami untuk berjalan melewati
lereng terjal tersebut. Pukul 11.30 wib setelah berjuang selama hampir 1 jam
mendaki lereng terjal, akhirnya sampai juga kami di jalur pendakian sebenarnya
di atas punggungan. Dan memang di sini terdapat jalur yang cukup jelas mengarah
ke puncak Gunung Buyung. Dilihat dari GPS, jarak dari tempat kami berhenti saat
ini menuju ke puncaknya sekitar 650 m lagi, kami saat ini berada di ketinggian ±1.100 mdpl. Kami pun beristirahat sejenak
untuk mengembalikan stamina yang terkuras selama mendaki lereng terjal tadi,
kami masih harus mendaki lagi dengan elevasi ±340 m untuk sampai di puncak Gunung
Buyung. Tapi kami cukup lega karena mulai dari sini kondisi jalur yang dilalui
cukup jelas dan lebih mudah untuk dilewati.
Namun setelah beberapa saat
berjalan, bayangan kondisi jalur yang cukup mudah seketika sirna, sisa
perjalanan yang tinggal 650 m itu ternyata masih menyajikan tanjakan – tanjakan
terjal, ditambah kondisi fisik yang semakin lemah membuat perjalanan menuju
puncak terasa semakin berat. Setelah sekitar 100 m kami berjalan, tibalah kami
di sebuah dataran, kami beristirahat sejenak sambil menunggu teman – teman yang
masih berada di belakang. Seorang teman mencoba memetakan jalur, karena dari
sini jalur berubah menjadi samar. Setelah diamati, maka diputuskanlah untuk
mengambil jalur arah ke kiri menyusuri punggungan tipis yang di sampingnya terdapat
jurang yang cukup dalam. Setelah beberapa saat berjalan, jalur semakin samar,
semak semakin rapat menutupi jalur, berjalanpun semakin sulit, akhirnya kami
pun merangkak menembus rerimbunan semak. Semakin jauh semak semakin rapat, kami
pun harus kembali mengeluarkan golok tebas untuk membuka jalur. Sejenak kami
berhenti di sini untuk menikmati pemandangan, di sebelah utara kami yang
dibatasi jurang menganga yang cukup dalam, kami menyaksikan gunung – gunung di
hadapan kami. Mulai dari gunung Manglayang, gunung Geulis, gunung Kerenceng dan
gunung Kareumbi, seakan melambai mengajak saya untuk menyinggahi puncak –
puncaknya. Setelah puas menyaksikan pemandangan sekitar, kami kembali
melanjutkan perjalanan, setelah hampir 30 menit kami menembus jalur semak
belukar rapat ini akhirnya kami kembali bertemu dengan jalur pendakian yang
sebenarnya. Ternyata dari tempat kami istirahat tadi di sebelum memasuki jalur
semak belukar ini, jalur pendakian yang sebenarnya ini sedikit memutar ke arah
kanan, tersembunyi di balik pepohonan, pantas saja kami kehilangan jalur.
Sedang jalur yang tadinya terlihat jelas di atas dataran itulah yang sebenarnya
membuat kami terjebak mengikutinya dan membawa kami ke dalam semak belukar.
Setelah kembali bertemu jalur
yang sebenarnya, kami semakin bersemangat menuju puncak, dan sekitar pukul
12.55 wib sampailah kami di puncak Gunung Buyung yang berketinggian ±1.440
mdpl. Puncaknya berundak – undak, dan undakan tertingginya tidak terlalu luas,
sekitar 2 x 2 m, namun di undakan ketiga di bawahnya ada sebuah pelataran yang
cukup luas, cukup nyaman dan leluasa untuk dijadikan tempat beristirahat dan
makan siang. Di sini juga terdapat jalur pendakian yang berasal dari kawasan Kareumbi
dan sekitarnya, namun keberadaan makam tua yang kabarnya ada di puncak tidak
kami temukan. Kondisi di sekitar puncak masih ditumbuhi pepohonan besar
sehingga membuat udara di sekitarnya menjadi lembab karena sinar matahari
kesulitan untuk menembus daerah sekitar puncak, kami segera membuka bekal makan
siang. Makan siang bersama selalu menjadi ritual wajib kemanapun saya dan teman
– teman menjelajah, baik ketika hiking
ataupun bersepeda gunung, karena inilah salah satu kenikmatan yang susah sekali
didapatkan di tempat atau kegiatan lain. Sambil menikmati makan siang, beberapa
teman yang membawa kompor portabel segera menyalakannya untuk membuat beberapa
cangkir kopi panas.
Hari mulai beranjak sore,
sekitar pukul 14.30 kami meninggalkan puncak Gunung Buyung. Jalur untuk turun
kami tidak melalui jalur sebelumnya ke arah timur, tetapi ke jalur yang
mengarah ke selatan. Kami mengambil jalur ini dengan harapan jalur ini bisa
mengantarkan kami ke Curug Cowang yang tadi pada saat pergi tidak bisa kami
kunjungi. Mendung mulai bergelayut,
setelah 45 menit perjalanan meninggalkan puncak hujan pun turun, alhasil ¾
perjalanan pulang kami lalui dengan berbasah – basah. Beruntung jalur yang kami
lalui saat turun ini seluruhnya jelas, tidak ada lagi acara terabas – terabas
dan tebas – menebas membuka jalur baru. Hari semakin petang, keinginan untuk
mengunjungi Curug Cowang kami kesampingkan untuk sementara, hal paling penting
saat ini adalah sesegera mungkin keluar dari hutan dan kembali ke Kampung
Ciseupang sebelum gelap. Pukul 16.30an kami tiba di hulu sungai, dekat jalur
tadi kami ketika berangkat menuju hutan bambu. Dengan posisi kami sekarang,
berarti kami sudah berada di atas Curug Cowang, itu berarti juga hilanglah
sudah kesempatan untuk mengunjungi Curug Cowang. Hujan sudah reda namun sisa –
sisa air hujan di dedaunan tetap membuat kami kebasahan. Jalur menjadi basah
dan berlumpur, sepatu – sepatu berbungkus lumpur dan tanah merah. Pukul 17. 30
kami keluar dari hutan pinus, kemudian masuk ke jalur menurun di tengah ladang
bersambung memasuki rerimbunan pohon bambu di awal jalur berangkat tadi. Pukul
17.45 wib kami pun tiba di tempat kami menitipkan kendaraan di sebuah warung di
Kampung Ciseupang.
Di warung
itu, sambil kami beristirahat dengan ditemani semangkuk mie dan kopi panas kami
kembali membicarakan perjalanan hiking
tadi yang menurut saya luar biasa. Sebuah gunung yang “hanya” memiliki
ketinggian ±1.440 mdpl harus didaki dengan memakan waktu 8 jam pulang pergi,
hampir menyamai waktu tempuh mendaki gunung Papandayan kabupaten Garut yang
memiliki ketinggian hampir 2 kali lipat Gunung Buyung. Seorang teman JGB
berujar, "inilah gunung Bandung, jangan melihat gunung di Bandung hanya dari
ketinggiannya saja, tapi kekhasan dan keunikan inilah yang harus benar – benar
dimaknai". Karena keunikannya itulah gunung yang hanya berketinggian ±1.440 mdpl
pun harus ditempuh dengan 8 jam perjalanan pulang pergi. Dan Gunung Buyung ini,
hanyalah 1 satu dari sekian banyak keunikan yang akan saya dapatkan di gunung –
gunung Bandung lainnya yang akan saya datangi berikutnya.
mantap petualanganna mang ...... jempol dua
ReplyDeletebagus!!
ReplyDeleteKang punten mau nanya, kalau mau ke gunung buyung ada kontak yang bisa dihubungi untuk perizinan ga ya? Haturnuhun
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteGa ada CP dan ga ada perijinan khusus. Paling sekedar numpang titip kendaraan ke warga sekitar...
ReplyDelete