Thursday, August 7, 2014

MENJEJAKKAN KAKI DI SALAH SATU TITIK TERTINGGI UJUNG TIMUR BANDUNG


Setiap hari saya menyaksikan pemandangan di seputar Bandung yang dikelilingi pergunungan di segala penjurunya. Sebagai seorang yang suka jalan - jalan, terkadang terselip juga rasa penasaran bagaimana rasanya mendatangi gunung-gunung yang mengelilingi Bandung dan menjejakkan kaki di puncaknya. Gunung – gunung di Bandung elevasinya tidak terlalu tinggi memang bila dibandingkan dengan gunung – gunung yang sudah pernah saya datangi, terutama yang ada di luar jawa barat, namun kenyataan bahwa gunung – gunung ini berada di kota tempat saya besar membuat ada rasa ingin tahu lebih dekat dengannya. Setelah sekian lama menahan keinginan mendatangi gunung – gunung Bandung, karena ketidaktahuan saya terhadap kondisi alam dari gunung – gunung tersebut, membuat saya penasaran untuk mulai mencari tahu tentang gunung – gunung Bandung di dunia maya, dan aktifitas di dunia maya tersebut akhirnya membawa saya mengetahui dan mengenal sebuah komunitas yang secara khusus beraktifitas menjelajahi gunung – gunung di sekitaran Bandung dan daerah – daerah lain yang berbatasan langsung dengan kawasan Bandung Raya.

Adalah komunitas Jelajah Gunung Bandung atau JGB, dan dari komunikasi saya dengan komunitas ini saya bisa mengetahui bahwa mereka masih aktif sampai saat ini mengadakan kegiatan hiking ke gunung – gunung Bandung. Dari beberapa obrolan dengan komunitas ini saya mendapatkan kesimpulan bahwa salah satu keistimewaan hiking menjelajahi gunung – gunung Bandung adalah durasinya yang tidak terlalu lama. Kegiatan mendaki gunung Bandung kebanyakan bisa dilakukan dalam 1 hari saja, sangat cocok dengan kondisi saya yang sudah tidak bisa lagi beraktifitas luar ruang seperti hiking atau mendaki gunung yang memakan waktu berhari-hari seperti dahulu. Namun dengan durasi yang cukup singkat ini tidak akan mengurangi keasyikan kita untuk menjelajahinya, karena ternyata gunung – gunung Bandung memiliki kekhasan tersendiri yang sangat sulit untuk didapatkan dari gunung – gunung yang sudah pernah saya datangi sebelumnya. Mereka mengatakan jangan memandang gunung – gunung Bandung hanya dari ketinggiannya saja, namun karakteristik gunungnya lah yang membuat penjelajahan mendaki gunung – gunung Bandung ini tidak kalah menantang. Salah satu ciri khas gunung – gunung Bandung adalah medannya yang sulit, lembah – lembah yang dalam, punggungan tipis membuat jalur pendakian memiliki tingkat kecuraman yang cukup ekstrem, bahkan tidak jarang ditemui gunung yang tidak memiliki jalur pendakian yang reguler, sehingga harus merintis jalur sendiri, karena gunung tersebut jarang sekali terjamah para penjelajah. Kenyataan itu semakin membuat keinginan saya untuk bergabung dengan komunitas ini semakin besar.

Setelah sekian lama berharap, kesempatan saya untuk ikut hiking menjelajahi gunung Bandung pun datang pada bulan november 2013 ketika komunitas ini akan mengadakan kegiatan hiking ke Gunung Buyung di ujung timur Bandung, tepatnya di kecamatan cicalengka kabupaten Bandung. Gunung Buyung memiliki ketinggian ±1.440 mdpl, berada dalam sebuah kompleks pegunungan dengan beberapa puncaknya seperti Puncak Dungus Malati, Pasir Serewen, dan sebagainya. Dan perkataan teman – teman tentang betapa menantangnya trek pendakian gunung Bandung itu terbukti di sini.

Start dari Kampung Ciseupang desa Sawah Lega Kecamatan Cicalengka (±830 mdpl) sekitar pukul 08.20 wib ditemani cerahnya sinar matahari pagi membuat langkah bersemangat. Untuk mempersingkat jarak dan waktu pendakian, dari titik start kami langsung berjalan menanjak menaiki sebuah lembah, hal ini dilakukan untuk menghindari jalur reguler yang memutar lebih jauh. 15 menit kami berjalan di antara rumpun – rumpun bambu kemudian bersambung dengan ladang – ladang pertanian sebelum akhirnya sampailah kami di atas lembah, di jalur pendakian yang sebenarnya. Jalur ini berdampingan dengan sebuah parit yang mengalirkan air dari mata air di hutan menuju Kampung Ciseupang. Di sisi kanan kami adalah jurang cukup dalam, dialiri sebuah sungai yang di hulunya terdapat sebuah curug bernama Curug Cowang di bawah hutan pinus bukit dungus malati yang berdampingan dengan pasir serewen. Daerah pasir serewen sendiri menjadi lokasi pemancar dari salah satu perusahaan telekomunikasi indonesia, pada hari minggu lokasi ini banyak didatangi para pengunjung yang datang pasir serewen untuk hiking atau berjalan – jalan menikmati pemandangan dan suasana pegunungan di sana. 

Sejenak kami berhenti dan melemparkan pandangan ke arah selatan, tampak di depan kami satu lagi gunung Bandung yang sangat unik, yaitu gunung Mandalawangi, yang satu sisi ada di kabupaten Bandung dan sisi yang lainnya ada di kecamatan Kadungora kabupaten Garut. Disebut unik karena selain jalur pendakiannya yang sulit dengan vegetasi yang rapat, juga karena gunung ini memiliki sekitar 25 puncakan, mengagumkan. Setelah puas kami menikmati pemandangan gunung Mandalawangi kami pun melanjutkan perjalanan. Semakin jauh kami berjalan, suasana menjadi semakin teduh karena kami mulai memasuki hutan pinus yang cukup rindang. Perjalanan masih ditemani jurang yang cukup dalam di sebelah kanan kami, dari bawah sana samar – samar terdengar teriakan orang – orang. Mereka pasti adalah para pengunjung Curug Cowang yang tengah bersenang – senang menikmati suasana curug. Kami sempat tergoda, namun keinginan untuk menggapai puncak Gunung Buyung adalah yang  harus diutamakan, sedangkan mengunjungi Curug Cowang tidak lebih dari sebuah bonus, itupun jika waktu masih memungkinkan. Semakin masuk ke dalam hutan pinus sampailah kami di ujung lembah, tidak ada lagi jurang yang dalam di sisi kanan kami, dan parit di sisi kiri kami pun sudah sampai di pangkalnya, di sebuah bak penampungan air yang menampung air sungai di atasnya. Mulai dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri aliran sungai, meniti bebatuan kemudian menuju hutan bambu dan masuk ke jalur menanjak di lereng Gunung Buyung.  

Dari hulu sungai berbatu kami kemudian naik menuju hutan bambu dan berjalan menyusuri jalur di bawah rumpun bambu yang rimbun, diselingi juga dengan rambatan pohon rotan dengan batangnya yang berduri tajam. Kurang dari 1 jam perjalanan, jalur pendakian seakan menghilang, setelah dilihat di perangkat GPS, ternyata jalur pendakian ada di atas kami pada sebuah punggungan. Kalau begitu berarti kami harus mengambil jalan pintas untuk bisa menggapai jalur pendakian yang sebenarnya. Cara satu – satunya ialah dengan merintis jalur mendaki menyusuri sebuah lereng terjal, dengan tingkat kecuraman 60 - 70ยบ dan kondisi jalur yang licin karena yang akan kami pijak bukan berupa tanah melainkan batu – batu cadas berbentuk kerikil lepas. Salah mengambil langkah resikonya adalah melorot kembali ke bawah, bahkan jatuh terjerembab, ditambah dengan jarangnya tegakan perdu,  pepohonan kecil atau akar – akar untuk berpegangan benar – benar menyulitkan kami untuk melewatinya, merangkak menjadi satu pilihan yang cukup rasional untuk melalui jalur yang menyiksa ini. Teman yang membawa golok tebas berada paling depan untuk merintis jalur, dan seutas tali yang dibawa oleh salah satu teman lainnya kemudian digunakan untuk membantu tangan mendapatkan pegangan dan membantu kami untuk berjalan melewati lereng terjal tersebut. Pukul 11.30 wib setelah berjuang selama hampir 1 jam mendaki lereng terjal, akhirnya sampai juga kami di jalur pendakian sebenarnya di atas punggungan. Dan memang di sini terdapat jalur yang cukup jelas mengarah ke puncak Gunung Buyung. Dilihat dari GPS, jarak dari tempat kami berhenti saat ini menuju ke puncaknya sekitar 650 m lagi, kami saat ini berada di ketinggian  ±1.100 mdpl. Kami pun beristirahat sejenak untuk mengembalikan stamina yang terkuras selama mendaki lereng terjal tadi, kami masih harus mendaki lagi dengan elevasi ±340 m untuk sampai di puncak Gunung Buyung. Tapi kami cukup lega karena mulai dari sini kondisi jalur yang dilalui cukup jelas dan lebih mudah untuk dilewati.

Namun setelah beberapa saat berjalan, bayangan kondisi jalur yang cukup mudah seketika sirna, sisa perjalanan yang tinggal 650 m itu ternyata masih menyajikan tanjakan – tanjakan terjal, ditambah kondisi fisik yang semakin lemah membuat perjalanan menuju puncak terasa semakin berat. Setelah sekitar 100 m kami berjalan, tibalah kami di sebuah dataran, kami beristirahat sejenak sambil menunggu teman – teman yang masih berada di belakang. Seorang teman mencoba memetakan jalur, karena dari sini jalur berubah menjadi samar. Setelah diamati, maka diputuskanlah untuk mengambil jalur arah ke kiri menyusuri punggungan tipis yang di sampingnya terdapat jurang yang cukup dalam. Setelah beberapa saat berjalan, jalur semakin samar, semak semakin rapat menutupi jalur, berjalanpun semakin sulit, akhirnya kami pun merangkak menembus rerimbunan semak. Semakin jauh semak semakin rapat, kami pun harus kembali mengeluarkan golok tebas untuk membuka jalur. Sejenak kami berhenti di sini untuk menikmati pemandangan, di sebelah utara kami yang dibatasi jurang menganga yang cukup dalam, kami menyaksikan gunung – gunung di hadapan kami. Mulai dari gunung Manglayang, gunung Geulis, gunung Kerenceng dan gunung Kareumbi, seakan melambai mengajak saya untuk menyinggahi puncak – puncaknya. Setelah puas menyaksikan pemandangan sekitar, kami kembali melanjutkan perjalanan, setelah hampir 30 menit kami menembus jalur semak belukar rapat ini akhirnya kami kembali bertemu dengan jalur pendakian yang sebenarnya. Ternyata dari tempat kami istirahat tadi di sebelum memasuki jalur semak belukar ini, jalur pendakian yang sebenarnya ini sedikit memutar ke arah kanan, tersembunyi di balik pepohonan, pantas saja kami kehilangan jalur. Sedang jalur yang tadinya terlihat jelas di atas dataran itulah yang sebenarnya membuat kami terjebak mengikutinya dan membawa kami ke dalam semak belukar.

Setelah kembali bertemu jalur yang sebenarnya, kami semakin bersemangat menuju puncak, dan sekitar pukul 12.55 wib sampailah kami di puncak Gunung Buyung yang berketinggian ±1.440 mdpl. Puncaknya berundak – undak, dan undakan tertingginya tidak terlalu luas, sekitar 2 x 2 m, namun di undakan ketiga di bawahnya ada sebuah pelataran yang cukup luas, cukup nyaman dan leluasa untuk dijadikan tempat beristirahat dan makan siang. Di sini juga terdapat jalur pendakian yang berasal dari kawasan Kareumbi dan sekitarnya, namun keberadaan makam tua yang kabarnya ada di puncak tidak kami temukan. Kondisi di sekitar puncak masih ditumbuhi pepohonan besar sehingga membuat udara di sekitarnya menjadi lembab karena sinar matahari kesulitan untuk menembus daerah sekitar puncak, kami segera membuka bekal makan siang. Makan siang bersama selalu menjadi ritual wajib kemanapun saya dan teman – teman menjelajah, baik ketika hiking ataupun bersepeda gunung, karena inilah salah satu kenikmatan yang susah sekali didapatkan di tempat atau kegiatan lain. Sambil menikmati makan siang, beberapa teman yang membawa kompor portabel segera menyalakannya untuk membuat beberapa cangkir kopi panas.

Hari mulai beranjak sore, sekitar pukul 14.30 kami meninggalkan puncak Gunung Buyung. Jalur untuk turun kami tidak melalui jalur sebelumnya ke arah timur, tetapi ke jalur yang mengarah ke selatan. Kami mengambil jalur ini dengan harapan jalur ini bisa mengantarkan kami ke Curug Cowang yang tadi pada saat pergi tidak bisa kami kunjungi.  Mendung mulai bergelayut, setelah 45 menit perjalanan meninggalkan puncak hujan pun turun, alhasil ¾ perjalanan pulang kami lalui dengan berbasah – basah. Beruntung jalur yang kami lalui saat turun ini seluruhnya jelas, tidak ada lagi acara terabas – terabas dan tebas – menebas membuka jalur baru. Hari semakin petang, keinginan untuk mengunjungi Curug Cowang kami kesampingkan untuk sementara, hal paling penting saat ini adalah sesegera mungkin keluar dari hutan dan kembali ke Kampung Ciseupang sebelum gelap. Pukul 16.30an kami tiba di hulu sungai, dekat jalur tadi kami ketika berangkat menuju hutan bambu. Dengan posisi kami sekarang, berarti kami sudah berada di atas Curug Cowang, itu berarti juga hilanglah sudah kesempatan untuk mengunjungi Curug Cowang. Hujan sudah reda namun sisa – sisa air hujan di dedaunan tetap membuat kami kebasahan. Jalur menjadi basah dan berlumpur, sepatu – sepatu berbungkus lumpur dan tanah merah. Pukul 17. 30 kami keluar dari hutan pinus, kemudian masuk ke jalur menurun di tengah ladang bersambung memasuki rerimbunan pohon bambu di awal jalur berangkat tadi. Pukul 17.45 wib kami pun tiba di tempat kami menitipkan kendaraan di sebuah warung di Kampung Ciseupang.

            Di warung itu, sambil kami beristirahat dengan ditemani semangkuk mie dan kopi panas kami kembali membicarakan perjalanan hiking tadi yang menurut saya luar biasa. Sebuah gunung yang “hanya” memiliki ketinggian ±1.440 mdpl harus didaki dengan memakan waktu 8 jam pulang pergi, hampir menyamai waktu tempuh mendaki gunung Papandayan kabupaten Garut yang memiliki ketinggian hampir 2 kali lipat Gunung Buyung. Seorang teman JGB berujar, "inilah gunung Bandung, jangan melihat gunung di Bandung hanya dari ketinggiannya saja, tapi kekhasan dan keunikan inilah yang harus benar – benar dimaknai". Karena keunikannya itulah gunung yang hanya berketinggian ±1.440 mdpl pun harus ditempuh dengan 8 jam perjalanan pulang pergi. Dan Gunung Buyung ini, hanyalah 1 satu dari sekian banyak keunikan yang akan saya dapatkan di gunung – gunung Bandung lainnya yang akan saya datangi berikutnya. 



5 comments:

  1. mantap petualanganna mang ...... jempol dua

    ReplyDelete
  2. Kang punten mau nanya, kalau mau ke gunung buyung ada kontak yang bisa dihubungi untuk perizinan ga ya? Haturnuhun

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
  3. Ga ada CP dan ga ada perijinan khusus. Paling sekedar numpang titip kendaraan ke warga sekitar...

    ReplyDelete