Monday, September 29, 2014

BATUKUDA, SALAH SATU RUTE GOWES MENANTANG DI TIMUR BANDUNG

Ketika jalur gowes Warung Bandrek/ Warban di Bandung Utara yang sudah sangat terkenal itu semakin tidak nyaman untuk dilewati karena semakin hiruk pikuk oleh kendaraan – kendaraan yang akan mengunjungi tebing Karaton yang mendadak populer itu, harus dicari lagi alternatif rute gowes lainnya yang tidak kalah eksotis, menarik dan menantang. Bandung sebagai surganya jalur bersepeda tentunya tidak akan sulit untuk menemukan rute gowes pengganti Warban, di selatan Bandung kita tentu sudah mengenal jalur uphill Leuweung Datar, Cisanti atau Monteng - Kamojang. Begitupun di kawasan timur Bandung, jalur bersepeda menantang seperti Caringin Tilu, Warung Daweung, Palintang, Batukuda dan Kiara Payung siap untuk dijelajahi. Di antara beberapa jalur bersepeda di timur Bandung tadi, saya akan mencoba mengulas satu jalur uphill yang cukup menarik yaitu Wanawisata Batukuda.

Jalur menuju Wanawisata Batukuda bisa dicapai dari beberapa titik yang berada di Cibiru, Cinunuk dan Cileunyi. Dari beberapa pilihan jalur tersebut, saya memilih jalur Cibiru Wetan melalui jalan Sindang Reret yang berada tidak jauh dari tugu perbatasan kota – kabupaten Bandung, berjarak ±5 km sampai ke titik finish di Batukuda. Dari awal memasuki jalan Sindang Reret kita langsung berhadapan dengan beberapa tanjakan ringan, cukup untuk pemanasan sebelum menyongsong tanjakan - tanjakan berikutnya. Setelah 10 menit gowes, kita bertemu sebuah persimpangan, arahkan sepeda ke barat, dan kembali bertemu tanjakan – tanjakan yang mulai terasa lebih berat namun masih bisa dilalui dengan lancar, gowesan masih terasa bertenaga walaupun keringat mulai membasahi tubuh.

Selepas beberapa tanjakan tadi, kita bertemu lagi dengan sebuah persimpangan yang berada tepat menghadap ke arah gunung Manglayang, tujuan kita adalah ke utara, sedangkan jalur dari selatan adalah jalur yang berasal dari Cinunuk. Di sini kita bisa beristirahat sejenak sambil menikmati keanggunan gunung Manglayang. Perjalanan kembali dilanjutkan, sepeda diarahkan ke utara, dan kita mendapat bonus sedikit jalur mendatar, nikmatilah karena selanjutnya kejutan - kejutan telah menanti di depan. Ternyata mulai dari sini jalur uphill Batukuda mulai memperlihatkan wujud aslinya, kita disambut tanjakan – tanjakan yang semakin berat dan panjang. Sekitar 1.5 km pedal dikayuh, di ujung tanjakan kita bertemu sebuah pertigaan, belok ke kanan dan di sini kita kembali bisa beristirahat, di sekitar bangunan SDN Cikoneng. Di sini terdapat sebuah warung, pas bagi para goweser untuk bersitirahat dan mengisi kembali “amunisi” mereka seperti air minum atau minuman kecil, sambil kembali menikmati keindahan Bandung Selatan. 

Jalur yang akan dihadapi selanjutnya adalah segmen terakhir dari jalur uphill Batukuda, jalan berlapis beton sejauh  ±1 km ke arah utara siap menyambut kita dengan tanjakan – tanjakannya yang semakin curam sampai ke depan loket tiket Wanawisata Batukuda. Pedal kembali dikayuh, selepas SD Cikoneng kita menemukan sebuah pertigaan yang juga adalah pertemuan jalur Cibiru – Cileunyi –  Batukuda. Setelah berbelok ke utara tanjakan panjang nan curam sudah menanti, ini adalah tanjakan pertama dari 3 tanjakan yang akan dihadapi untuk menuju titik finish. Ujung dari tanjakan pertama ini adalah sebuah gapura yang dipayungi pohon Beringin besar, setelah melewati tanjakan ini, kita bisa beristirahat sejenak mengatur nafas yang tersengal – sengal. Masih ada 2 tanjakan lagi, kembali pedal dikayuh meskipun fisik sudah melemah, tanjakan kedua meskipun pendek namun cukup curam mampu membuat lutut goyah, tanjakan kedua berakhir di depan loket tiket Wanawisata Batukuda, tinggal satu tanjakan lagi untuk mencapai titik finish di hutan pinus Wanawisata Batukuda. Tanjakan terakhir ini cukup panjang, sedikit curam dan yang membuatnya istimewa adalah kondisi jalurnya yang makadam, namun “tanjakan putus asa” ini harus dilewati apabila kita ingin mendapatkan balasan setimpal yang akan didapatkan nanti di titik finish

Dan akhirnya semua perjuangan menyusuri beratnya tanjakan – tanjakan sepanjang perjalanan tadi terbayar di sini, ujung tanjakan makadam berakhir di pintu gerbang Wanawisata Buper Batukuda (1.100 mdpl), dari sini kita tinggal memilih lokasi untuk beristirahat, masuk ke warung – warung yang terdapat di sana, atau menikmati suasana yang lebih alami dengan duduk – duduk beralaskan rumput hijau di bawah rerimbunan pohon – pohon pinus. Rasa capek dan lelah sirna oleh belaian angin gunung yang sejuk dan udara yang segar, bagi yang memiliki peralatan outdoor seperti kompor portabel, menikmati suasana pegunungan sambil menyeduh kopi atau teh panas selepas menaklukkan jalur ini pasti akan memberikan rasa dan sensasi yang berbeda, suasana tidak akan bisa didapatkan di jalur bersepeda Bandung Utara seperti Warban.

Sambil beristirahat kita bisa mendiskusikan jalur yang akan dilalui untuk pulang, kembali menyusuri jalur naik tadi dengan pilihan tiga titik akhir, atau merasakan sensasi berbeda dengan menyusuri jalur XC Batukuda – Kiarapayung atau Batukuda – Cibiru lewat kampung Garung. Kedua jalur XC ini menawarkan karakteristik berbeda, yang saya yakin akan mampu memuaskan hasrat untuk bersepeda offroad.  

Dan akhirnya pilihan ada pada kita, apabila ingin bersepeda di jalur yang tidak begitu ramai namun tetap menantang, ditambah dengan "bonus - bonus menarik", jalur uphill Wanawisata Batukuda bisa dijadikan pilihan, daripada memaksakan diri gowes di jalur - jalur "mainstream" seperti Warban yang sudah terlalu ramai dan kurang bersahabat lagi bagi para goweser.


Thursday, August 7, 2014

MENJEJAKKAN KAKI DI SALAH SATU TITIK TERTINGGI UJUNG TIMUR BANDUNG


Setiap hari saya menyaksikan pemandangan di seputar Bandung yang dikelilingi pergunungan di segala penjurunya. Sebagai seorang yang suka jalan - jalan, terkadang terselip juga rasa penasaran bagaimana rasanya mendatangi gunung-gunung yang mengelilingi Bandung dan menjejakkan kaki di puncaknya. Gunung – gunung di Bandung elevasinya tidak terlalu tinggi memang bila dibandingkan dengan gunung – gunung yang sudah pernah saya datangi, terutama yang ada di luar jawa barat, namun kenyataan bahwa gunung – gunung ini berada di kota tempat saya besar membuat ada rasa ingin tahu lebih dekat dengannya. Setelah sekian lama menahan keinginan mendatangi gunung – gunung Bandung, karena ketidaktahuan saya terhadap kondisi alam dari gunung – gunung tersebut, membuat saya penasaran untuk mulai mencari tahu tentang gunung – gunung Bandung di dunia maya, dan aktifitas di dunia maya tersebut akhirnya membawa saya mengetahui dan mengenal sebuah komunitas yang secara khusus beraktifitas menjelajahi gunung – gunung di sekitaran Bandung dan daerah – daerah lain yang berbatasan langsung dengan kawasan Bandung Raya.

Adalah komunitas Jelajah Gunung Bandung atau JGB, dan dari komunikasi saya dengan komunitas ini saya bisa mengetahui bahwa mereka masih aktif sampai saat ini mengadakan kegiatan hiking ke gunung – gunung Bandung. Dari beberapa obrolan dengan komunitas ini saya mendapatkan kesimpulan bahwa salah satu keistimewaan hiking menjelajahi gunung – gunung Bandung adalah durasinya yang tidak terlalu lama. Kegiatan mendaki gunung Bandung kebanyakan bisa dilakukan dalam 1 hari saja, sangat cocok dengan kondisi saya yang sudah tidak bisa lagi beraktifitas luar ruang seperti hiking atau mendaki gunung yang memakan waktu berhari-hari seperti dahulu. Namun dengan durasi yang cukup singkat ini tidak akan mengurangi keasyikan kita untuk menjelajahinya, karena ternyata gunung – gunung Bandung memiliki kekhasan tersendiri yang sangat sulit untuk didapatkan dari gunung – gunung yang sudah pernah saya datangi sebelumnya. Mereka mengatakan jangan memandang gunung – gunung Bandung hanya dari ketinggiannya saja, namun karakteristik gunungnya lah yang membuat penjelajahan mendaki gunung – gunung Bandung ini tidak kalah menantang. Salah satu ciri khas gunung – gunung Bandung adalah medannya yang sulit, lembah – lembah yang dalam, punggungan tipis membuat jalur pendakian memiliki tingkat kecuraman yang cukup ekstrem, bahkan tidak jarang ditemui gunung yang tidak memiliki jalur pendakian yang reguler, sehingga harus merintis jalur sendiri, karena gunung tersebut jarang sekali terjamah para penjelajah. Kenyataan itu semakin membuat keinginan saya untuk bergabung dengan komunitas ini semakin besar.

Setelah sekian lama berharap, kesempatan saya untuk ikut hiking menjelajahi gunung Bandung pun datang pada bulan november 2013 ketika komunitas ini akan mengadakan kegiatan hiking ke Gunung Buyung di ujung timur Bandung, tepatnya di kecamatan cicalengka kabupaten Bandung. Gunung Buyung memiliki ketinggian ±1.440 mdpl, berada dalam sebuah kompleks pegunungan dengan beberapa puncaknya seperti Puncak Dungus Malati, Pasir Serewen, dan sebagainya. Dan perkataan teman – teman tentang betapa menantangnya trek pendakian gunung Bandung itu terbukti di sini.

Start dari Kampung Ciseupang desa Sawah Lega Kecamatan Cicalengka (±830 mdpl) sekitar pukul 08.20 wib ditemani cerahnya sinar matahari pagi membuat langkah bersemangat. Untuk mempersingkat jarak dan waktu pendakian, dari titik start kami langsung berjalan menanjak menaiki sebuah lembah, hal ini dilakukan untuk menghindari jalur reguler yang memutar lebih jauh. 15 menit kami berjalan di antara rumpun – rumpun bambu kemudian bersambung dengan ladang – ladang pertanian sebelum akhirnya sampailah kami di atas lembah, di jalur pendakian yang sebenarnya. Jalur ini berdampingan dengan sebuah parit yang mengalirkan air dari mata air di hutan menuju Kampung Ciseupang. Di sisi kanan kami adalah jurang cukup dalam, dialiri sebuah sungai yang di hulunya terdapat sebuah curug bernama Curug Cowang di bawah hutan pinus bukit dungus malati yang berdampingan dengan pasir serewen. Daerah pasir serewen sendiri menjadi lokasi pemancar dari salah satu perusahaan telekomunikasi indonesia, pada hari minggu lokasi ini banyak didatangi para pengunjung yang datang pasir serewen untuk hiking atau berjalan – jalan menikmati pemandangan dan suasana pegunungan di sana. 

Sejenak kami berhenti dan melemparkan pandangan ke arah selatan, tampak di depan kami satu lagi gunung Bandung yang sangat unik, yaitu gunung Mandalawangi, yang satu sisi ada di kabupaten Bandung dan sisi yang lainnya ada di kecamatan Kadungora kabupaten Garut. Disebut unik karena selain jalur pendakiannya yang sulit dengan vegetasi yang rapat, juga karena gunung ini memiliki sekitar 25 puncakan, mengagumkan. Setelah puas kami menikmati pemandangan gunung Mandalawangi kami pun melanjutkan perjalanan. Semakin jauh kami berjalan, suasana menjadi semakin teduh karena kami mulai memasuki hutan pinus yang cukup rindang. Perjalanan masih ditemani jurang yang cukup dalam di sebelah kanan kami, dari bawah sana samar – samar terdengar teriakan orang – orang. Mereka pasti adalah para pengunjung Curug Cowang yang tengah bersenang – senang menikmati suasana curug. Kami sempat tergoda, namun keinginan untuk menggapai puncak Gunung Buyung adalah yang  harus diutamakan, sedangkan mengunjungi Curug Cowang tidak lebih dari sebuah bonus, itupun jika waktu masih memungkinkan. Semakin masuk ke dalam hutan pinus sampailah kami di ujung lembah, tidak ada lagi jurang yang dalam di sisi kanan kami, dan parit di sisi kiri kami pun sudah sampai di pangkalnya, di sebuah bak penampungan air yang menampung air sungai di atasnya. Mulai dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri aliran sungai, meniti bebatuan kemudian menuju hutan bambu dan masuk ke jalur menanjak di lereng Gunung Buyung.  

Dari hulu sungai berbatu kami kemudian naik menuju hutan bambu dan berjalan menyusuri jalur di bawah rumpun bambu yang rimbun, diselingi juga dengan rambatan pohon rotan dengan batangnya yang berduri tajam. Kurang dari 1 jam perjalanan, jalur pendakian seakan menghilang, setelah dilihat di perangkat GPS, ternyata jalur pendakian ada di atas kami pada sebuah punggungan. Kalau begitu berarti kami harus mengambil jalan pintas untuk bisa menggapai jalur pendakian yang sebenarnya. Cara satu – satunya ialah dengan merintis jalur mendaki menyusuri sebuah lereng terjal, dengan tingkat kecuraman 60 - 70ยบ dan kondisi jalur yang licin karena yang akan kami pijak bukan berupa tanah melainkan batu – batu cadas berbentuk kerikil lepas. Salah mengambil langkah resikonya adalah melorot kembali ke bawah, bahkan jatuh terjerembab, ditambah dengan jarangnya tegakan perdu,  pepohonan kecil atau akar – akar untuk berpegangan benar – benar menyulitkan kami untuk melewatinya, merangkak menjadi satu pilihan yang cukup rasional untuk melalui jalur yang menyiksa ini. Teman yang membawa golok tebas berada paling depan untuk merintis jalur, dan seutas tali yang dibawa oleh salah satu teman lainnya kemudian digunakan untuk membantu tangan mendapatkan pegangan dan membantu kami untuk berjalan melewati lereng terjal tersebut. Pukul 11.30 wib setelah berjuang selama hampir 1 jam mendaki lereng terjal, akhirnya sampai juga kami di jalur pendakian sebenarnya di atas punggungan. Dan memang di sini terdapat jalur yang cukup jelas mengarah ke puncak Gunung Buyung. Dilihat dari GPS, jarak dari tempat kami berhenti saat ini menuju ke puncaknya sekitar 650 m lagi, kami saat ini berada di ketinggian  ±1.100 mdpl. Kami pun beristirahat sejenak untuk mengembalikan stamina yang terkuras selama mendaki lereng terjal tadi, kami masih harus mendaki lagi dengan elevasi ±340 m untuk sampai di puncak Gunung Buyung. Tapi kami cukup lega karena mulai dari sini kondisi jalur yang dilalui cukup jelas dan lebih mudah untuk dilewati.

Namun setelah beberapa saat berjalan, bayangan kondisi jalur yang cukup mudah seketika sirna, sisa perjalanan yang tinggal 650 m itu ternyata masih menyajikan tanjakan – tanjakan terjal, ditambah kondisi fisik yang semakin lemah membuat perjalanan menuju puncak terasa semakin berat. Setelah sekitar 100 m kami berjalan, tibalah kami di sebuah dataran, kami beristirahat sejenak sambil menunggu teman – teman yang masih berada di belakang. Seorang teman mencoba memetakan jalur, karena dari sini jalur berubah menjadi samar. Setelah diamati, maka diputuskanlah untuk mengambil jalur arah ke kiri menyusuri punggungan tipis yang di sampingnya terdapat jurang yang cukup dalam. Setelah beberapa saat berjalan, jalur semakin samar, semak semakin rapat menutupi jalur, berjalanpun semakin sulit, akhirnya kami pun merangkak menembus rerimbunan semak. Semakin jauh semak semakin rapat, kami pun harus kembali mengeluarkan golok tebas untuk membuka jalur. Sejenak kami berhenti di sini untuk menikmati pemandangan, di sebelah utara kami yang dibatasi jurang menganga yang cukup dalam, kami menyaksikan gunung – gunung di hadapan kami. Mulai dari gunung Manglayang, gunung Geulis, gunung Kerenceng dan gunung Kareumbi, seakan melambai mengajak saya untuk menyinggahi puncak – puncaknya. Setelah puas menyaksikan pemandangan sekitar, kami kembali melanjutkan perjalanan, setelah hampir 30 menit kami menembus jalur semak belukar rapat ini akhirnya kami kembali bertemu dengan jalur pendakian yang sebenarnya. Ternyata dari tempat kami istirahat tadi di sebelum memasuki jalur semak belukar ini, jalur pendakian yang sebenarnya ini sedikit memutar ke arah kanan, tersembunyi di balik pepohonan, pantas saja kami kehilangan jalur. Sedang jalur yang tadinya terlihat jelas di atas dataran itulah yang sebenarnya membuat kami terjebak mengikutinya dan membawa kami ke dalam semak belukar.

Setelah kembali bertemu jalur yang sebenarnya, kami semakin bersemangat menuju puncak, dan sekitar pukul 12.55 wib sampailah kami di puncak Gunung Buyung yang berketinggian ±1.440 mdpl. Puncaknya berundak – undak, dan undakan tertingginya tidak terlalu luas, sekitar 2 x 2 m, namun di undakan ketiga di bawahnya ada sebuah pelataran yang cukup luas, cukup nyaman dan leluasa untuk dijadikan tempat beristirahat dan makan siang. Di sini juga terdapat jalur pendakian yang berasal dari kawasan Kareumbi dan sekitarnya, namun keberadaan makam tua yang kabarnya ada di puncak tidak kami temukan. Kondisi di sekitar puncak masih ditumbuhi pepohonan besar sehingga membuat udara di sekitarnya menjadi lembab karena sinar matahari kesulitan untuk menembus daerah sekitar puncak, kami segera membuka bekal makan siang. Makan siang bersama selalu menjadi ritual wajib kemanapun saya dan teman – teman menjelajah, baik ketika hiking ataupun bersepeda gunung, karena inilah salah satu kenikmatan yang susah sekali didapatkan di tempat atau kegiatan lain. Sambil menikmati makan siang, beberapa teman yang membawa kompor portabel segera menyalakannya untuk membuat beberapa cangkir kopi panas.

Hari mulai beranjak sore, sekitar pukul 14.30 kami meninggalkan puncak Gunung Buyung. Jalur untuk turun kami tidak melalui jalur sebelumnya ke arah timur, tetapi ke jalur yang mengarah ke selatan. Kami mengambil jalur ini dengan harapan jalur ini bisa mengantarkan kami ke Curug Cowang yang tadi pada saat pergi tidak bisa kami kunjungi.  Mendung mulai bergelayut, setelah 45 menit perjalanan meninggalkan puncak hujan pun turun, alhasil ¾ perjalanan pulang kami lalui dengan berbasah – basah. Beruntung jalur yang kami lalui saat turun ini seluruhnya jelas, tidak ada lagi acara terabas – terabas dan tebas – menebas membuka jalur baru. Hari semakin petang, keinginan untuk mengunjungi Curug Cowang kami kesampingkan untuk sementara, hal paling penting saat ini adalah sesegera mungkin keluar dari hutan dan kembali ke Kampung Ciseupang sebelum gelap. Pukul 16.30an kami tiba di hulu sungai, dekat jalur tadi kami ketika berangkat menuju hutan bambu. Dengan posisi kami sekarang, berarti kami sudah berada di atas Curug Cowang, itu berarti juga hilanglah sudah kesempatan untuk mengunjungi Curug Cowang. Hujan sudah reda namun sisa – sisa air hujan di dedaunan tetap membuat kami kebasahan. Jalur menjadi basah dan berlumpur, sepatu – sepatu berbungkus lumpur dan tanah merah. Pukul 17. 30 kami keluar dari hutan pinus, kemudian masuk ke jalur menurun di tengah ladang bersambung memasuki rerimbunan pohon bambu di awal jalur berangkat tadi. Pukul 17.45 wib kami pun tiba di tempat kami menitipkan kendaraan di sebuah warung di Kampung Ciseupang.

            Di warung itu, sambil kami beristirahat dengan ditemani semangkuk mie dan kopi panas kami kembali membicarakan perjalanan hiking tadi yang menurut saya luar biasa. Sebuah gunung yang “hanya” memiliki ketinggian ±1.440 mdpl harus didaki dengan memakan waktu 8 jam pulang pergi, hampir menyamai waktu tempuh mendaki gunung Papandayan kabupaten Garut yang memiliki ketinggian hampir 2 kali lipat Gunung Buyung. Seorang teman JGB berujar, "inilah gunung Bandung, jangan melihat gunung di Bandung hanya dari ketinggiannya saja, tapi kekhasan dan keunikan inilah yang harus benar – benar dimaknai". Karena keunikannya itulah gunung yang hanya berketinggian ±1.440 mdpl pun harus ditempuh dengan 8 jam perjalanan pulang pergi. Dan Gunung Buyung ini, hanyalah 1 satu dari sekian banyak keunikan yang akan saya dapatkan di gunung – gunung Bandung lainnya yang akan saya datangi berikutnya. 



GOWES WISATA CURUG BUNIAGUNG, GUA JEPANG DAN SITUS GUNUNG SADU SOREANG


Gowes di kawasan Soreang kali ini agak berbeda dari trip – trip gowes sebelumnya yang lebih kepada menjelajahi trek – trek XC baik yang uphill maupun downhill, trip gowes kali ini kami akan mengunjungi daerah Sadu untuk mengunjungi situs gunung Sadu yang terkenal dengan fenomena geomagnetiknya dan serta situs gua Jepang, yang lokasinya tidak jauh dari gunung Sadu. Di Soreang seorang teman goweser setempat yang juga seorang penggiat kegiatan alam bebas memberikan tambahan rute berikut satu objek wisata menarik yaitu curug Buniagung sebelum menuju tujuan awal kami ke gunung Sadu. Bagi saya yang cukup sering gowes di seputaran Soreang awalnya cukup terkejut ketika mendengar bahwa di daerah Soreang masih ada keindahan yang tersembunyi di tengah – tengah gencarnya pembangunan ibu kota kabupaten Bandung ini, bahkan lokasinya tidak jauh dari pusat kota Soreang. Tanpa berpikir lama kami langsung menyambut ajakan teman tadi, maka jadilah trip kali ini menjadi trip wisata curug Buniagung, gua jepang dan berakhir di situs gunung Sadu.

Setelah regrouping di jalan raya Citaliktik, sekitar pukul 08.30 kami bergerak ke arah barat menyusuri jalan Citaliktik di tengah cuaca pagi yang cerah menuju kampung Panyirapan. Tidak butuh waktu lama sampailah kami di sebuah persimpangan, tujuan kami adalah ke arah barat. arah selatan dari persimpangan ini adalah arah menuju trek uphill Sukanagara – Cimonce. Kali ini perjalanan kami ditemani pemandangan gunung Sadu tepat di hadapan kami, seakan mengucapkan salam selamat datang dan bersiap menyambut kami ketika mengunjunginya. Kami kembali bertemu dengan sebuah persimpangan, kemudian kami berbelok ke arah selatan menuju kampung Padasuka, dan dari sinilah baru kami bertemu dengan tanjakan, belum begitu curam tanjakan ini, tapi karena hari sudah sangat panas, gowesan kami melewati tanjakan ini cukup memeras keringat juga. Di ujung tanjakan selamat datang ini kami berhenti di sebuah warung, sekedar mendinginkan suhu tubuh setelah disengat matahari sejak dari titik start di Citaliktik ditambah dengan suguhan tanjakan selamat datang tadi. Dari sini kami berunding tentang rute yang akan diambil, dan diputuskanlah kami akan mengambil rute Legok Jampang, curug Buniagung, kemudian menuju kampung Cijengkol dengan bonus sekitar 1 km jalur offroad dan jalan aspal menurun menuju situs gua jepang dan puncak gunung Sadu. 

Pukul 10 kami kembali bergerak menuju kampung Legok Jampang, dan ternyata selepas warung ini kami bertemu dengan tanjakan yang semakin aduhai. Satu tanjakan berhasil dilewati, namun di depan satu tanjakan lagi telah menanti, lebih panjang dan lebih curam, untunglah ini adalah tanjakan terakhir sebelum menuju spot pertama kami curug Buniagung. Di ujung tanjakan kami berhenti di sebuah tempat yang cukup bagus untuk beristirahat, tempatnya cukup nyaman dan teduh karena dipayungi dua pohon Gamelina besar. Dari sini tersaji pemandangan yang cukup menakjubkan. arah utara kami adalah hamparan kota Soreang dan sekitarnya, di kejauhan terlihat deretean pegunungan Burangrang, Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul dan Manglayang. Tepat di hadapan kami gunung Sadu (911 mdpl) tegak berdiri dengan berselimut rerimbunan pohon – pohon bambu. Di kiri kami terhampar beberapa gunung, mulai dari gunung Singa, gunung Aul, Kutawaringin, gunung Buleud dan di belakangnya sang piramida gunung Lalakon berdiri dengan anggun. 

Cukup lama kami beristirahat di tempat ini, mengatur nafas mengembalikan stamina sambil menikmati sajian pemandangan indah yang tersaji di hadapan kami, tentu saja sambil tidak lupa mengambil beberapa foto, mengabadikan keindahan yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Setelah 15 menit kami beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju curug Buniagung. Di tengah perjalanan, tepat di kampung Legok Jampang kami mengunjungi  sebuah tempat peristirahatan yang cukup asri dan nyaman dengan bangunan – bangunan tradisional terbuat dari bambu. Di sekeliling tempat ini cukup teduh karena dipayungi aneka pepohonan rindang. Tampaknya tempat ini bisa juga dijadikan sebagai destinasi wisata di akhir pekan sekedar untuk “melarikan diri” sejenak dari hiruk pikuknya kehidupan kota. 

Kami tidak berlama – lama di tempat ini karena tujuan pertama kami adalah curug Buniagung, yang berjarak kurang dari 300 m dari tempat ini. Sekitar 100 meter kami meninggalkan tempat tadi, sepeda kemudian berbelok ke kanan menuju sebuah jalan setapak menuruni lembah. Inilah rupanya jalan masuk menuju curug Buniagung, di ujung jalan setapak terdapat sebuah jembatan bambu yang menghubungkan jalan setapak tadi dengan jalan kecil yang telah dilapisi semen di seberang sungai. Tepat di bawah jembatan inilah curug Buniagung berada, namun untuk mencapai lokasi curugnya kami harus melewati kembali sebuah jalan setapak menuju bibir air terjun. Di sebuah persimpangan, sepeda kami simpan dan kami lanjutkan dengan berjalan kaki menuju lokasi curug karena kondisi jalan setapak yang tidak mungkin bisa dilalui oleh sepeda. Tidak sampai 10 menit akhirnya sampailah kami di curug Buniagung. Curugnya lumayan tinggi, sekitar 10 m dan berair cukup deras. Sangat berbeda dengan curug Cangkring di daerah Jelekong yang pernah kami kunjungi sebelumnya yang lebih mirip shower alami karena debit airnya yang sangat kecil, padahal dengan gambaran lokasi yang hampir serupa, tersembunyi di dekat keramaian.    

Seperti biasa, kami pun segera mengambil posisi terbagus untuk berfoto-foto , namun niat untuk mandi dan bermain air di sini sejenak dikesampingkan dulu, berhubung kami masih harus melanjutkan perjalanan yang masih cukup jauh menuju lokasi selanjutnya yaitu gua jepang dan puncak gunung Sadu. Setelah puas berfoto-foto dan menikmati suasana curug Buniagung, sekitar pukul 11.15 kamipun beranjak meninggalkan lokasi curug menuju tempat sepeda tersimpan. Di persimpangan dekat lokasi penyimpanan sepeda, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki sebuah gang kecil menanjak ke arah barat. puluhan anak tangga dan kondisi jalannya yang licin karena lembab dan berlumut siap menguji fisik kami. Benar saja, kondisi gang yang menanjak dan licin ini sangat menyulitkan untuk melangkah, apalagi dengan menuntun sepeda, butuh perjuangan ekstra untuk melaluinya. Tiba di ujung gang jalan semen berubah menjadi jalan setapak, posisinya cukup tinggi, sehingga jalan yang tadi terlewati di kampung Legok Jampang terlihat berada di bawah. Juga terlihat kawasan perbukitan daerah Sukanagara, yang sebagian besar bukitnya sudah hancur dipapas untuk dijadikan perumahan.

Tidak banyak berhenti ketika menyusuri jalan setapak ini, pun ketika kami sampai di ujung jalan setapak ini, karena masih ada 2 destinasi lagi yang harus kami kunjungi. Kami bergegas meninggalkan jalan setapak ini menyusuri jalan aspal menuju gunung Sadu. Sekitar pukul 12 siang kami tiba di sebuah persimpangan di kampung Cijengkol. Kami arahkan sepeda menuju ke utara menuju situs gunung Sadu, namun sebelum sampai ke sana, kami akan mengunjungi dulu gua jepang yang lokasinya ada di dekat gunung Sadu. Sekitar 50 m sebelum tempat parkir situs gunung Sadu, sepeda kami simpan, dan kami berjalan mengarah ke barat menuruni sebuah bukit kecil. Tepat di kaki bukit, di dekat pemakaman umum kami menemukan sebuah lubang kecil,yang hanya bisa dimasuki dengan berjalan jongkok. Awalnya kami tidak menyangka itu adalah mulut sebuah goa, tapi teman yang sudah lebih dulu mengetahui tempat ini terus meyakinkan kami, bahkan dia lebih dulu masuk ke mulut gua. Didorong rasa penasaran akan rupa di balik mulut gua yang sangat sempit itu, kami pun satu persatu masuk ke sana. Dan benar juga ternyata, di balik mulutnya yang sempit, ternyata di dalamnya adalah sebuah gua yang cukup besar dan lumayan panjang. Tingginya sekitar 1,2 m dengan panjang gua sekitar 15 m, di ujung gua bagian dalam, terdapat bekas longsoran, tampaknya sebuah longsoran menutupi ujung gua itu sehingga menjadi buntu. Hal yang sama terjadi di mulut gua, longsoran tanah menyebabkan mulut gua mengecil bahkan hampir menutupinya. Menurut teman saya yang mendapat cerita dari masyarakat sekitar sini, gua ini adalah satu dari 5 gua yang ada di sekitar gunung Sadu yang dibuat pada jaman pendudukan jepang. Tampaknya trip gowes berikutnya harus mengagendakan untuk menyusuri 5 gua jepang di sekitar gunung Sadu ini, cukup menarik juga. 

Setelah puas menikmati suasana gua, kami kembali ke atas, melanjutkan perjalanan menuju situs gunung sadu. Jalan aspal berakhir di sebuah tempat parkir di dekat sebuah lapangan bola. Di sekitar tempat parkir tampak beberapa bangunan, sepertinya untuk pengunjung situs ini. Hanya sangat disayangkan kondisi bangunan – bangunan tersebut sangat memprihatinkan, kotor dan tidak terurus. Kembali sepeda kami simpan, kami titipkan di sebuah warung, dan perjalanan menuju puncak gunung Sadu dilanjutkan dengan berjalan kaki. Setelah menyusuri samping lapangan bola, kami memasuki jalan setapak menanjak di tengah rerimbunan pohon – pohon bambu. Sejuknya suasana sedikit mengobati rasa lelah menyusuri jalan menanjak menuju puncak gunung sadu. Setelah 10 menit berjalan, sampailah kami di puncak gunung Sadu (911 mdpl). 

Di puncaknya yang cukup luas terdapat beberapa gundukan batu – batu besar dan bale – bale bambu yang digunakan para pengunjung untuk beristirahat. Konon katanya di gundukan – gundukan batu besar itulah terdapat fenomena geomagnetik yang cukup kuat, sehingga dapat mengacaukan arah kompas, sayang saat itu kami tidak membawa kompas sehingga tidak dapat membuktikan secara langsung fenomena tersebut. Hanya melalui cerita beberapa orang yang sedang duduk di batu – batu besar, menurut mereka duduk di batu – batu itu menjadi semacam media untuk terapi pengobatan. Mungkin saja gelombang geomagnetik yang kuat di sekitar batu itu memberikan semacam energi positif bagi tubuh sehingga dapat menjadi terapi bagi penyakit yang mereka derita, entahlah. Kami harus menanyakan kepada orang yang ahli untuk bisa mendapatkan penjelasan lebih lengkap tentang fenomena ini. 30 menit kami berada di puncak gunung Sadu, hari semakin beranjak siang, sekitar pukul 14 siang kami pun beranjak meninggalkan puncak gunung Sadu menuju tempat sepeda dititipkan. Setelah regrouping, satu persatu sepeda meninggalkan situs gunung Sadu menuju kota Soreang melalui jalan Cijengkol yang menurun sampai ke jalan raya Sadu, setelah kembali regrouping kami pun mengayuh sepeda masing – masing pulang menuju bandung. Di belakang kami gunung Sadu berdiri dengan anggun, dengan segala cerita, fenomena dan misterinya, melepas kami pulang.