Friday, December 29, 2017

MENGGAPAI PUNCAK BATU KUDA, MENEMBUS KERAPATAN VEGETASI GUNUNG HARUMAN CIBIUK

Gunung Haruman memiliki ketinggian ±1219 mdpl berada di dua kecamatan yaitu kecamatan Kadungora dan kecamatan Cibiuk kabupaten Garut. Gunung ini erat sekali kaitannya dengan legenda Batukuda, yaitu sebongkah batu besar menyerupai kuda yang berada di puncak tertinggi Haruman, menurut kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Garut seperti yang saya kutip dari laman bedanews.com situs Batukuda ini merupakan benda prasejarah peninggalan zaman megalithikum yang digunakan masyarakat masa itu sebagai tempat pemujaan, selain itu juga masyarakat sekitar meyakini kalau batukuda ini adalah peninggalan prabu Kian Santang. Gunung ini juga berkaitan erat dengan salah satu tokoh penyebar agama Islam di Garut khususnya daerah Garut Utara yaitu Syekh Jafar Sidik atau Mbah Wali Cibiuk/ Sunan Cibiuk yang makamnya berada di kaki gunung Haruman tepatnya di desa Cipaeuran kec Cibiuk. Makam beliau selalu ramai dikunjungi para peziarah sehingga mendorong pemkab Garut untuk menjadikan makam ini sebagai obyek wisata religi/ ziarah, salah satu warisan Syekh Jafar Sidik yang masih bisa dirasakan sampai saat ini adalah sambal khas Cibiuk yang saat ini sudah sangat terkenal di mana – mana (sangiang.wordpress.com/nyukcruk-galur-patilasan-sunan-haruman).

Gunung Haruman berlatar gunung Sadakeling


Pertengahan desember 2017 kemarin tepatnya pada tanggal 17 Desember 2017 saya dan 3 orang teman mencoba untuk hiking tektok ke gunung Haruman dengan mengambil titik start di kampung Haruman Sari kec Kadungora (675 mdpl) dan berencana lintas jalur dengan turun melalui jalur desa Cipaeuran kec. Cibiuk (645 mdpl). Setelah Tiba di kampung Haruman Sari dan mendapatkan tempat untuk menitipkan motor kami sempatkan ngobrol sejenak dengan warga untuk mengenal lebih dahulu karakter jalur gunung ini. Ternyata selain situs Batukuda dan makam Syekh Jafar Sidik, gunung ini terkenal juga akan babi hutannya yang cukup mudah ditemui, kakek berbaju putih berjenggot panjang yang selalu menyuruh pulang apabila waktu sholat tiba dan satu lagi (ini yang menarik) adalah tidak adanya jalur menuju ke puncak Haruman, sehingga beberapa warga mengingatkan kami untuk berhati – hati karena warga sekitar pun banyak yang tersesat atau kehilangan jejak ketika mendaki gunung ini.








Pukul 09.30 hiking dimulai dengan memasuki gang kecil mengarah ke timur, tidak lama kami berjalan kami tiba di ujung gang dan mulai masuk jalur setapak. Sajian jalan setapak menanjak ini lumayan membuat kami berkeringat. Sejenak melihat peta digital di HP, kontur cukup rapat sampai ke puncak akan kami hadapi selama perjalanan. Selama perjalanan tak henti – hentinya nyamuk mengerubungi kami, benar juga kata teman yang pernah ke gunung ini, naik ke Haruman seperti masuk ke kerajaan nyamuk saja layaknya, dan kami sekarang merasakan bagaimana rasanya dikerubungi nyamuk - nyamuk Haruman yang ukurannya sedikit lebih besar dibandingkan dengan nyamuk domestik. Sekitar 700 m berjalan, kami bertemu sebuah rumah cukup besar, namun sudah kosong dan tidak terawat, entah apa fungsinya dulu ketika bangunan ini didirikan. Tak lama kemudian kami bertemu jalan makadam, sepertinya ini adalah bekas jalan menuju lokasi Paralayang yang dahulu sempat meramaikan suasana gunung Haruman. Saat ini kondisinya sudah rusak dan kiri kanannya sudah banyak ditumbuhi semak sehingga terlihat seperti jalan setapak saja.



Ex. jalan paralayang

Tepat 1 km lepas dari titik start kami menemukan pertigaan, waktu sudah menunjukkan jam 10 pagi, tak terasa sudah 30 menit berjalan, tak lama kemudian kami bertemu sebuah pohon besar, sejenak beristirahat di sana sambil melihat pemandangan di belakang tepatnya ke arah barat, gunung Mandalawangi dan Kaledong dengan hamparan sawah menghijau di sekitar kakinya sungguh membuat segar mata memandang. Perjalanan dilanjutkan, masih ditemani jalan setapak yang nyaris tidak ada bonus, terus menanjak, akhirnya pukul 10.45 kami beristirahat karena sudah mulai kelelahan, di depan jalur masih saja menanjak curam, dari sini jalur sudah mulai terlihat samar, istirahat pun menjadi tidak tenang karena nyamuk – nyamuk masih saja setia mengerubungi, memaksa kami untuk segera melanjutkan perjalanan.





Gunung Mandalawangi di sebelah barat


Medan yang dihadapi berikutnya adalah hutan bambu yang cukup lebat sehingga tanah hampir semua tertutup serasah daun bambu kering, pijakan licin di atas hamparan daun kering ditambah jalur yang curam menjadi tantangan yang harus kami hadapi saat ini, jalur sudah menghilang, kami berjalan sambil mempertahankan arah agar tidak terlalu menyimpang jauh dari tracklog kawan yang mendaki gunung ini sebelumnya. Cukup lama kami kepayahan melewati hutan bambu ini, namun masih tidak ada bonus dataran, yang ada kontur semakin menanjak curam, hutan bambu sekarang berganti hutan Kaliandra, batang – batang Kaliandra bersilangan di hadapan, jalur sengaja kami buat sedikit zigzag supaya tidak menguras terlalu banyak tenaga, namun perjalanan jadi terasa lama. Di ketinggian 1090 mdpl langkah terhenti, sudah tidak lagi ada celah jalur untuk dilalui, rapatnya pohon Kaliandra ditambah juluran tanaman rambat menutupi arah ke puncak. Sudah lewat tengah hari, kami harus segera meneruskan perjalanan supaya cepat sampai ke puncak, mengingat masih musim hujan kami khawatir perjalanan akan semakin berat apabila hujan, akhirnya diputuskan untuk langsung saja naik secara vertikal untuk menghemat waktu, tidak lagi zig-zag.






Langkah demi langkah kami lalui sambil menerabas rapatnya pepohonan Kaliandra, tangan sibuk menyibak ranting dan tanaman julur, letih terasa, namun melihat jarak di peta digital sudah semakin mendekati puncakan, kami paksakan untuk terus bergerak, akhirnya pukul 13.05 kami tiba di puncakan gunung Haruman di ketinggian 1195 mdpl, satu jam kami habiskan untuk menerabas jalur yang hanya berjarak sekitar 240 m saja, benar – benar “galak” gunung ini. Di puncakan kami lanjutkan perjalanan menuju puncak utama, puncak Batukuda. Tak lama kami tiba di sebuah dataran yang terdapat batu besar di ketinggian 1198 mdpl, disini kami beristirahat, ngopi sambil mendiskusikan jalur berikutnya, masih ada sekitar 500 m lagi menurut tracklog untuk mencapai puncak Batukuda (1219 mdpl) dengan kondisi jalur yang kami pun tidak tahu akan seperti apa. Beberapa potong cemilan dan beberapa gelas kopi racikan seorang teman sanggup membuat semangat kami tumbuh kembali untuk segera menginjakkan kaki di puncak Batukuda, kami menikmati seduhan kopi di tengah cuaca mendung berangin dan berkabut tebal sambil diiringi suara gemuruh guntur di kejauhan.



jalur menghilang


Barista sedang meracik kopi
Pukul 14.00 kami kembali bergerak menyusuri jalan setapak di kerimbunan vegetasi gunung Haruman, pohon Kaliandra masih mendominasi vegetasi di sekitar puncakan ini. Ternyata jalur yang sempat terbuka di dekat tempat istirahat itu tidak sampai 100 m jaraknya, kami kembali kehilangan jalur, suasana yang masih berkabut tebal menyulitkan kami untuk orientasi, tracklog dan GPS kembali menjadi pegangan supaya kami tidak menyimpang terlalu jauh. Sekitar 270 m berjalan, kami bertemu puncakan dengan beberapa gunduk batu besar terserak di ketinggian 1211 mdpl, ini bukan puncak utama ternyata, masih ada 125 m garis lurus ke arah timur untuk menggapainya, kembali kami menerabas membuka jalur untuk mencapai puncak utama, setelah sekitar 300 m kami berjalan akhirnya kami menemukan jalur menuju puncak, dan pada pukul 15.00 kami berhasil menginjakkan kaki di puncak Batukuda, puncak utama gunung Haruman yang berketinggian 1219 mdpl. Kondisi puncak berupa dataran yang tidak begitu luas, di sekelilingnya tertutup vegetasi dengan masih didominasi pohon Kaliandra. Ada batu besar terdapat di sana, mungkin itulah situs Batukuda yang dimaksud. Bentuknya tidak seperti kuda dalam kondisi utuh, dari beberapa sudut lebih menyerupai kepala kuda dengan moncong menghadap tanah.

Puncak Batukuda gn Haruman




Di puncak Batukuda kami tidak lama beristirahat, hanya mengambil beberapa foto kenang – kenangan kami pun bergegas turun, dari puncak terlihat jalur cukup jelas mengarah ke timur/ Cibiuk, namun belum lama berjalan jalur kembali hilang, kembali kami harus mengandalkan GPS dan tracklog untuk menuju titik finish. Hari semakin sore dan hujan mulai turun, pijakan menjadi semakin licin. Serasah bambu dan akar Kaliandra benar – benar menjadi jebakan yang berkali - kali membuat terjerembab, belum lagi kontur yang menurun curam, tarikan gravitasi semakin membuat kami tersiksa. Mengingat waktu yang semakin sore, kami kembali mengambil opsi untuk menyusuri lereng secara vertikal meskipun dengan resiko semakin sering terjatuh dan kesulitan untuk mengontrol langkah. 

Tidak banyak yang bisa diceritakan di sini, kami hanya konsentrasi untuk melangkah turun dengan tetap berpedoman kepada GPS dan tracklog agar tidak terlalu jauh menyimpang. Setelah hutan Kaliandra terlewati dengan susah payah, vegetasi berganti hutan bambu. Foto, data lokasi, waktu dan ketinggian pun tidak sempat kami rekam disini mengingat kami masih harus berjibaku jatuh bangun melewati hutan bambu yang lantainya sudah basah oleh air hujan, fisik dan mental benar – benar diuji, ketika pijakan kaki sudah tidak bisa menemukan tumpuan maka tangan pun menggapai - gapai mencari ranting atau batang yang bisa dipegang untuk sekedar mengurangi laju. Lepas dari hutan bambu kami kembali memasuki hutan Kaliandra, di sini kami sempatkan untuk melihat GPS, ah ternyata jarak menuju ke batas ladang sudah tidak begitu jauh. Kami terus berjalan sambil berkali – kali terpeleset, dan akhirnya pukul 16.55 kami keluar dari hutan Kaliandra dan mulai masuk ke kebun yang banyak ditanami pohon Gmelina/ Jati Putih (840 mdpl), lega rasanya, langkah semakin dipercepat, kami pun memasuki ladang jagung. Akhirnya pukul 17.10 kami memasuki jalan beton seukuran lebar badan kendaraan roda 4 (710 mdpl), dari sini kami tidak lagi mengikuti tracklog tapi berjalan mengikuti jalan besar saja dengan harapan jalan ini berujung di sebuah kampung. 

Lumayan jauh sekitar 950 m berjalan, pukul 17.30 kami tiba di desa Cipaeuran, hujan membuat suasana desa sepi, beruntung ada warung yang masih buka, kami bergegas menuju ke sana untuk menanyakan arah dan posisi kampung Haruman Sari. Dan jawaban pemilik warung sedikit menjatuhkan mental, ternyata jarak yang harus ditempuh untuk menuju Haruman Sari cukup jauh karena berada di sisi utara gunung Haruman, yang berarti ada di sebalik posisi kami saat ini yang berada di sisi selatan, jadi kami harus mengitari separuh tubuh gunung Haruman untuk kembali ke titik start. Ketika dicek di Google Maps, jarak menuju Haruman Sari sekitar 9 km, bukan jarak yang dekat untuk dicapai dengan jalan kaki apalagi hari sudah beranjak senja. Maka diputuskanlah kami akan ke jalan raya Cibiuk dengan harapan bisa mendapatkan tumpangan ojek atau menyewa mobil untuk kembali ke titik start. Namun kembali ujian kami dapati ketika sampai di jalan raya Cibiuk - Leuwigoong, hujan membuat jalanan sepi, beruntung ada 1 angkot yang mau mengangkut kami sampai pertigaan Leuwigoong - Banyuresmi. Masalah kembali datang di pertigaan Banyuresmi, jalan menuju Leles diblokir polisi karena kondisi Leles macet parah efek dari liburan weekend, alhasil kami harus berjalan menyusuri jalan raya Leuwigoong - Leles sambil berharap ada ojek nangkring, namun nihil, hampir tidak ada kendaraan melintas atau pun ojek yang nangkring. 

Di setengah perjalanan kami tiba di sebuah pertigaan, ada motor melintas dan kami pun meminta tolong kepada pengemudi motor tadi untuk mencarikan ojek sambil mereka pulang, mereka menyanggupinya. Kami pun kembali berjalan, dan tak disangka sangka setelah sekitar 2 km berjalan, pengemudi motor tadi kembali bersama temannya membawa satu motor lagi dan menawarkan untuk mengantarkan kami ke kampung Haruman Sari, Alhamdulillah pertolongan Allah melalui kedua orang ini akhirnya yang mengantarkan kami ke Haruman Sari. 

Pukul 19.30 kami semua akhirnya tiba di kampung Haruman Sari, pemilik warung yang kami titipi motor terlihat lega ketika kami tiba, beliau khawatir terjadi sesuatu seperti tersesat atau semacamnya, bahkan sempat berseloroh hampir saja mereka membuat laporan kehilangan ke Mapolsek Kadungora hahaha.......Alhamdulillah kehangatan sang pemilik warung dan keluarganya membuat kami leluasa untuk beristirahat melepas lelah, segera beberapa mangkuk mie rebus mengisi rongga – rongga perut kami yang tidak sempat diisi makanan berat, cukup untuk kembali menghangatkan tubuh dan menambah tenaga guna melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung. Harapan untuk makan – makan di rumah makan sambal Cibiuk pun sirna, tapi tidak apalah, acara makan – makan di rumah makan Cibiuk dengan sambal yang khas warisan dari Syekh Jafar Sidik sang penyebar agama islam di Garut Utara tersebut bisa diagendakan di lain waktu. Setelah berpamitan dengan pemilik warung dan keluarganya, tepat pukul 20.00 kami beranjak meninggalkan kampung Haruman Sari yang bersahaja ini, menembus kemacetan libur weekend Kadungora kembali menuju Bandung.

Tracklog & elevation profile



Tuesday, November 21, 2017

SERUNYA SENSASI NIGHT HIKING BATUKUDA – PUNCAK GUNUNG MANGLAYANG

 Seperti halnya night riding yang tujuannya mencari suasana dan tantangan baru ketika melakukan aktifitas bersepeda, night Hiking atau tektok malam hari (tektok = oneday hiking) juga cukup menarik dan menawarkan tantangan dan sensasi tersendiri. Setelah lebih dari 10 tahun lalu saya sempat melakukan pendakian malam hari, saya berkesempatan kembali merasakan serunya night Hiking ke kawasan timur Bandung bersama beberapa teman. Hiking atau tektok malam hari memiliki beberapa keuntungan seperti udara yang lebih sejuk sehingga membuat kondisi tubuh tidak cepat lelah, juga kondisi malam yang gelap cukup bisa “menyembunyikan” tanjakan – tanjakan terjal sehingga mental kita cukup terjaga, tidak drop ketika melihat tanjakan yang akan dihadapi, dan tentu saja bonus sunrise yang akan kita dapatkan begitu kita menginjakkan kaki di puncak.
  


Minggu dinihari di akhir libur panjang Idul Fitri tahun 2015 kemarin tektok dilaksanan dengan tujuan puncak gunung Manglayang (1824 mdpl) sekaligus menikmati sunrise di puncak timur (1665 mdpl) yang sudah cukup terkenal keindahannya di antara para pendaki Manglayang. Pukul 01.15 dini hari setelah saya dan 5 orang teman  berkumpul di daerah Cibiru, kami bergerak menuju bumi perkemahan Batukuda yang menjadi titik awal pendakian gunung Manglayang, 15 menit kemudian kami semua tiba di buper Batukuda (1100 mdpl), mendaftarkan diri di pos pendakian dan tepat pukul 01.45 kami semua meninggalkan pos pendaftaran untuk memulai pendakian. Suhu dingin di awal perjalanan sempat kami rasakan, namun tidak sampai 30 menit kami berjalan, semua mulai menanggalkan jaket karena tanjakan – tanjakan di awal pendakian telah membuat tubuh panas dan berkeringat. Jalur pendakian kering dan berdebu, sepertinya dampak musim kemarau sangat terasa di sekitar kawasan ini. Saya membayangkan “penderitaan” yang akan dirasakan apabila tektok dilakukan siang hari, sengatan sinar matahari dan debu pasti akan setia menemani perjalanan menapaki jalur pendakian curam di gunung ini. Gelapnya malam ternyata mampu menyembunyikan kekejaman jalur pendakian gunung Manglayang.


Satu per satu tanjakan terlewati, saling mengobrol di sepanjang perjalanan membuat perjalanan menjadi menarik, hangatnya obrolan menghilangkan suasana mencekam yang biasanya selalu menghampiri kala malam gelap gulita. Waktu terus berjalan, tidak terasa sudah 2,5 jam kami berjalan dan sudah lebih dari 2 km jalur ditempuh, pantas saja lutut sudah agak goyah dan badan terasa letih. Kami berhenti sejenak untuk beristirahat, sayup terdengar lantunan azan awal di kejauhan, damai sekali rasanya suasana di tempat beristirahat ini, di depan kami sungguh gelap, entah seperti apa jalur yang akan dihadapi selanjutnya. Setelah sekitar 10 menit kami beristirahat perjalanan dilanjutkan, sekitar 30 berjalan, kami bertemu jalur mendatar, perangkat GPS menunjukkan bahwa kami saat ini berada di kawasan puncak bayangan (±1669 mdpl). Jarak ke puncak utama sekitar 500 m garis lurus, terlihat kontur yang semakin rapat, pertanda kami akan menghadapi jalur yang menanjak curam. Di ketinggian ±1720 mdpl kami bertemu dengan tanjakan yang tersusun dari batu – batu besar, cukup menguras tenaga menaklukkannya, nanti siang ketika kami turun kami pasti akan mengetahui wujud asli tanjakan kejam ini.


Pukul 04.15 kami semua tiba di puncak utama gunung Manglayang (1824 mdpl), banyak tenda berdiri di sini, namun kami tidak sempat berhenti, perjalanan tetap dilanjutkan menuju puncak timur tujuan utama kami. Jarak dari puncak utama sampai ke puncak timur sekitar 750 m dengan kondisi menurun curam, karena perbedaan ketinggian yang hampir 200 m dengan puncak timur. 15 menit kami berjalan, sesekali kami harus melipir di antara tenda – tenda pendaki yang didirikan di jalur menuju puncak timur. Tepat ketika azan subuh berkumandang kami semua tiba di puncak timur gunung Manglayang (±1665 mdpl) atau yang dikenal juga dengan puncak Prisma. Segera kami mencari lokasi yang strategis di kawasan puncak yang sebenarnya cukup sempit ini, menunggu terbitnya sang mentari sambil berharap bisa mendapatkan momen sunrise yang sangat menakjubkan itu. Beberapa pendaki mulai berdatangan juga ke kawasan puncak timur dengan tujuan yang sama. Pukul 05.00 fajar menyingsing, selarik garis keemasan mulai nampak mewarnai ujung langit timur yang pekat, perlahan sang mentari mulai terbangun dari peraduannya, menghapus gelap dan cahaya pagi mulai memainkan perannya.





05.45 sunrise sudah sempurna berwujud, kami semua menghadap ke arah timur sambil memegang kamera masing – masing, mulai mengabadikan momen menakjubkan yang sudah dinanti – nanti ini, lupa sudah kami semua pada dinginnya udara pagi yang sesekali ditingkahi hembusan angin kencang. Hanya satu yang tidak kami jumpai saat itu, gumpalan awan putih di bawah puncak gunung yang kemudian memunculkan istilah “negeri di awan” itu tidak nampak, entah karena faktor ketinggian gunung ini atau adah hal lain, entahlah, kami tidak begitu faham. Untuk menyambut pagi yang cerah ini sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa suguhan kopi panas dan beberapa makanan ringan. Segera teman kami mengeluarkan kompor dan perlengkapan masak portabel kemudian mendidihkan air, tak lama kemudian beberapa gelas minuman panas dan makanan ringan tersaji di hadapan. Sambil menikmati sarapan pagi kami menikmati pemandangan di sekeliling puncak. Di timur pandangan tertuju pada puncak gunung tinggi menjulang, itulah gunung tertinggi di jawa barat, gunung Ciremai, terus bergeser ke tenggara, kami mendapati gunung Geulis dan samar terlihat gunung Kerenceng – Kareumbi, gunung Buyung, Mandalawangi, terus menyambung ke selatan sang tanah tertinggi di Bandung Raya gunung Kendang anggun berdiri seakan berdampingan dengan pegunungan Malabar. Hampir semua gunung di kawasan selatan Bandung sangat terlihat jelas dari puncak timur. 





2 jam lebih kami berada di puncak Timur, tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 07.45, kami segera membereskan bawaan, merapikan backpack, tak lupa membersihkan sampah kemasan bekas sarapan untuk kami bawa ke bawah. Tepat pukul 08.00 kami beranjak meninggalkan puncak timur menuju puncak utama. Sekarang terlihat jelas pemandangan di sekeliling puncak timur ini, tak jauh dari posisi kami tadi terdapat jalur Barubeureum Kiara Payung Jatinangor di sebelah utara puncak, di sebelah selatan terlihat jajaran pegunungan selatan Bandung, dan di sebelah barat pemandangan tertumbuk pada tubuh gunung Manglayang yang masih diselimuti pepohonan cukup rapat. Sebenarnya dari puncak timur ada jalur yang langsung menuju buper Batukuda, yaitu jalur Tebing Doa, namun jalur ini sangat tidak direkomendasikan untuk dilalui karena kondisi jalur yang ekstrem, di beberapa bagian jalur berada di tebing dengan kemiringan lebih dari 60º dan kita harus meniti dan menuruni tebing itu. Karena terjalnya tebing itu, ketika seseorang melewatinya dia tidak henti – hentinya berdoa agar dia selamat sampai ke bawah, mungkin dari sanalah tebing tersebut dinamakan Tebing Doa. Trip puncak Manglayang melalui jalur tebing doa ini akan saya ceritakan di tulisan berikutnya.

Narsis dulu sebelum pulang :)

Jalur menuju puncak utama gn Manglayang

Seperti diduga sebelumnya, ternyata benar jalur menuju puncak utama cukup terjal dan menguras tenaga. Pukul 08.45 kami tiba kembali di puncak utama, kami pun beristirahat sambil mengambil beberapa foto di plang triangulasi. Pukul 09.00 kami meninggalkan puncak utama untuk kembali ke buper Batukuda. Ternyata benar saja tanjakan batu yang dilewati sebelumnya itu sangat curam, beruntung sekali gelapnya malam telah menyembunyikannya. 

Puncak utama Manglayang 1824 mdpl




Hari semakin panas, daun – daun tampak kecoklatan dibakar panasnya matahari kemarau. Kami mempercepat langkah supaya cepat sampai ke buper Batukuda. Dan pukul 11 lebih kami semua tiba di buper Batukuda, setelah beristirahat dan melapor kembali ke pos pendakian, tepat pukul 12 siang kami beranjak meninggalkan buper Batukuda kembali ke rumah masing – masing.

Buper Batukuda



*Sebagian foto diambil dari koleksi foto mang Agus Suga

Wednesday, October 25, 2017

MENJEJAKKAN KAKI DI PUNCAK MANDALAWANGI, MENGUNJUNGI “PERISTIRAHATAN TERAKHIR SANG NINI”

Gunung Mandalawangi berketinggian 1650 mdpl berada di ujung timur kota Bandung, berbatasan langsung dengan kabupaten Garut. Jalur pendakian yang paling umum adalah melalui kampung Cibisoro desa Bojong kecamatan Nagreg yang bisa diakses dari jalan raya Nagreg samping markas Yonif Linud 330 Kostrad, berjarak sekitar 3 km dengan menyusuri jalan beraspal mulus ke arah selatan. Gunung ini menjadi gunung tertinggi di kawasan timur Bandung, sehingga saya pribadi memasukannya ke dalam daftar gunung tertinggi mewakili kawasan timur dalam daftar 7 Summits/ 7S Gunung Bandung melalui pendekatan arah mata angin (Pikiran Rakyat edisi 16 Agustus 2015). Sedangkan kawan – kawan komunitas Jelajah Gunung Bandung memasukkan gunung ini ke dalam daftar 7 Summits Gunung Bandung berdasarkan aspek kesejarahan dengan bertolak dari pembagian wilayah Bandung tempo dulu yang dikenal dengan Tatar Ukur. Tatar Ukur itu sendiri terbagi dalam 9 wilayah yang disebut dengan Ukur Sasanga dan menempatkan gunung Mandalawangi sebagai penanda dari wilayah Ukur Pasirpanjang dalam Ukur Sasanga tadi. Jelajah Gunung Bandung/ JGB kemudian melakukan ekspedisi 7S mendaki gunung – gunung dalam daftar 7S tersebut pada tanggal 17 – 25 Oktober 2015 bertepatan dengan milad kelima komunitas ini.

Gunung Mandalawangi

Pendakian kali ini juga sebagai salah satu agenda dari beberapa kegiatan dalam menyambut milad Jelajah Gunung Bandung/ JGB yang saat ini sudah menginjak usia 7 tahun, sengaja dipilih gunung Mandalawangi sebagai upaya untuk memperkenalkan bahwa gunung di seputaran Bandung itu tidak hanya melulu di kawasan utara dan selatan saja, tetapi di kawasan timur juga memiliki gunung eksotis dan sangat layak untuk dijelajahi, serta untuk kembali mengingatkan kita bahwa gunung ini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya kota Bandung.

Pendakian dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2017, dan start tepat pada  pukul 09.15. Pendakian kali ini melibatkan sekitar 20 peserta. Setelah berdoa bersama tim bergerak menyusuri jalan makadam yang di kanan kirinya terdapat banyak “Lio” atau tempat untuk memproduksi batu bata. Tanah di sekitar lio terlihat berundak, ada yang tinggi, ada yang rendah bahkan sudah lebih rendah dari permukaan jalan, permukaan tanah yang lebih rendah menandakan bahwa material tanah di sekitar situ sudah dieksplorasi untuk dijadikan batu bata. Tak lama berselang kami masuk ke jalur ladang, semakin berjalan ke atas pepohonan semakin rimbun dan memayungi tim yang sudah sedikit kepanasan terpapar sinar matahari, hampir 15 menit kami berjalan dari bibir jalan setapak hingga ke pintu hutan, jalur tidak ada bonus datar dan batu – batu besar terhampar di jalur pendakian, terlihat lebih mirip sungai kering. 





Meskipun jalur masih terlihat jelas, namun tetap pada satu titik kami sempat salah menentukan jalur yang akan dilalui, karena jalur yang asli tertutup rerimbunan pohon bambu, membuat kami akhirnya memilih jalur yang sedikit melambung ke arah kiri jalur sebenarnya, dan jalur ini berakhir tidak jauh dari titik jalur yang tertutup rerimbunan bambu tadi. Dari sini perjalanan seharusnya sedikit diperlambat supaya tidak kembali salah menentukan jalur, namun kami yang bersemangat lupa akan hal tersebut, dan akhirnya kembali harus masuk ke jalur yang salah, karena belokan ke jalur yang sebenarnya tertutup rerimbunan. Penyimpangan jalur kali ini lumayan jauh dan menguras tenaga, kami naik ke punggungan, dan ketika sampai di atas, jalur hilang, sementara jalur yang sebenarnya ternyata di bawah posisi kami saat ini. Alhasil kami harus menuruni lembah serta menerabas rerimbunan, webbing pun dipergunakan untuk mempermudah gerak menuruni lembah yang licin dan lembab, di dasar lembah kami kembali harus naik dengan menerabas untuk kembali ke jalur yang sebenarnya, dan webbing kembali menjadi penolong melewati lembahan ini.





Sekitar pukul 12.30 siang kami baru bisa kembali ke jalur pendakian yang sebenarnya di ketinggian ±1388 m, beristirahat sebentar dan perjalanan pun dilanjutkan kembali karena masih ada sekitar 1,6 km lagi untuk mencapai puncak Mandalawangi. Kami diingatkan kembali untuk jangan meremehkan gunung – gunung Bandung, persoalannya bukan hanya sekedar ketinggian yang tidak seberapa, tetapi samarnya jalur, rapatnya vegetasi serta terjalnya medan menjadi catatan tersendiri yang bisa membuat siapapun tidak akan mudah mendakinya




Target awal mencapai puncak pukul 12 siang tampaknya harus segera direvisi menjadi mencapai puncak secepat mungkin. Jalur pendakian masih menanjak namun tidak securam di awal tadi, pepohonan semakin rimbun, tampak juga pepohonan berbatang raksasa,  berusia puluhan tahun. Target untuk cepat menggapai puncak membuat para leader di depan mempercepat langkah, namun sayangnya langkah mereka tidak terkejar oleh kami yang berada di belakang, kami tercecer menjadi beberapa grup kecil. Sekitar pukul 13.45 kami tiba di sebuah puncakan di ketingian ±1590 m, di sana kami bertemu dengan beberapa pemburu burung, sepertinya sang leader menanyakan arah puncak Nini Ranteng ke pemburu tadi dan mereka menunjuk ke puncakan yang ada di sebelah barat puncak utama, kami juga yang buta jalur mengikuti saja petunjuk yang diberikan oleh pemburu, beruntung tak lama kemudian para leader datang dan menyebut bahwa puncak Nini Ranteng yang dimaksud para pemburu berbeda dengan puncak Nini Ranteng atau puncak utama hasil plotting kawan JGB sebelumnya, setelah sedikit berunding kami memutuskan untuk mengikuti jalur dari tracklog yang mengarah ke puncak tertinggi.




Jalan semakin menanjak, fisik semakin melemah membuat kembali beberapa peserta tercecer, pada pukul 14.00 saya beserta 5 orang kawan akhirnya menginjakkan kaki di puncak Mandalawangi kemudian berturut – turut anggota tim berdatangan, alhamdulillah akhirnya seluruh tim tiba di puncak Mandalawangi. Puncak utama mandalawangi (1650 mdpl) berupa dataran tidak terlalu luas dan tepat di tengahnya terdapat formasi batuan menyerupai makam, yang menurut kawan yang mendaki gunung ini jauh sebelum kami, inilah “makam Nini Ranteng”, bertolak belakang dengan “makam Nini Ranteng” versi pemburu yang merujuk pada puncak berketinggian 1560 m di sebelah barat puncak utama, mungkin saja di “puncak 1560” itu memang terdapat makam, harus didatangi pada kesempatan berikutnya untuk membuktikannya.


Makam Nini Ranteng Puncak Mandalawangi




“Makam Nini Ranteng” awalnya terlihat seperti berada di dalam saung, hanya ketika kami tiba disana, bangunan saung tersebut hanya menyisakan rangkanya saja, juga kain putih yang melilit batang – batang pohon di sekeliling makam yang dijumpai teman – teman tim 7S JGB sudah tidak nampak lagi. Beruntung sekali cuaca selama perjalanan naik cerah sehingga bisa mempermudah langkah kaki menuju puncak, namun meskipun cerah, tetap saja beberapa dari kami terkena serangan pacet, mungkin akibat lingkungan yang sangat lembab karena pepohonan yang rindang membuat sang pacet tidak terganggu oleh cuaca cerah saat itu.  






Segera kami membuka perbekalan dan mengisi perut untuk mengembalikan stamina yang sudah terkuras sejak tadi, 4 orang peserta turun lebih dahulu berhubung waktu yang mereka miliki tidak memungkinkan untuk ikut turun bersama kami. Hampir 1 jam kami berada di puncak Nini Ranteng, rencana turun pukul 16 dan target sampai mesjid kampung Cibisoro saat magrib atau pukul 18.00. setelah berfoto bersama dan berdoa untuk kelancaran kami semua, satu per satu tim meninggalkan “peristirahatan terakhir Nini Ranteng”, puncak utama Mandalawangi.







Pukul 15.40 kami beranjak turun tidak menggunakan jalur semula, tapi mengambil jalur yang sedikit mengarah ke timur, dengan harapan bisa memotong jalur memutar di sekitar tempat bertemu pemburu burung tadi. Entah karena keasyikan menikmati jalur menurun, kami jadi lengah tidak memperhatikan GPS akhirnya berjalan terlalu melenceng ke arah selatan, beruntung kami cepat tersadar. Kami berhenti, melihat peta digital dan berdiskusi, dan diputuskan untuk kembali ke jalur asli dengan cara melipir melintasi 2 punggungan dan 1 lembahan, saat itu kami sudah berjalan sekitar 700 m dan berada di sebuah puncakan di ketinggian 1494 m, dari puncakan kami mencoba untuk terus turun ke arah lembahan di sebelah utara. Namun karena hari semakin sore, apabila diteruskan untuk menerabas membuka jalur, kami tidak tahu akan memakan waktu berapa lama lagi meskipun posisi kami sebenarnya berada tidak begitu jauh dari posisi melenceng di waktu perjalanan naik tadi siang, hanya berjarak ± 200 m saja. Pertimbangan lainnya adalah kami tidak tahu kondisi medan di depan real-nya seperti apa, karena rupa kontur di peta tidak akan sama persis dengan apa yang ada di lapangan, di lembahan dengan kondisi seperti sungai kami takutkan akan dihadang tebing air terjun, atau semak belukar sangat rapat yang sulit ditembus. Maka diputuskanlah kami akan melintasi punggungan ini menuju lembah, kemudian naik lagi ke punggungan berikutnya tempat jalur yang asli berada.

Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.00, alhamdulillah setelah berjalan sekitar 350 m menerabas semak kami sampai juga di jalur yang asli. GPS menunjukkan ketinggian 1478 m, dan masih menyisakan jarak ± 2.8 km lagi untuk mencapai kampung Cibisoro. Segera kami re-grouping, senter – senter dipersiapkan, dan perlahan mulai bergerak menembus hari yang sudah beranjak gelap, jalur yang siang pun terlihat samar membuat kami harus ekstra konsentrasi ketika melewatinya di kegelapan malam, beberapa kali kami melenceng keluar dari jalur. Pukul 17.50 kami  tiba di sebuah dataran, beristirahat sejenak sambil mendiskusikan jalur yang akan ditempuh untuk turun, khususnya di persimpangan tempat tadi melenceng sewaktu naik, dan diputuskan kami akan mengikuti jalur 7S.

Pukul 18.00 perjalanan dilanjutkan, hari telah gelap sempurna, kami berjalan ditemani senter dan tak lama kemudian tiba di persimpangan jalur 7S dan jalur melenceng siang tadi. Kami tidak menyadari bahwa ternyata jalur ini sudah sangat banyak berubah dari semenjak tim 7S melewatinya, sekarang jalur tersebut sudah serupa sungai kering dengan jeram – jeram yang cukup dalam, tidak mungkin rasanya untuk terus memaksakan melewatinya, solusinya adalah dengan melewati pinggirannya. Satu per satu kami pun berjalan di pinggiran “sungai kering” tadi, semakin ke bawah medan semakin curam, webbing pun dipergunakan untuk memperlancar pergerakan. Jalur yang berat dan kondisi fisik yang melemah benar - benar menjadi ujian bagi kami, satu per satu anggota tim menuruni jalur dengan berpegangan pada webbing yang sudah ditambatkan di atas. pukul 19.00 kami semua berhasil melewati jalur sungai dan tiba di sebuah persimpangan dengan area dataran cukup luas, kami beristirahat sejenak sekedar mengendurkan otot kaki yang semakin menegang. Masih tersisa ±2 km lagi untuk mencapai kampung Cibisoro, namun dari sini kerlip lampu pemukiman sudah mulai terlihat, cukup membuat kami sedikit tenang, setelah tim lengkap segera perjalanan dilanjutkan. Jalur berbatu cukup menyiksa namun semangat untuk segera keluar hutan dan kembali ke “peradaban” membuat perjalanan serasa cepat. Pukul 20.15 akhirnya kami keluar pintu hutan, dan tidak lama kemudian masuk ke jalur ladang, dan bertemu jalan makadam. Tepat pukul 20.30 saya dan seluruh tim akhirnya tiba dengan selamat di kampung Cibisoro.

Tracklog

Hari semakin larut membuat kami tidak bisa berlama – lama, terutama saya yang masih harus melanjutkan perjalanan pulang ke Singaparna Tasikmalaya. Saya dan beberapa teman memutuskan untuk pulang duluan, setelah berpamitan kami pun meninggalkan teman – teman yang lain yang masih beristirahat, satu per satu motor beranjak turun meninggalkan kampung Cibisoro yang sudah senyap dalam dekapan malam, dan hari itu Mandalawangi telah memberikan kami banyak cerita, pengetahuan dan pengalaman berharga untuk kami bawa pulang.