Sunday, December 11, 2016

GOWES SANTAI SINGAPARNA – SITU SANGHYANG CIBALANARIK TASIKMALAYA

Akhirnya kesempatan ini pun tiba, saya bisa gowes sedikit jauh dari rumah, tujuan saya adalah danau Situ Sanghyang. Secara administratif Situ Sanghyang berada di desa Cilolohan kecamatan Tanjungjaya kab. Tasikmalaya, berjarak sekitar 10 km dari ibu kota kabupaten Tasikmalaya, singaparna. Sedangkan lokasi danau yang erat dengan legenda “Si Buncireung” jelmaan Eyang Prabu Linggawastu ini berjarak sekitar 850 m dari jalan raya Cibalanarik. Danau alam yang memiliki luas sekitar 37 Ha  ini menawarkan panorama indah yang sayang untuk dilewatkan, dan bagi penggemar sepeda, selain kita bisa gowes menuju lokasi danau, kita juga berkesempatan untuk mencicipi singel trek offroad mengitari tepian danau, lumayan menarik menyusuri singel trek sejauh kurang lebih 3 km ini.




Musim hujan masih berlangsung ketika saya gowes mengunjungi danau ini, minggu pagi sekitar pukul 7 sepeda mulai melaju ke arah kota Singaparna, udara sejuk dan jalan  sedikit basah sisa hujan semalam. Beberapa pesepeda ditemui namun sebagian besar mereka berbelok ke arah GEBU atau Gedung Bupati (pusat pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya) semacam Gasibu-nya kota Bandung yang menjadi pusat keramaian di setiap minggu pagi. Meninggalkan GEBU, semakin jarang goweser ditemui, dan ketika saya sampai di pertigaan Mapolres Tasikmalaya di samping jalan raya Mangunreja – Sukaraja yang akan mengantarkan saya menuju ke Situ Sanghyang, tidak dijumpai lagi goweser yang searah dengan saya. Entah kepagian start gowesnya atau kenapa, sendirian saja menyusuri jalan raya Mangunreja – Cibalanarik ini tanpa berpapasan dengan goweser lain. Jalan berhotmix mulus membuat gowesan terasa ringan, di kiri kanan hamparan pesawahan menghijau, situasi ini menjadi tipikal rute gowes yang selalu saya temui di daerah Singaparna dan sekitarnya. Jalanan menurun landai, karena memang Situ Sanghyang sendiri berada di ketinggian 350 mdpl sedangkan kota Singaparna berada di ketinggian 410 mdpl menurut data GPS yang saya pegang.



Lepas dari kecamatan Mangunreja memasuki kecamatan Tanjungjaya rupanya adalah akhir dari jalan beraspal mulus, berikutnya sepeda harus dikayuh di jalan aspal yang sebagian besar sudah rusak, terus hingga menuju pertigaan Cibalanarik – Situ Sanghyang. Tepat pukul 08 sayapun tiba di pertigaan Cibalanarik – Situ Sanghyang, dan di sebelah kanan jalan terdapat gapura “SELAMAT DATANG DI OBYEK WISATA SITU SANGHYANG”. Dari pertigaan ini jarak menuju Situ Sanghyang tinggal sekitar 800 m  lagi,  dengan kondisi jalan yang masih saja buruk. Pukul 08.15 sampai juga di Situ Sanghyang, masih sangat sepi ketika saya tiba, bahkan penjaga loketpun belum tampak, matahari memantulkan cahayanya di permukaan danau, suasana hening seperti inilah memang yang saya harapkan setiap mengunjungi suatu tempat, dengan leluasa bisa menikmati setiap jengkal keindahan yang tersaji. Sepeda kemudian diarahkan ke arah kiri areal parkir, mencari spot yang pas untuk berfoto, di seberang danau tampak sebuah bangunan formasi huruf bertuliskan “SANGHYANG” menambah keindahan danau ini. Setelah mengambil beberapa foto sepeda kembali melaju di jalan selebar 1 mobil  menuju ke formasi huruf tersebut, ketika tiba di sana ternyata sudah ada beberapa orang yang tengah berfoto – foto, saya mengurungkan niat untuk berfoto - foto dan memilih untuk melanjutkan perjalanan menyusuri pinggiran danau, jalanan semakin hancur, dan akhirnya hanya menyisakan jalan setapak dengan kondisi basah dan licin.

Ini yang saya inginkan, singel trek basah di tengah rerimbunan semak bisa menjadi hiburan tersendiri, sepeda sedikit dipacu meskipun harus sedikit waspada, karena di beberapa titik terdapat monorail yang tertutup air bisa menjebak dan menjatuhkan kita dari sepeda. Sesekali berpapasan dengan petani yang tengah menuju ke ladang mereka, juga para pemancing yang tengah asyik memperhatikan ujung joran mereka, benar – benar suatu harmoni yang menarik di tengah keindahan Situ Sanghyang. Setelah berhenti sejenak, menyapa dan sedikit mengobrol dengan para pemancing tadi, sepeda kembali melaju menyusuri singel trek yang sudah sedikit kering, jalan kembali melebar namun masih berupa tanah merah, dan akhirnya setelah kurang lebih 3 km sepeda melaju, pukul 09 saya tiba kembali di area parkir.

singel trek di pinggiran situ Sanghyang



Saat itu gerbang tiket sudah dibuka, pengunjung sudah mulai berdatangan, para pedagang juga sudah mulai meramaikan sekitar Situ Sanghyang. Di area parkir ini terdapat beberapa tempat duduk dengan posisi menghadap danau, tempat ini rupanya yang menjadi spot berfoto seperti pada foto – foto yang kerap saya jumpai di internet. Beberapa goweser juga sudah tampak di sekitaran area parkir, namun saya harus bergegas pulang, saya berencana untuk pulang tidak melalui jalur yang sama, entah lewat mana, yang saya tahu jalan raya Cibalanarik berujung di daerah Papayan kecamatan Sukaraja, masih sekitar 15 km lagi, belum dari Papayan menuju Singaparna yang berjarak sekitar 25 km dengan kondisi menanjak pula. Melewati jalur memintas melalui Urug – Pamipiran pun sepertinya sama melelahkannya, meskipun bisa mengurangi jarak sekitar 5 km, tapi sama saja banyak tanjakan yang masih harus dihadapi.

mengintip pemancing




Jurus GPS-pun akhirnya dikeluarkan, “Gunakan Penduduk Sekitar” untuk mencari informasi jalur yang harus dilalui, dan setelah bertanya – tanya, info pun didapat. Rute terdekat menuju Singaparna adalah dengan melewati kampung Tonjong yang berjarak sekitar 1 km dari pertigaan Cibalanarik – Situ Sanghyang dan saya memutuskan untuk pulang dengan melewati rute tersebut. Saat itu saya belum tahu bahwa sebenarnya selain lewat Tonjong, ada juga jalur menuju Singaparna tetapi dengan melalui Cibeuti kecamatan Kawalu terlebih dahulu, yaitu melewati kampung Tambakbaya dan tembus ke Tanjung - Cibeuti dengan jarak yang lebih jauh, sekitar 3 km dari pertigaan Situ Sanghyang, nanti saja saya akan coba rute yang melewati Tambakbaya.





Hanya memakan waktu 15 menit untuk mencapai kampung Tonjong, jalan kembali berhotmix mulus, dan masih saja menurun, kaki masih terasa ringan menginjak pedal. Setibanya di pertigaan Tonjong, sepeda berbelok ke arah utara, kembali menemui jalan menurun dan di depan terbentang aliran sungai Ciwulan, rupanya ada sedikit surprise yang akan saya dapatkan di ujung turunan ini, sebuah jembatan gantung beralas kayu menyambut saya, di bawahnya mengalir deras sungai Ciwulan yang bermuara ke pantai Karang Tawulan selatan Tasikmalaya. Jembatan gantung yang mengingatkan saya kepada jembatan gantung yang menghubungkan kampung Daraulin dan jalan raya Cipatik - Soreang di selatan Bandung, namun jembatan gantung Tonjong lebih eksotis karena berada di lembah nan hijau dengan hamparan sawah – sawah, di bawahnya mengalir deras sungai Ciwulan dengan jeram – jeramnya yang eksotis. Sejenak saya berhenti di jembatan gantung Tonjong ini untuk mengambil beberapa foto dan mengobrol dengan seorang bapak yang menjaga dan mengatur lalu lalang kendaraan melewati jembatan ini, menurut bapak ini terkadang terlihat beberapa penyuka olahraga arung jeram melintas menerjang jeram – jeram Ciwulan yang memang terlihat sangat menantang. Menurut saya sangat berjasa sekali si bapak ini, beliau mengatur siapa yang harus duluan melewati jembatan gantung. Tidak terbayang apabila tidak ada si bapak, motor akan saling berebut untuk duluan masuk ke jembatan gantung yang lebarnya hanya 1 m ini, yang akan membuat motor - motor tersebut “stuck” di tengah jembatan kareana tidak saling mengalah. Selembar uang kertas pecahan 1.000 atau 2.000 saya rasa sangat layak untuk dimasukkan ke “kencleng & sair” yang dipasang di mulut jembatan gantung.

Jembatan gantung Tonjong-Sukarame

Berlatar sungai Ciwulan


Dan menurut si bapak tadi, ternyata jembatan ini terhubung ke daerah Sukarame, posisinya sekitar 500 m dari kantor Polsek Sukarame, berarti tinggal sekitar 6 km lagi yang harus saya tempuh dengan mengambil jalur ke arah utara untuk pulang. Namun tepat dari ujung jembatan saya disambut tanjakan lumayan panjang hingga ke jalan raya Sukarame berlanjut menyusuri jalan yang masih berhiaskan beberapa tanjakan landai hingga daerah tempat tinggal saya, berhubung jembatan Tonjong ada di ketinggian 295 mdpl dan saya harus gowes kembali menuju ke 410 mdpl.

Tracklog situ Sanghyang (jalur warna hijau)

Statistik trip situ Sanghyang

Dimuat di harian Pikiran Rakyat edisi 12 Februari 2017


(data – data tulisan sebagian disarikan dari : https://dyaiganov.wordpress.com/situ sanghyang)

Tuesday, December 6, 2016

MENERAWANG JALUR – JALUR GOWES SEPUTARAN SINGAPARNA TASIKMALAYA

Sejak kepindahan saya ke Singaparna yang menginjak bulan ke 5 ini, sepeda kesayangan belum diajak gowes “serius”. Di waktu awal – awal tersebut saya hanya mencoba berkeliling naik motor sambil berkunjung ke pengrajin – pengrajin yang kebetulan rumah mereka agak jauh dari kediaman. Dari mereka saya mendapat beberapa info jalur yang bisa digunakan sebagai alternatif rute bersepeda, sambil sedikit mengintip peta, dan akhirnya saya mendapatkan beberapa rute tersebut dan telah mencobanya. Tidak terlalu jauh memang, rata – rata jarak tempuh rute rute ini dalam kisaran 20 – 25 km dengan elevasi rata – rata 100 – 200m, namun rute - rute ini ternyata mampu membuat saya berkeringat juga ketika menyusurinya. 
  
Beberapa rute yang pernah dicoba yaitu Singaparna – Sukarame – Pamipiran, Singaparna – Sukarame – Asta – Mangkubumi, Singaparna – Sukarame – Cibeuti – Mangkubumi, Rancapaku – Bantarsari – Bypass Indihiang, Singaparna – Rancabango – Bypass Indihiang, Singaparna - Cigalontang. Rute – rute ini meskipun sebagian besar cenderung datar, tapi ketika dicoba untuk gowes dengan kecepatan agak tinggi ternyata rute tersebut bisa membuat saya kewalahan juga, ditambah mungkin karena badan yang semakin “berkembang” membuat beban gowes menjadi semakin berat sepertinya hahaha.... 
 
Singaparna - Cibeuti - Cibanjaran


Singaparna - Cilembang via bypass Indihiang



Dan pencarian terhadap rute – rute gowes masih berlanjut, saya mencoba menerawang kembali Google Maps, didapatlah beberapa lagi beberapa rute seperti Singaparna – Cibalanarik – Sukaraja, Singaparna – Cibalanarik – Tanjung - Cibeuti, Singaparna – Tanjung – Pamipiran – Urug, Singaparna – Situ Sanghyang, Singaparna – Prasasti Geger Hanjuang, Singaparna – Kawah Galunggung, dan Singaparna – Kampung Naga. Dari semua rute yang tersebut di atas, saya baru mencoba Singaparna – Situ Sanghyang dan pulangnya memutar lewat jembatan gantung Tonjong menuju Sukarame (nanti akan dibahas terpisah), dan satu lagi menuju gerbang Galunggung, belum dianggap lulus karena saya belum gowes sampai ke parkiran atas.  Satu hal yang menarik dari jalur - jalur gowes yang saya sebutkan tadi, nyaris semua jalur tadi memiliki kesamaan yang khas dan susah ditemui di daerah lain, yaitu semua jalur gowes tadi selalu melewati hamparan persawahan luas dan bukit - bukit kecil dengan pepohonan yang lumayan rimbun, konon bukit - bukit itu adalah sisa - sisa letusan dahsyat gunung Galunggung pada masa lampau.



Singaparna-Rancapaku - Bypass Indihang (Cibanjararn)


Singaparna - Sukarame - Asta - Cibanjaran


Singaparna - Cibalanarik - Pamipiran  - Urug


Ketika di timeline instagram banyak berseliweran foto foto curug/ air terjun di sekitar kaki Galunggung, saat itulah saya mulai tertarik mencari tahu rute menuju curug – curug ini, dan ternyata hampir semua rute menuju curug – curug ini sudah ada di Google Maps. Mujur sekali, saya tinggal membuat tracklog rute – rute tersebut dengan mengikuti alur yang sudah ada di Google Maps tadi kemudian dikonversi menjadi file GPS, yang rencananya akan dijadikan panduan ketika saya akan mengunjungi curug – curug tersebut. Dengan berbekal tracklog sepertinya gowes sendirianpun tidak masalah, kemudian saya juga bertanya kepada orang – orang yang pernah ke sana bagaimana kondisi jalan menuju ke spot tersebut, itu menjadi penting supaya saya sendiri bisa mempersiapkan diri dan sepeda dengan maksimal sebelum trip dilaksanakan. Semoga saja saya diberikan kesehatan, waktu dan kesempatan untuk bisa mengunjungi semua rute – rute gowes yang telah tadi dipaparkan di atas, dan nanti bisa berbagi di sini. Salam gowes selalu....

Sunday, July 10, 2016

SEBARIS CERITA TENTANG BUKIT BARISAN GUNUNG BANDUNG

Seperti yang sudah diketahui bersama, dengan lebih dari 650 buah gunung yang tersebar di seluruh penjuru Bandung Raya tentu menyimpan beribu pengetahuan, jalur – jalur pendakian yang menunggu untuk dijejak, puncak – puncak dan hutan nan hijau yang menunggu untuk dijelajahi dan dieksplorasi. Satu bagian di antara 650 gunung tersebut terhampar memanjang di kawasan selatan Bandung, membentang di kecamatan Ciparay, Arjasari, dan Baleendah sepanjang kurang lebih 8 km. berdasarkan data yang penulis dapatkan dari  Daftar Gunung Bandung susunan tim Jelajah Gunung Bandung, terdapat hampir 10 puncak gunung yang berada di hamparan pegunungan tersebut, mulai dari gunung Bukitculah di timur hingga gunung Karikil dan gunung Heulang Ngambang di barat, sehingga dengan kondisi seperti di atas bolehlah kita sebut hamparan pegunungan tersebut dengan “Bukit Barisan-nya Gunung Bandung”.  
  
Lanskap Bukit Barisan gunung Bandung berlatar gn Malabar

Menurut geolog yang juga anggota KRCB Budi Brahmantyo, seraya mengutip dari hasil pengukuran sampel batuan dari kawasan gunung Koromong (996 mdpl) oleh Sunardi dan Koesomadinata (1997), hamparan pegunungan Bukit Barisan Gunung Bandung ini adalah lava andesit yang tersebar di barat – timur di sebelah utara gunung Malabar sudah berusia 3 juta tahun atau terbentuk pada jaman pliosen. Jadi jajaran pegunungan ini merupakan produk aktivitas generasi pertama gunung – gunung api di Bandung setelah setelah komplek pegunungan Selacau – Lagadar yang berusia 4 juta tahun. Bisa disimpulkan juga kalau ternyata komplek pegunungan Bukit Barisan Gunung Bandung ini adalah leluhurnya gunung Malabar yang berusia lebih muda.
  
View "bukit barisan" sebelah barat difoto dari puncak gn Nini

Puncak tertinggi dari Bukit Barisan Gunung Bandung ini adalah gunung Geulis yang memiliki ketinggian 1154 mdpl, kemudian gunung Pabeasan/ gunung Sela 1104 mdpl, gunung Nini 1096 mdpl, gunung Bukitculah 1073 mdpl, gunung Pipisan 1071 mdpl, Pasir Pamoyanan (1044 mdpl), gunung Koromong 996 mdpl dan masih ada beberapa gunung lainnya seperti Pasir Panjawenan (979 mdpl), Pasir Heulang Ngambang (914 mdpl), dan puncak – puncak yang belum termasukkan ke dalam Daftar Gunung Bandung JGB dan masih memiliki nama lokal seperti gunung Gajah Ngambung, gunung Cadas Palintang dan gunung Anjing. Semua puncak dari Bukit Barisan Gunung Bandung ini memiliki keistimewaan dan cerita masing – masing yang masih banyak tersembunyi dan menunggu untuk diungkap. 


Bangunan Makam di puncak gn. Geulis

Gunung Bukitculah yang sarat dengan unsur sejarah, erat kaitannya dengan kisah Perjalanan Prabu Dipati Ukur, pemimpin salah satu kerajaan Sunda Timbanganten yang membawahi wilayah Tatar Ukur dengan area yang cukup luas yang disebut juga “Ukur Sasanga”, kaitan kesejarahan antara Prabu Dipati Ukur dengan gunung Bukitculah ini masih sangat minim informasi, harus dikaji lebih dalam. Bergeser ke arah barat terdapat gunung Nini dengan formasi batuan mirip Lingga Yoni di puncaknya, juga misteri makam keramat di puncak gunung Geulis. Belum lagi apabila kita coba mengambil pendekatan dari aspek toponimi dari penamaan gunung – gunung di kompleks bukit barisan ini, seperti gunung Koromong, Heulang Ngambang, Karikil, atau Pipisan yang masing – masing memiliki makna yang unik dan menarik untuk dikaji. 
 
Situs Culanagara di kaki Gn Bukitcula

Juga dari aspek geologi yang pasti akan sangat menarik untuk diungkap lebih lengkap, seperti formasi batuan yang ada di sekitar gunung Koromong, gunung Karikil dan Heulang Ngambang yang semakin menipis karena aktifitas galian C. Satu lagi hal yang menarik dari bukit barisan ini adalah puncak – puncaknya yang cukup terbuka sehingga kita bisa menyaksikan dan menikmati atraksi City Light kota Bandung malam hari dari puncak – puncaknya, ataupun sensasi sunrise dan sunset pun bisa kita dapatkan dengan mudah di sini. Jarak yang cukup dekat dari pusat kota bandung juga turut menjadikan kompleks pegunungan ini menjadi istimewa dan layak sekali untuk dijadikan destinasi kegiatan hiking atau ber-trail running yang sedang hangat – hangatnya saat ini. Masing - masing gunung ini bisa ditempuh dalam satu hari, sehingga sangat cocok untuk dijadikan pilihan destinasi hiking model tektok (hiking yang dilakukan dalam satu hari tanpa camp).
 
berfoto di depan formasi batuan mirip lingga-yoni di puncak Gn Nini

Itulah sedikit sekali ulasan tentang bukit barisan gunung Bandung, masih sangat sangat banyak ilmu dan pengetahuan yang masih terpendam di sepanjang kompleks pegunungan ini. Dan menunggu untuk diungkap sehingga dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua, sebagai tuan rumah dari 650 gunung yang kita miliki ini.