Tuesday, November 10, 2015

MENAPAKI EKSOTISME TANAH TERTINGGI DI BANDUNG RAYA


Gunung Kendang* 3 tahun lalu mungkin tidak begitu akrab di telinga warga Bandung, padahal gunung yang berketinggian 2617 mdpl ini adalah gunung tertinggi di Bandung Raya. Gunung ini menjadi terkenal ketika ada pendaki yang melakukan pendakian solo kemudian tersesat hilang dan ditemukan tewas beberapa waktu lalu. Sejak peristiwa itulah gunung Kendang mulai dikenal dan akhirnya menjadi salah salah satu destinasi pendakian. Gunung Kendang secara administratif berada di kecamatan Kertasari kabupaten Bandung dan kecamatan Samarang kabupaten Garut, jalur Pendakian yang umum adalah melalui desa Neglawangi afdeling Kendeng perkebunan Sedep PTPN VIII. Banyak keunikan yang bisa ditemui selama pendakian ke gunung ini, mulai dari hamparan hijau perkebunan teh, sapaan hangat dan ramah para pekerja perkebunan teh dan petani lereng gunung Kendang, tapak – tapak hewan di sepanjang jalur, sampai eksotisme savana siap memanjakan para pendaki yang mengunjungi gunung Kendang. 

foto oleh Kresna Cahya

Rute yang dapat ditempuh untuk mencapai afdeling Kendeng desa Neglawangi bisa melalui  Banjaran – Pangalengan – Malabar – Talun Santosa – Sedep, atau dari Ciparay -  Kertasari – Talun Santosa – Sedep. Kedua jalur ini bertemu di pertigaan Talun – Santosa menuju Sedep kemudian menyusuri jalan berbatu sampai ke afdeling Kendeng. Dahulu para pendaki setelah sampai di Neglawangi hanya bisa beristirahat dan mempersiapkan diri di sekitar masjid, beruntung saat ini pihak perkebunan sudah menyediakan rumah singgah bagi para pendaki untuk beristirahat dan melakukan persiapan sebelum dan sesudah melakukan pendakian, dan tentu saja menjadi tempat melapor kepada pihak berwenang untuk melakukan pendakian gunung Kendang.

 Belum lama ini seorang kawan mengajak saya melakukan one day trip/ tektok mengunjungi “Mount Everest”-nya Bandung ini. Agak tidak umum sebenarnya, karena idealnya pendakian ke gunung Kendang dilakukan dengan overnight trip kemudian camp di savana, namun berhubung waktu yang mepet akhirnya kami memilih untuk “tektok ceria”. Senin malam kami berangkat dari Bandung dan tiba di Neglawangi sekitar pukul 00.30. Selasa pagi semua persiapan dilakukan dan tepat pukul 07.00 pendakianpun dimulai. 10 menit perjalanan disuguhi hamparan perkebunan teh sejauh mata memandang, di hadapan kami puncak gunung Kendang telah menanti, di sampingnya berdiri tegak gunung Puntang Papandayan (2555 mdpl) puncak tertinggi kedua Gunung Bandung bersanding dengan gunung Papandayan.




Riuh para pemetik teh turut menemani perjalanan, 15 menit berlalu kami mulai memasuki pintu ladang, hamparan perkebunan teh berganti hamparan kebun sayuran di antara rerimbunan pohon Eukaliptus. Sapa ramah para penggarap ladang menjadi teman perjalanan, sesekali ojek motor pengangkut hasil panen berpapasan. Hebat sekali para pengojek ini, 4 karung besar hasil panen memenuhi bagian depan dan belakang motor, namun dengan lihainya mereka mengemudikannya menuruni jalan setapak menuju Neglawangi. Sedikit hiburan yang bisa sejenak melupakan rasa lelah yang mulai menghampiri.

gn Kendang mengintip dari balik pepohonan

Atraksi gratisan

Jam 08 kami memasuki pintu hutan, vegetasi berganti menjadi pepohonan khas hutan rimba. Jalur pendakian gunung Kendang tidak begitu banyak menyajikan tanjakan curam, namun jalur yang relatif landai ini menawarkan jarak yang cukup panjang, sehingga tetap mampu menguras stamina. Semakin ke atas, jalur semakin tipis, namun pemandangan semakin memanjakan mata, di arah selatan anggunnya gunung Papandayan masih setia menemani, di kejauhan terlihat garis putih di cakrawala, itu adalah ombak pantai selatan, indah sekali. Sekitar pukul 10 tibalah di sebuah pos yang cukup luas, tempat ini adalah bekas basecamp yang dibuat oleh para relawan saat melakukan operasi SAR Tobit Sigalingging, seorang mahasiswa ITB yang hilang beberapa waktu lalu. Mulai dari sini jalur pendakian berada di sebuah punggungan tipis yang diapit oleh jurang di kiri dan kanan kami. Di kiri lembah dengan jurangnya yang dalam ditutupi rapatnya pepohonan seakan menyembunyikan misteri, di kedalaman lembah itulah jasad mendiang Tobit ditemukan setelah 40 hari pencarian, sedang pemandangan di sisi kanan menyajikan rangkaian pegunungan Papandayan yang indah dan hijau memanjakan mata.


  

 1 jam berlalu, vegetasi berubah menjadi hamparan paku – pakuan. Pijakan terasa empuk, sepertinya jalur pendakian berada di atas hamparan akar dan humus tumbuhan ini, jalur masih tipis, di beberapa titik terdapat bekas longsoran membuat perjalanan melambat karena kami harus merayap. Lepas dari paku – pakuan kembali kami memasuki kerimbunan hutan dengan jalur yang semakin menanjak curam, ini pertanda sudah mendekati puncak gunung Kendang, semangat untuk segera menginjakkan kaki di tanah tertinggi Bandung raya mengalahkan rasa lelah yang semakin menjadi – jadi. 




 Akhirnya pada pukul 12.30 kami berhasil menjejakkan kaki di puncak gunung Kendang (2617 mdpl). Puncak gunung Kendang tidak terbuka,  tetapi rimbun oleh pepohonan besar. Yang pertama kami dapati ketika menginjakkan kaki di puncak adalah sebuah pertigaan, arah utara menuju savana dan arah selatan menuju papan triangulasi. Tidak seperti puncak gunung pada umumnya berupa dataran seperti lapangan, puncak gunung Kendang cukup unik yaitu memanjang ke arah selatan, kamipun bergerak menuju papan triangulasi. Sebuah plang besi berkaki bertuliskan “PUNCAK GN KENDANG 2617 MDPL” , plang yang dibuat dan dibawa kawan JGB pada tahun 2013 lalu itu menjadi penanda bahwa kami telah menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Bandung Raya.




Puas berfoto – foto di triangulasi kami beranjak menuju savana, jalur menurun sedikit licin dan lembab, ±300 m kami berjalan, samar mulai terlihat hamparan rumput hijau di bawah sana. Namun untuk mencapai ke sana ternyata kami masih menghadapi jalur yang cukup terjal, dan akhirnya sampailah kami di savana gunung Kendang (2539 mdpl), surga yang tersembunyi di tengah hutan gunung Kendang. Luas savana ini menurut perkiraan kami seluas lapangan sepakbola, benar – benar rata tidak ada rumput tinggi atau gundukan tanah di sekitarnya. 

foto oleh Apit





Kami seakan berada di dunia lain, hutan – hutan rapat seperti gambaran hutan dalam film Hollywood “Jurrasic Park”, eksotis sekali. kami menikmati dan mengabadikan semua keindahan savana ini. Tak lama kemudian kabut perlahan turun menyelimuti savana. Sesuai rencana awal yang hanya “tektok” membuat kami tidak bisa berlama – lama berada disana, setelah 30 menit menikmati eksotisme savana, kami pun beranjak pulang, meniti jalur terjal yang semakin licin tersiram air hujan. Pukul 14.15 kami semua tiba di camp, kemudian makan siang dan bersiap untuk kembali ke Neglawangi. 

Pukul 15.00 kami semua bergerak meninggalkan puncak, jalur yang licin dan turunan curam menghambat perjalanan, kami terus bergerak dengan kewaspadaan dan konsentrasi tinggi mengingat jalur yang tidak bersahabat lagi. Di setengah perjalanan, salah satu anggota tim drop kondisi fisiknya, pergerakan semakin melambat. Tepat ketika adzan Isya berkumandang kami semua tiba kembali di Neglawangi. Segera kami melapor ke aparat kampung Neglawangi, bersih – bersih dan bersiap pulang. Pukul 20.00 kami mulai beranjak meninggalkan afdeling Kendeng desa Neglawangi yang bersahaja, menembus pekat dan dinginnya malam pulang kembali ke Bandung. 

*Saat ini status gunung Kendang sudah menjadi kawasan Cagar Alam  gunung Papandayan, sehingga saat ini sudah tidak diperbolehkan lagi ada kegiatan/ aktifitas pendakian ke gunung Kendang.

Sunday, September 20, 2015

“BOTOK”, SALAH SATU ALTERNATIF KEGIATAN BERSEPEDA DI BANDUNG


Pernahkah anda membayangkan atau mungkin pernah merasakan sensasi bersepeda kemudian dilanjutkan dengan hiking/ mendaki gunung hingga sampai ke puncaknya? Pasti mengasyikkan tentunya dalam satu kegiatan 2 hobi bisa terpuaskan sekaligus. Kita semua pasti sudah mengenal sosok Paimo, sang maestro sepeda touring yang sudah menjelajahi gunung -gunung tinggi di luar negeri, seperti di pegunungan Andes dan Himalaya, atau Iwan Sunter yang bersepeda dan mendaki gunung – gunung di pulau Jawa sampai ke puncaknya. Untuk melakukan hal – hal seperti itu pastilah memerlukan pengorbanan waktu, materi dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Pernahkah terpikir kalau ternyata kegiatan seperti tadi bisa dilakukan juga di Bandung kota kita tercinta ini? Sering saya katakan, kita sangat beruntung tinggal di kota ini, puluhan gunung berdiri mengelilingi kota Bandung, sampai - sampai muncul istilah “Bandung dilingkung ku gunung”. Hampir di semua pegunungan Bandung mulai dari utara, selatan, barat dan timur bisa dipastikan banyak terdapat jalur – jalur bersepeda yang eksotis, baik yang berkarakter onroad maupun offroad, dan beberapa jalur bersepeda tersebut ternyata berada di kaki gunung – gunung Bandung, sehingga kita bisa juga melakukan kegiatan seperti yang dilakukan para maestro tadi meskipun dalam skala yang lebih kecil tentunya.
   
Kegiatan Biking/ bersepeda dan hiking ini saya istilahkan dengan “Botok” alias boseh dan tektok, bisa dimaknai aktifitas bersepeda/ ngaboseh dilanjutkan dengan hiking/ tektok. Tektok sendiri adalah istilah umum para penyuka kegiatan luar ruangan yang memiliki makna hiking mendaki gunung yang dilakukan dalam satu hari. Ya, aktifitas “Botok” bisa dilakukan di Bandung ini hanya dalam 1 hari saja, cocok bagi para pencinta kegiatan luar ruangan yang sudah terikat oleh kesibukan kerja dan keluarga, sudah sangat sulit tentunya untuk menyisihkan waktu apalagi sampai berhari – hari untuk melakukan kegiatan penjelajahan. Hampir semua gunung di seputar Bandung sudah memiliki akses jalan yang cukup memadai hingga ke kaki, kampung terakhir atau titik awal pendakiannya. Sebut saja jalur Batukuda atau Kiara Payung  di kaki gunung Manglayang, kampung Gunung Buleud Situwangi di kaki gunung Buleud, kampung Palintang di kaki gunung Palasari, Buper Gunung Puntang di kaki puncak Mega dan Haruman pegunungan Malabar dan masih banyak lagi. 

Persiapan sebelum melakukan kegiatan “Botok” sebagian besar sama saja seperti kalau kita akan bersepeda XC fullday. Selain mempersiapkan kondisi sepeda, yang juga harus diperhatikan adalah pemakaian alas kaki, banyak saya dapati pesepeda menggunakan sandal gunung, apabila kita ingin melakukan kegiatan “Botok”  saran saya lebih baik menggunakan sepatu trekking untuk menunjang kenyamanan kita tentu saja terutama ketika hiking/tektok. Untuk perbekalan juga sama seperti kita akan bersepeda XC, bekal air, makan siang dan cemilan wajib untuk dibawa. Dan perlengkapan outdoor seperti plysheet, kompor portabel sebaiknya dibawa juga kalau ada, peranti GPS kalau ada akan sangat membantu ketika kita tektok sampai ke puncak gunung Bandung. Satu lagi hal yang penting yang harus dipersiapkan adalah kondisi fisik kita, fisik dan stamina harus dalam kondisi prima untuk melakukan kegiatan ini, karena bagaimanapun juga “Botok” mengharuskan kita untuk bersepeda sampai ke titik pendakian yang sudah tentu dengan kondisi jalur yang menanjak, kemudian melanjutkan perjalanan mendaki hingga ke puncak gunung yang kita tuju, dan ingat juga kita harus pulang ke rumah dengan mengayuh sepeda. 

Sedikit rekomendasi jalur – jalur “Botok” yang bisa dilakukan di gunung – gunung Bandung selain yang disebutkan tadi yaitu : 

1. Gunung Geulis Manggahang Baleendah, dengan jalur gowes dari Manggahang atau Jelekong.
2. Gunung Rakutak Pacet, dengan jalur gowes Ciparay – Cibangoak - Sukaresmi.
3. Gunung Lalakon & gunung Buleud dengan jalur gowes Soreang - Cipatik.
4. Gunung Cadas Panjang Rancabali dengan jalur gowes Soreang - Ciwidey - Rancabali.
5. Gunung Gambung Sedaningsih, Puncak Besar, Wayang dan Windu di Pangalengan dengan jalur gowes Pangalengan – perkebunan teh Kertamanah.

Masih banyak lagi jalur – jalur “Botok” lainnya tersebar di Bandung yang tidak mungkin untuk disebutkan satu per satu di sini. Di antara jalur – jalur tersebut kita bisa memilih jalur bersepeda yang tidak terlalu jauh dan jalur pendakian yang tidak begitu berat, seperti ke Gunung Lalakon atau gunung Geulis, atau ingin memilih jalur “Botok” dengan gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 1500 mdpl, dengan jalur bersepeda yang dihiasi tanjakan - tanjakan menantang seperti ke gunung Manglayang lewat Batukuda atau Puncak Mega pegunungan Malabar, semua tersedia di Bandung. Untuk informasi jalur – jalur gowes dan jalur pendakian serta tracklog-nya bisa kita dapatkan di internet, atau bisa juga dengan mendapatkannya di komunitas - komunitas penjelajah gunung Bandung seperti komunitas JGB/ Jelajah Gunung Bandung yang secara khusus mengeksplorasi dan mendokumentasikan gunung – gunung Bandung. 

Satu hal yang pasti, dengan kegiatan ini kita bisa menyalurkan hobi menjelajah alam yang mungkin sempat terhenti ketika kita sudah berkeluarga dan semakin terikat kesibukan dunia kerja, melalui dua kegiatan sekaligus yaitu bersepeda dan hiking, dan kegiatan ini bisa dilakukan dalam satu hari yang bisa dilakukan di akhir pekan. Satu lagi, dengan kegiatan ini kita juga diharapkan bisa lebih mengenal gunung – gunung Bandung yang tidak sedikit jumlahnya, yang menjadi kebanggaan bagi kita sebagai warga Bandung. Akhirnya, selamat mencoba “Botok” menjelajahi gunung – gunung Bandung. 


Sunday, June 14, 2015

CIJAPATI, JALUR GOWES MENANTANG DI UJUNG BANDUNG


Setelah sekian lama menyusuri jalur – jalur bersepeda di kawasan selatan Bandung, mulai dari ujung barat yang diawali trek Cantilan terus bergerak ke timur dan akhirnya sampai juga saya di ujung timur, yaitu di trek uphill Cijapati. Jalur ini berada di kecamatan Cikancung dengan titik start berada di jalan raya Majalaya - Cicalengka dan ujungnya berada di kecamatan Kadungora kabupaten Garut dengan jarak sekitar 25 km. Jalur ini adalah juga jalur alternatif kendaraan roda 4 terutama ketika jalur utama Nagreg mengalami kemacetan. Titik tertinggi dari jalur ini berada di ketinggian ±1164 mdpl, berelevasi sekitar 475 m dihitung dari titik start-nya di 690 mdpl, dengan jarak sekitar 10 km cukup menantang bagi para goweser uphiller

Dari kota Bandung jalur menuju Cijapati bisa melalui jalan raya Sapan-Majalaya atau jalan kontrol sungai Citarik sampai Solokan Jeruk, dilanjutkan ke jalan raya Majalaya – Cicalengka. Setelah sekitar 5 km kita melaju ke arah Cicalengka kita akan menjumpai sebuah pertigaan mengarah ke selatan tepat di depan sebuah SPBU, itulah jalan menuju Cijapati, di sini juga adalah titik start jalur uphill Cijapati, dengan ciri yang paling khas adalah sebuah plang bertuliskan “Cijapati 8 km, Kadungora 28 km”. Lumayan informatif juga, jadi kita bisa memperkirakan dan merencakan rute yang akan kita tuju disesuaikan dengan waktu dan fisik kita dengan berpedoman pada patokan jarak tempuh tersebut.




Suatu Minggu pagi yang cukup sejuk di awal bulan Desember saya berkesempatan untuk gowes mencicipi jalur Cijapati. Setelah pertigaan SPBU, jalan desa Ciluluk yang lurus dan mendatar menyambut saya, di hadapan sudah terlihat perbukitan menghadang. Jalan – jalan menanjak membelah perbukitan itulah yang akan membawa sepeda ini menuju titik finish di Cijapati. Putaran pedal sepeda sedikit dipercepat/ cadence guna membuat tubuh kita memanas dan otot – otot kaki lebih siap untuk menyongsong tanjakan – tanjakan di depan. 2 km melaju, saya tiba di sebuah persimpangan, di sini bisa dikatakan sebagai awal jalan menanjak yang akan saya hadapi. Tanjakan yang saya hadapi ini tidak begitu curam, dan memang di sepanjang jalur uphill Cijapati ini nyaris tidak ditemui tanjakan – tanjakan curam seperti di jalur bersepeda  sekitar Bandung timur, namun meskipun landai tanjakan di sini nyaris tanpa jeda, sehingga tetap saja menghadapinya bisa membuat lutut goyah dan keringat mengucur deras. 

30 menit lepas dari pertigaan Cicalengka – Majalaya, saya bertemu dengan sebuah plang bertuliskan “Cijapati 3 km, Kadungora 25 km” berarti saya sudah mengayuh pedal sekitar 5 km, lumayan. Dari sini jalan masih terlihat menanjak, 3 km yang masih akan menyiksa kelihatannya. Sedikit beristirahat di sini dan pedalpun kembali dikayuh, target untuk kembali ke rumah sebelum tengah hari membuat waktu istirahat menjadi sedikit. Pukul 10 sampailah saya di Cijapati, saya beristirahat sejenak di sebuah mesjid besar, ketinggian di tempat ini sudah mencapai ±1100 mdpl, tapi masih ada tanjakan di depan, tanjakan itu akan mengantarkan saya ke titik tertinggi jalur ini. Meskipun saat itu adalah hari Minggu, tidak begitu banyak terlihat goweser melewati jalur Cijapati ini, hanya sesekali saja terlihat goweser yang sedang menanjak ataupun tengah menikmati turunan menuju Ciluluk, berbeda sekali dengan jalur – jalur bersepeda di kawasan Bandung utara yang selalu ramai oleh para goweser.




5 menit saya beristirahat sepeda kembali melaju, di hadapan tanjakan sudah menanti untuk ditaklukkan, ini adalah tanjakan terakhir untuk menuju titik tertinggi di jalur uphill Cijapati (±1164 mdpl), tak sampai 10 menit sampailah saya di ujung tanjakan, dan langsung disuguhi pemandangan indah. Di hadapan saya berdiri dengan anggun gunung Mandalawangi yang juga menjadi batas alami kabupaten Bandung dan kabupaten Garut, di sekelilingnya berserak bukit – bukit kecil laksana bukit Teletubbies di serial anak – anak. Hanya satu yang cukup mengganggu semua keindahan di sini, adalah tempat pengolahan kotoran sapi yang banyak terdapat di pinggir – pinggir jalan membuat pandangan menjadi sedikit “sareukseuk” dan bau yang menyeruak membuat nafas terganggu, apalagi ketika kita sedang terengah – engah mengayuh pedal, pastilah akan sangat membuat kita tidak nyaman. Perjalanan masih menyisakan sekitar 2 km lagi untuk menuju titik finish , namun untuk menuju ke sana saya harus menghadapi beberapa tanjakan dan turunan. Titik finish  jalur ini adalah sebuah tempat yang banyak terdapat warung, berada di ujung sebuah turunan, dari sana jalan akan sepenuhnya menurun hingga ke kampung ke Rancasalak – Kadungora kabupaten Garut.


Titik tertinggi jalur uphill cijapati berlatar Gn Mandalawangi

Tanjakan terakhir sebelum finish


Sambil beristirahat di sebuah warung dan menikmati panorama alam Cijapati kita bisa menentukan arah pulang yang akan dituju. Kembali ke arah kita naik tadi dan menuju jalan raya Cicalengka - Majalaya, atau melanjutkan perjalanan menempuh jalan menurun menuju Kadungora. Saya mengambil opsi pertama saja, kembali ke jalan raya Cicalengka – Majalaya.

Titik finish dan turunan menuju Kadungora Garut

Sedikit info bagi yang ingin mencicipi jalur ini, ada beberapa alternatif rute yang bisa dicoba selain jalur yang saya paparkan tadi di atas. Bagi yang ingin menambah porsi gowesnya, perjalanan bisa dilanjutkan hingga ke Kadungora dan menuju Bandung dengan melalui jalan Lingkar Nagreg. Atau apabila ingin merasakan sensasi tanjakan Cijapati yang lebih “pedas”, ada dua pilihan lagi yang bisa diambil, yang pertama adalah menuju Cijapati dengan menempuh jalur Rancaekek – Nagreg – Kadungora – Rancasalak, dan satu lagi adalah setelah sampai pertigaan Rancasalak - Kadungora kita memutar balik dan kembali lagi menyusuri jalur sebelumnya dan langsung mencicipi tanjakan Kopi Rancasalak yang sudah cukup melegenda, disambung dengan tanjakan lainnya yang tidak kalah curam hingga menuju warung – warung tempat saya mengakhiri trip ini. Pilihan ada di betis dan dengkul anda,  pilihlah rute yang paling sesuai dengan kemampuan fisik anda, salam gowes.  


Dimuat di harian PR edisi 11 Januari 2015