Seperti
halnya night riding yang tujuannya
mencari suasana dan tantangan baru ketika melakukan aktifitas bersepeda, night Hiking atau tektok malam hari
(tektok = oneday hiking) juga cukup
menarik dan menawarkan tantangan dan sensasi tersendiri. Setelah lebih dari 10
tahun lalu saya sempat melakukan pendakian malam hari, saya berkesempatan
kembali merasakan serunya night Hiking ke
kawasan timur Bandung bersama beberapa
teman. Hiking atau tektok malam hari
memiliki beberapa keuntungan seperti udara yang lebih sejuk sehingga membuat
kondisi tubuh tidak cepat lelah, juga kondisi malam yang gelap cukup bisa
“menyembunyikan” tanjakan – tanjakan terjal sehingga mental kita cukup terjaga,
tidak drop ketika melihat tanjakan
yang akan dihadapi, dan tentu saja bonus sunrise
yang akan kita dapatkan begitu kita menginjakkan kaki di puncak.
Minggu
dinihari di akhir libur panjang Idul Fitri tahun 2015 kemarin tektok dilaksanan
dengan tujuan puncak gunung Manglayang (1824 mdpl) sekaligus menikmati sunrise di puncak timur (1665 mdpl) yang
sudah cukup terkenal keindahannya di antara para pendaki Manglayang. Pukul
01.15 dini hari setelah saya dan 5 orang teman
berkumpul di daerah Cibiru, kami bergerak menuju bumi perkemahan Batukuda
yang menjadi titik awal pendakian gunung Manglayang, 15 menit kemudian kami
semua tiba di buper Batukuda (1100 mdpl), mendaftarkan diri di pos pendakian
dan tepat pukul 01.45 kami semua meninggalkan pos pendaftaran untuk memulai
pendakian. Suhu dingin di awal perjalanan sempat kami rasakan, namun tidak
sampai 30 menit kami berjalan, semua mulai menanggalkan jaket karena tanjakan –
tanjakan di awal pendakian telah membuat tubuh panas dan berkeringat. Jalur
pendakian kering dan berdebu, sepertinya dampak musim kemarau sangat terasa di
sekitar kawasan ini. Saya membayangkan “penderitaan” yang akan dirasakan
apabila tektok dilakukan siang hari, sengatan sinar matahari dan debu pasti
akan setia menemani perjalanan menapaki jalur pendakian curam di gunung ini. Gelapnya
malam ternyata mampu menyembunyikan kekejaman jalur pendakian gunung Manglayang.
Satu
per satu tanjakan terlewati, saling mengobrol di sepanjang perjalanan membuat
perjalanan menjadi menarik, hangatnya obrolan menghilangkan suasana mencekam
yang biasanya selalu menghampiri kala malam gelap gulita. Waktu terus berjalan,
tidak terasa sudah 2,5 jam kami berjalan dan sudah lebih dari 2 km jalur ditempuh,
pantas saja lutut sudah agak goyah dan badan terasa letih. Kami berhenti
sejenak untuk beristirahat, sayup terdengar lantunan azan awal di kejauhan,
damai sekali rasanya suasana di tempat beristirahat ini, di depan kami sungguh
gelap, entah seperti apa jalur yang akan dihadapi selanjutnya. Setelah
sekitar 10 menit kami beristirahat perjalanan dilanjutkan, sekitar 30 berjalan,
kami bertemu jalur mendatar, perangkat GPS menunjukkan bahwa kami saat ini
berada di kawasan puncak bayangan (±1669 mdpl). Jarak ke puncak utama sekitar
500 m garis lurus, terlihat kontur yang semakin rapat, pertanda kami akan
menghadapi jalur yang menanjak curam. Di ketinggian ±1720 mdpl kami bertemu
dengan tanjakan yang tersusun dari batu – batu besar, cukup menguras tenaga
menaklukkannya, nanti siang ketika kami turun kami pasti akan mengetahui wujud
asli tanjakan kejam ini.
Pukul
04.15 kami semua tiba di puncak utama gunung Manglayang (1824 mdpl), banyak
tenda berdiri di sini, namun kami tidak sempat berhenti, perjalanan tetap
dilanjutkan menuju puncak timur tujuan utama kami. Jarak dari puncak utama
sampai ke puncak timur sekitar 750 m dengan kondisi menurun curam, karena
perbedaan ketinggian yang hampir 200 m dengan puncak timur. 15 menit kami
berjalan, sesekali kami harus melipir di antara tenda – tenda pendaki yang
didirikan di jalur menuju puncak timur. Tepat ketika azan subuh berkumandang
kami semua tiba di puncak timur gunung Manglayang (±1665 mdpl) atau yang dikenal
juga dengan puncak Prisma. Segera kami mencari lokasi yang strategis di kawasan
puncak yang sebenarnya cukup sempit ini, menunggu terbitnya sang mentari sambil
berharap bisa mendapatkan momen sunrise
yang sangat menakjubkan itu. Beberapa pendaki mulai berdatangan juga ke kawasan
puncak timur dengan tujuan yang sama. Pukul 05.00 fajar menyingsing, selarik
garis keemasan mulai nampak mewarnai ujung langit timur yang pekat, perlahan
sang mentari mulai terbangun dari peraduannya, menghapus gelap dan cahaya pagi
mulai memainkan perannya.
05.45
sunrise sudah sempurna berwujud, kami
semua menghadap ke arah timur sambil memegang kamera masing – masing, mulai
mengabadikan momen menakjubkan yang sudah dinanti – nanti ini, lupa sudah kami
semua pada dinginnya udara pagi yang sesekali ditingkahi hembusan angin
kencang. Hanya satu yang tidak kami jumpai saat itu, gumpalan awan putih di
bawah puncak gunung yang kemudian memunculkan istilah “negeri di awan” itu
tidak nampak, entah karena faktor ketinggian gunung ini atau adah hal lain,
entahlah, kami tidak begitu faham. Untuk menyambut pagi yang cerah ini sangat
sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa suguhan kopi panas dan beberapa makanan
ringan. Segera teman kami mengeluarkan kompor dan perlengkapan masak portabel
kemudian mendidihkan air, tak lama kemudian beberapa gelas minuman panas dan
makanan ringan tersaji di hadapan. Sambil menikmati sarapan pagi kami menikmati
pemandangan di sekeliling puncak. Di timur pandangan tertuju pada puncak gunung
tinggi menjulang, itulah gunung tertinggi di jawa barat, gunung Ciremai, terus
bergeser ke tenggara, kami mendapati gunung Geulis dan samar terlihat gunung Kerenceng
– Kareumbi, gunung Buyung, Mandalawangi, terus menyambung ke selatan sang tanah
tertinggi di Bandung Raya gunung Kendang anggun berdiri seakan berdampingan
dengan pegunungan Malabar. Hampir semua gunung di kawasan selatan Bandung sangat
terlihat jelas dari puncak timur.
2
jam lebih kami berada di puncak Timur, tak terasa waktu telah menunjukkan pukul
07.45, kami segera membereskan bawaan, merapikan backpack, tak lupa membersihkan sampah kemasan bekas sarapan untuk
kami bawa ke bawah. Tepat pukul 08.00 kami beranjak meninggalkan puncak timur
menuju puncak utama. Sekarang terlihat jelas pemandangan di sekeliling puncak
timur ini, tak jauh dari posisi kami tadi terdapat jalur Barubeureum Kiara
Payung Jatinangor di sebelah utara puncak, di sebelah selatan terlihat jajaran
pegunungan selatan Bandung, dan di sebelah barat pemandangan tertumbuk pada
tubuh gunung Manglayang yang masih diselimuti pepohonan cukup rapat. Sebenarnya
dari puncak timur ada jalur yang langsung menuju buper Batukuda, yaitu jalur Tebing
Doa, namun jalur ini sangat tidak direkomendasikan untuk dilalui karena kondisi
jalur yang ekstrem, di beberapa bagian jalur berada di tebing dengan kemiringan
lebih dari 60ยบ dan kita harus meniti dan menuruni tebing itu. Karena terjalnya
tebing itu, ketika seseorang melewatinya dia tidak henti – hentinya berdoa agar
dia selamat sampai ke bawah, mungkin dari sanalah tebing tersebut dinamakan Tebing
Doa. Trip puncak Manglayang melalui jalur tebing doa ini akan saya
ceritakan di tulisan berikutnya.
Narsis dulu sebelum pulang :) |
Jalur menuju puncak utama gn Manglayang |
Seperti
diduga sebelumnya, ternyata benar jalur menuju puncak utama cukup terjal dan
menguras tenaga. Pukul 08.45 kami tiba kembali di puncak utama, kami pun
beristirahat sambil mengambil beberapa foto di plang triangulasi. Pukul 09.00
kami meninggalkan puncak utama untuk kembali ke buper Batukuda. Ternyata benar
saja tanjakan batu yang dilewati sebelumnya itu sangat curam, beruntung sekali
gelapnya malam telah menyembunyikannya.
Hari semakin panas, daun – daun tampak
kecoklatan dibakar panasnya matahari kemarau. Kami mempercepat langkah supaya
cepat sampai ke buper Batukuda. Dan pukul 11 lebih kami semua tiba di buper Batukuda,
setelah beristirahat dan melapor kembali ke pos pendakian, tepat pukul 12 siang
kami beranjak meninggalkan buper Batukuda kembali ke rumah masing – masing.
Buper Batukuda |
*Sebagian foto diambil dari koleksi foto mang Agus Suga