Tuesday, November 21, 2017

SERUNYA SENSASI NIGHT HIKING BATUKUDA – PUNCAK GUNUNG MANGLAYANG

 Seperti halnya night riding yang tujuannya mencari suasana dan tantangan baru ketika melakukan aktifitas bersepeda, night Hiking atau tektok malam hari (tektok = oneday hiking) juga cukup menarik dan menawarkan tantangan dan sensasi tersendiri. Setelah lebih dari 10 tahun lalu saya sempat melakukan pendakian malam hari, saya berkesempatan kembali merasakan serunya night Hiking ke kawasan timur Bandung bersama beberapa teman. Hiking atau tektok malam hari memiliki beberapa keuntungan seperti udara yang lebih sejuk sehingga membuat kondisi tubuh tidak cepat lelah, juga kondisi malam yang gelap cukup bisa “menyembunyikan” tanjakan – tanjakan terjal sehingga mental kita cukup terjaga, tidak drop ketika melihat tanjakan yang akan dihadapi, dan tentu saja bonus sunrise yang akan kita dapatkan begitu kita menginjakkan kaki di puncak.
  


Minggu dinihari di akhir libur panjang Idul Fitri tahun 2015 kemarin tektok dilaksanan dengan tujuan puncak gunung Manglayang (1824 mdpl) sekaligus menikmati sunrise di puncak timur (1665 mdpl) yang sudah cukup terkenal keindahannya di antara para pendaki Manglayang. Pukul 01.15 dini hari setelah saya dan 5 orang teman  berkumpul di daerah Cibiru, kami bergerak menuju bumi perkemahan Batukuda yang menjadi titik awal pendakian gunung Manglayang, 15 menit kemudian kami semua tiba di buper Batukuda (1100 mdpl), mendaftarkan diri di pos pendakian dan tepat pukul 01.45 kami semua meninggalkan pos pendaftaran untuk memulai pendakian. Suhu dingin di awal perjalanan sempat kami rasakan, namun tidak sampai 30 menit kami berjalan, semua mulai menanggalkan jaket karena tanjakan – tanjakan di awal pendakian telah membuat tubuh panas dan berkeringat. Jalur pendakian kering dan berdebu, sepertinya dampak musim kemarau sangat terasa di sekitar kawasan ini. Saya membayangkan “penderitaan” yang akan dirasakan apabila tektok dilakukan siang hari, sengatan sinar matahari dan debu pasti akan setia menemani perjalanan menapaki jalur pendakian curam di gunung ini. Gelapnya malam ternyata mampu menyembunyikan kekejaman jalur pendakian gunung Manglayang.


Satu per satu tanjakan terlewati, saling mengobrol di sepanjang perjalanan membuat perjalanan menjadi menarik, hangatnya obrolan menghilangkan suasana mencekam yang biasanya selalu menghampiri kala malam gelap gulita. Waktu terus berjalan, tidak terasa sudah 2,5 jam kami berjalan dan sudah lebih dari 2 km jalur ditempuh, pantas saja lutut sudah agak goyah dan badan terasa letih. Kami berhenti sejenak untuk beristirahat, sayup terdengar lantunan azan awal di kejauhan, damai sekali rasanya suasana di tempat beristirahat ini, di depan kami sungguh gelap, entah seperti apa jalur yang akan dihadapi selanjutnya. Setelah sekitar 10 menit kami beristirahat perjalanan dilanjutkan, sekitar 30 berjalan, kami bertemu jalur mendatar, perangkat GPS menunjukkan bahwa kami saat ini berada di kawasan puncak bayangan (±1669 mdpl). Jarak ke puncak utama sekitar 500 m garis lurus, terlihat kontur yang semakin rapat, pertanda kami akan menghadapi jalur yang menanjak curam. Di ketinggian ±1720 mdpl kami bertemu dengan tanjakan yang tersusun dari batu – batu besar, cukup menguras tenaga menaklukkannya, nanti siang ketika kami turun kami pasti akan mengetahui wujud asli tanjakan kejam ini.


Pukul 04.15 kami semua tiba di puncak utama gunung Manglayang (1824 mdpl), banyak tenda berdiri di sini, namun kami tidak sempat berhenti, perjalanan tetap dilanjutkan menuju puncak timur tujuan utama kami. Jarak dari puncak utama sampai ke puncak timur sekitar 750 m dengan kondisi menurun curam, karena perbedaan ketinggian yang hampir 200 m dengan puncak timur. 15 menit kami berjalan, sesekali kami harus melipir di antara tenda – tenda pendaki yang didirikan di jalur menuju puncak timur. Tepat ketika azan subuh berkumandang kami semua tiba di puncak timur gunung Manglayang (±1665 mdpl) atau yang dikenal juga dengan puncak Prisma. Segera kami mencari lokasi yang strategis di kawasan puncak yang sebenarnya cukup sempit ini, menunggu terbitnya sang mentari sambil berharap bisa mendapatkan momen sunrise yang sangat menakjubkan itu. Beberapa pendaki mulai berdatangan juga ke kawasan puncak timur dengan tujuan yang sama. Pukul 05.00 fajar menyingsing, selarik garis keemasan mulai nampak mewarnai ujung langit timur yang pekat, perlahan sang mentari mulai terbangun dari peraduannya, menghapus gelap dan cahaya pagi mulai memainkan perannya.





05.45 sunrise sudah sempurna berwujud, kami semua menghadap ke arah timur sambil memegang kamera masing – masing, mulai mengabadikan momen menakjubkan yang sudah dinanti – nanti ini, lupa sudah kami semua pada dinginnya udara pagi yang sesekali ditingkahi hembusan angin kencang. Hanya satu yang tidak kami jumpai saat itu, gumpalan awan putih di bawah puncak gunung yang kemudian memunculkan istilah “negeri di awan” itu tidak nampak, entah karena faktor ketinggian gunung ini atau adah hal lain, entahlah, kami tidak begitu faham. Untuk menyambut pagi yang cerah ini sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa suguhan kopi panas dan beberapa makanan ringan. Segera teman kami mengeluarkan kompor dan perlengkapan masak portabel kemudian mendidihkan air, tak lama kemudian beberapa gelas minuman panas dan makanan ringan tersaji di hadapan. Sambil menikmati sarapan pagi kami menikmati pemandangan di sekeliling puncak. Di timur pandangan tertuju pada puncak gunung tinggi menjulang, itulah gunung tertinggi di jawa barat, gunung Ciremai, terus bergeser ke tenggara, kami mendapati gunung Geulis dan samar terlihat gunung Kerenceng – Kareumbi, gunung Buyung, Mandalawangi, terus menyambung ke selatan sang tanah tertinggi di Bandung Raya gunung Kendang anggun berdiri seakan berdampingan dengan pegunungan Malabar. Hampir semua gunung di kawasan selatan Bandung sangat terlihat jelas dari puncak timur. 





2 jam lebih kami berada di puncak Timur, tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 07.45, kami segera membereskan bawaan, merapikan backpack, tak lupa membersihkan sampah kemasan bekas sarapan untuk kami bawa ke bawah. Tepat pukul 08.00 kami beranjak meninggalkan puncak timur menuju puncak utama. Sekarang terlihat jelas pemandangan di sekeliling puncak timur ini, tak jauh dari posisi kami tadi terdapat jalur Barubeureum Kiara Payung Jatinangor di sebelah utara puncak, di sebelah selatan terlihat jajaran pegunungan selatan Bandung, dan di sebelah barat pemandangan tertumbuk pada tubuh gunung Manglayang yang masih diselimuti pepohonan cukup rapat. Sebenarnya dari puncak timur ada jalur yang langsung menuju buper Batukuda, yaitu jalur Tebing Doa, namun jalur ini sangat tidak direkomendasikan untuk dilalui karena kondisi jalur yang ekstrem, di beberapa bagian jalur berada di tebing dengan kemiringan lebih dari 60ยบ dan kita harus meniti dan menuruni tebing itu. Karena terjalnya tebing itu, ketika seseorang melewatinya dia tidak henti – hentinya berdoa agar dia selamat sampai ke bawah, mungkin dari sanalah tebing tersebut dinamakan Tebing Doa. Trip puncak Manglayang melalui jalur tebing doa ini akan saya ceritakan di tulisan berikutnya.

Narsis dulu sebelum pulang :)

Jalur menuju puncak utama gn Manglayang

Seperti diduga sebelumnya, ternyata benar jalur menuju puncak utama cukup terjal dan menguras tenaga. Pukul 08.45 kami tiba kembali di puncak utama, kami pun beristirahat sambil mengambil beberapa foto di plang triangulasi. Pukul 09.00 kami meninggalkan puncak utama untuk kembali ke buper Batukuda. Ternyata benar saja tanjakan batu yang dilewati sebelumnya itu sangat curam, beruntung sekali gelapnya malam telah menyembunyikannya. 

Puncak utama Manglayang 1824 mdpl




Hari semakin panas, daun – daun tampak kecoklatan dibakar panasnya matahari kemarau. Kami mempercepat langkah supaya cepat sampai ke buper Batukuda. Dan pukul 11 lebih kami semua tiba di buper Batukuda, setelah beristirahat dan melapor kembali ke pos pendakian, tepat pukul 12 siang kami beranjak meninggalkan buper Batukuda kembali ke rumah masing – masing.

Buper Batukuda



*Sebagian foto diambil dari koleksi foto mang Agus Suga