Wednesday, October 25, 2017

MENJEJAKKAN KAKI DI PUNCAK MANDALAWANGI, MENGUNJUNGI “PERISTIRAHATAN TERAKHIR SANG NINI”

Gunung Mandalawangi berketinggian 1650 mdpl berada di ujung timur kota Bandung, berbatasan langsung dengan kabupaten Garut. Jalur pendakian yang paling umum adalah melalui kampung Cibisoro desa Bojong kecamatan Nagreg yang bisa diakses dari jalan raya Nagreg samping markas Yonif Linud 330 Kostrad, berjarak sekitar 3 km dengan menyusuri jalan beraspal mulus ke arah selatan. Gunung ini menjadi gunung tertinggi di kawasan timur Bandung, sehingga saya pribadi memasukannya ke dalam daftar gunung tertinggi mewakili kawasan timur dalam daftar 7 Summits/ 7S Gunung Bandung melalui pendekatan arah mata angin (Pikiran Rakyat edisi 16 Agustus 2015). Sedangkan kawan – kawan komunitas Jelajah Gunung Bandung memasukkan gunung ini ke dalam daftar 7 Summits Gunung Bandung berdasarkan aspek kesejarahan dengan bertolak dari pembagian wilayah Bandung tempo dulu yang dikenal dengan Tatar Ukur. Tatar Ukur itu sendiri terbagi dalam 9 wilayah yang disebut dengan Ukur Sasanga dan menempatkan gunung Mandalawangi sebagai penanda dari wilayah Ukur Pasirpanjang dalam Ukur Sasanga tadi. Jelajah Gunung Bandung/ JGB kemudian melakukan ekspedisi 7S mendaki gunung – gunung dalam daftar 7S tersebut pada tanggal 17 – 25 Oktober 2015 bertepatan dengan milad kelima komunitas ini.

Gunung Mandalawangi

Pendakian kali ini juga sebagai salah satu agenda dari beberapa kegiatan dalam menyambut milad Jelajah Gunung Bandung/ JGB yang saat ini sudah menginjak usia 7 tahun, sengaja dipilih gunung Mandalawangi sebagai upaya untuk memperkenalkan bahwa gunung di seputaran Bandung itu tidak hanya melulu di kawasan utara dan selatan saja, tetapi di kawasan timur juga memiliki gunung eksotis dan sangat layak untuk dijelajahi, serta untuk kembali mengingatkan kita bahwa gunung ini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya kota Bandung.

Pendakian dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2017, dan start tepat pada  pukul 09.15. Pendakian kali ini melibatkan sekitar 20 peserta. Setelah berdoa bersama tim bergerak menyusuri jalan makadam yang di kanan kirinya terdapat banyak “Lio” atau tempat untuk memproduksi batu bata. Tanah di sekitar lio terlihat berundak, ada yang tinggi, ada yang rendah bahkan sudah lebih rendah dari permukaan jalan, permukaan tanah yang lebih rendah menandakan bahwa material tanah di sekitar situ sudah dieksplorasi untuk dijadikan batu bata. Tak lama berselang kami masuk ke jalur ladang, semakin berjalan ke atas pepohonan semakin rimbun dan memayungi tim yang sudah sedikit kepanasan terpapar sinar matahari, hampir 15 menit kami berjalan dari bibir jalan setapak hingga ke pintu hutan, jalur tidak ada bonus datar dan batu – batu besar terhampar di jalur pendakian, terlihat lebih mirip sungai kering. 





Meskipun jalur masih terlihat jelas, namun tetap pada satu titik kami sempat salah menentukan jalur yang akan dilalui, karena jalur yang asli tertutup rerimbunan pohon bambu, membuat kami akhirnya memilih jalur yang sedikit melambung ke arah kiri jalur sebenarnya, dan jalur ini berakhir tidak jauh dari titik jalur yang tertutup rerimbunan bambu tadi. Dari sini perjalanan seharusnya sedikit diperlambat supaya tidak kembali salah menentukan jalur, namun kami yang bersemangat lupa akan hal tersebut, dan akhirnya kembali harus masuk ke jalur yang salah, karena belokan ke jalur yang sebenarnya tertutup rerimbunan. Penyimpangan jalur kali ini lumayan jauh dan menguras tenaga, kami naik ke punggungan, dan ketika sampai di atas, jalur hilang, sementara jalur yang sebenarnya ternyata di bawah posisi kami saat ini. Alhasil kami harus menuruni lembah serta menerabas rerimbunan, webbing pun dipergunakan untuk mempermudah gerak menuruni lembah yang licin dan lembab, di dasar lembah kami kembali harus naik dengan menerabas untuk kembali ke jalur yang sebenarnya, dan webbing kembali menjadi penolong melewati lembahan ini.





Sekitar pukul 12.30 siang kami baru bisa kembali ke jalur pendakian yang sebenarnya di ketinggian ±1388 m, beristirahat sebentar dan perjalanan pun dilanjutkan kembali karena masih ada sekitar 1,6 km lagi untuk mencapai puncak Mandalawangi. Kami diingatkan kembali untuk jangan meremehkan gunung – gunung Bandung, persoalannya bukan hanya sekedar ketinggian yang tidak seberapa, tetapi samarnya jalur, rapatnya vegetasi serta terjalnya medan menjadi catatan tersendiri yang bisa membuat siapapun tidak akan mudah mendakinya




Target awal mencapai puncak pukul 12 siang tampaknya harus segera direvisi menjadi mencapai puncak secepat mungkin. Jalur pendakian masih menanjak namun tidak securam di awal tadi, pepohonan semakin rimbun, tampak juga pepohonan berbatang raksasa,  berusia puluhan tahun. Target untuk cepat menggapai puncak membuat para leader di depan mempercepat langkah, namun sayangnya langkah mereka tidak terkejar oleh kami yang berada di belakang, kami tercecer menjadi beberapa grup kecil. Sekitar pukul 13.45 kami tiba di sebuah puncakan di ketingian ±1590 m, di sana kami bertemu dengan beberapa pemburu burung, sepertinya sang leader menanyakan arah puncak Nini Ranteng ke pemburu tadi dan mereka menunjuk ke puncakan yang ada di sebelah barat puncak utama, kami juga yang buta jalur mengikuti saja petunjuk yang diberikan oleh pemburu, beruntung tak lama kemudian para leader datang dan menyebut bahwa puncak Nini Ranteng yang dimaksud para pemburu berbeda dengan puncak Nini Ranteng atau puncak utama hasil plotting kawan JGB sebelumnya, setelah sedikit berunding kami memutuskan untuk mengikuti jalur dari tracklog yang mengarah ke puncak tertinggi.




Jalan semakin menanjak, fisik semakin melemah membuat kembali beberapa peserta tercecer, pada pukul 14.00 saya beserta 5 orang kawan akhirnya menginjakkan kaki di puncak Mandalawangi kemudian berturut – turut anggota tim berdatangan, alhamdulillah akhirnya seluruh tim tiba di puncak Mandalawangi. Puncak utama mandalawangi (1650 mdpl) berupa dataran tidak terlalu luas dan tepat di tengahnya terdapat formasi batuan menyerupai makam, yang menurut kawan yang mendaki gunung ini jauh sebelum kami, inilah “makam Nini Ranteng”, bertolak belakang dengan “makam Nini Ranteng” versi pemburu yang merujuk pada puncak berketinggian 1560 m di sebelah barat puncak utama, mungkin saja di “puncak 1560” itu memang terdapat makam, harus didatangi pada kesempatan berikutnya untuk membuktikannya.


Makam Nini Ranteng Puncak Mandalawangi




“Makam Nini Ranteng” awalnya terlihat seperti berada di dalam saung, hanya ketika kami tiba disana, bangunan saung tersebut hanya menyisakan rangkanya saja, juga kain putih yang melilit batang – batang pohon di sekeliling makam yang dijumpai teman – teman tim 7S JGB sudah tidak nampak lagi. Beruntung sekali cuaca selama perjalanan naik cerah sehingga bisa mempermudah langkah kaki menuju puncak, namun meskipun cerah, tetap saja beberapa dari kami terkena serangan pacet, mungkin akibat lingkungan yang sangat lembab karena pepohonan yang rindang membuat sang pacet tidak terganggu oleh cuaca cerah saat itu.  






Segera kami membuka perbekalan dan mengisi perut untuk mengembalikan stamina yang sudah terkuras sejak tadi, 4 orang peserta turun lebih dahulu berhubung waktu yang mereka miliki tidak memungkinkan untuk ikut turun bersama kami. Hampir 1 jam kami berada di puncak Nini Ranteng, rencana turun pukul 16 dan target sampai mesjid kampung Cibisoro saat magrib atau pukul 18.00. setelah berfoto bersama dan berdoa untuk kelancaran kami semua, satu per satu tim meninggalkan “peristirahatan terakhir Nini Ranteng”, puncak utama Mandalawangi.







Pukul 15.40 kami beranjak turun tidak menggunakan jalur semula, tapi mengambil jalur yang sedikit mengarah ke timur, dengan harapan bisa memotong jalur memutar di sekitar tempat bertemu pemburu burung tadi. Entah karena keasyikan menikmati jalur menurun, kami jadi lengah tidak memperhatikan GPS akhirnya berjalan terlalu melenceng ke arah selatan, beruntung kami cepat tersadar. Kami berhenti, melihat peta digital dan berdiskusi, dan diputuskan untuk kembali ke jalur asli dengan cara melipir melintasi 2 punggungan dan 1 lembahan, saat itu kami sudah berjalan sekitar 700 m dan berada di sebuah puncakan di ketinggian 1494 m, dari puncakan kami mencoba untuk terus turun ke arah lembahan di sebelah utara. Namun karena hari semakin sore, apabila diteruskan untuk menerabas membuka jalur, kami tidak tahu akan memakan waktu berapa lama lagi meskipun posisi kami sebenarnya berada tidak begitu jauh dari posisi melenceng di waktu perjalanan naik tadi siang, hanya berjarak ± 200 m saja. Pertimbangan lainnya adalah kami tidak tahu kondisi medan di depan real-nya seperti apa, karena rupa kontur di peta tidak akan sama persis dengan apa yang ada di lapangan, di lembahan dengan kondisi seperti sungai kami takutkan akan dihadang tebing air terjun, atau semak belukar sangat rapat yang sulit ditembus. Maka diputuskanlah kami akan melintasi punggungan ini menuju lembah, kemudian naik lagi ke punggungan berikutnya tempat jalur yang asli berada.

Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.00, alhamdulillah setelah berjalan sekitar 350 m menerabas semak kami sampai juga di jalur yang asli. GPS menunjukkan ketinggian 1478 m, dan masih menyisakan jarak ± 2.8 km lagi untuk mencapai kampung Cibisoro. Segera kami re-grouping, senter – senter dipersiapkan, dan perlahan mulai bergerak menembus hari yang sudah beranjak gelap, jalur yang siang pun terlihat samar membuat kami harus ekstra konsentrasi ketika melewatinya di kegelapan malam, beberapa kali kami melenceng keluar dari jalur. Pukul 17.50 kami  tiba di sebuah dataran, beristirahat sejenak sambil mendiskusikan jalur yang akan ditempuh untuk turun, khususnya di persimpangan tempat tadi melenceng sewaktu naik, dan diputuskan kami akan mengikuti jalur 7S.

Pukul 18.00 perjalanan dilanjutkan, hari telah gelap sempurna, kami berjalan ditemani senter dan tak lama kemudian tiba di persimpangan jalur 7S dan jalur melenceng siang tadi. Kami tidak menyadari bahwa ternyata jalur ini sudah sangat banyak berubah dari semenjak tim 7S melewatinya, sekarang jalur tersebut sudah serupa sungai kering dengan jeram – jeram yang cukup dalam, tidak mungkin rasanya untuk terus memaksakan melewatinya, solusinya adalah dengan melewati pinggirannya. Satu per satu kami pun berjalan di pinggiran “sungai kering” tadi, semakin ke bawah medan semakin curam, webbing pun dipergunakan untuk memperlancar pergerakan. Jalur yang berat dan kondisi fisik yang melemah benar - benar menjadi ujian bagi kami, satu per satu anggota tim menuruni jalur dengan berpegangan pada webbing yang sudah ditambatkan di atas. pukul 19.00 kami semua berhasil melewati jalur sungai dan tiba di sebuah persimpangan dengan area dataran cukup luas, kami beristirahat sejenak sekedar mengendurkan otot kaki yang semakin menegang. Masih tersisa ±2 km lagi untuk mencapai kampung Cibisoro, namun dari sini kerlip lampu pemukiman sudah mulai terlihat, cukup membuat kami sedikit tenang, setelah tim lengkap segera perjalanan dilanjutkan. Jalur berbatu cukup menyiksa namun semangat untuk segera keluar hutan dan kembali ke “peradaban” membuat perjalanan serasa cepat. Pukul 20.15 akhirnya kami keluar pintu hutan, dan tidak lama kemudian masuk ke jalur ladang, dan bertemu jalan makadam. Tepat pukul 20.30 saya dan seluruh tim akhirnya tiba dengan selamat di kampung Cibisoro.

Tracklog

Hari semakin larut membuat kami tidak bisa berlama – lama, terutama saya yang masih harus melanjutkan perjalanan pulang ke Singaparna Tasikmalaya. Saya dan beberapa teman memutuskan untuk pulang duluan, setelah berpamitan kami pun meninggalkan teman – teman yang lain yang masih beristirahat, satu per satu motor beranjak turun meninggalkan kampung Cibisoro yang sudah senyap dalam dekapan malam, dan hari itu Mandalawangi telah memberikan kami banyak cerita, pengetahuan dan pengalaman berharga untuk kami bawa pulang.