Gunung Mandalawangi
berketinggian 1650 mdpl berada di ujung timur kota Bandung, berbatasan langsung
dengan kabupaten Garut. Jalur pendakian yang paling umum adalah melalui
kampung Cibisoro desa Bojong kecamatan Nagreg yang bisa diakses dari jalan raya
Nagreg samping markas Yonif Linud 330 Kostrad, berjarak sekitar 3 km dengan
menyusuri jalan beraspal mulus ke arah selatan. Gunung ini menjadi gunung
tertinggi di kawasan timur Bandung, sehingga saya pribadi memasukannya ke dalam
daftar gunung tertinggi mewakili kawasan timur dalam daftar 7 Summits/ 7S Gunung Bandung melalui
pendekatan arah mata angin (Pikiran Rakyat edisi 16 Agustus 2015). Sedangkan
kawan – kawan komunitas Jelajah Gunung Bandung memasukkan gunung ini ke dalam daftar
7 Summits Gunung Bandung berdasarkan
aspek kesejarahan dengan bertolak dari pembagian wilayah Bandung tempo dulu yang
dikenal dengan Tatar Ukur. Tatar Ukur itu sendiri terbagi dalam 9 wilayah yang disebut dengan Ukur
Sasanga dan menempatkan gunung Mandalawangi sebagai penanda dari wilayah Ukur
Pasirpanjang dalam Ukur Sasanga tadi. Jelajah Gunung Bandung/ JGB kemudian melakukan ekspedisi 7S mendaki
gunung – gunung dalam daftar 7S tersebut pada tanggal 17 – 25 Oktober 2015
bertepatan dengan milad kelima komunitas ini.
Gunung Mandalawangi |
Pendakian kali ini juga
sebagai salah satu agenda dari beberapa kegiatan dalam menyambut milad Jelajah Gunung
Bandung/ JGB yang saat ini sudah menginjak usia 7 tahun, sengaja dipilih gunung
Mandalawangi sebagai upaya untuk memperkenalkan bahwa gunung di seputaran Bandung
itu tidak hanya melulu di kawasan utara dan selatan saja, tetapi di kawasan
timur juga memiliki gunung eksotis dan sangat layak untuk dijelajahi, serta untuk
kembali mengingatkan kita bahwa gunung ini telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari sejarah berdirinya kota Bandung.
Pendakian dilaksanakan
pada tanggal 1 Oktober 2017, dan start
tepat pada pukul 09.15. Pendakian kali
ini melibatkan sekitar 20 peserta. Setelah berdoa bersama tim bergerak
menyusuri jalan makadam yang di kanan kirinya terdapat banyak “Lio” atau tempat
untuk memproduksi batu bata. Tanah di sekitar lio terlihat berundak, ada yang
tinggi, ada yang rendah bahkan sudah lebih rendah dari permukaan jalan,
permukaan tanah yang lebih rendah menandakan bahwa material tanah di sekitar
situ sudah dieksplorasi untuk dijadikan batu bata. Tak lama berselang kami
masuk ke jalur ladang, semakin berjalan ke atas pepohonan semakin rimbun dan
memayungi tim yang sudah sedikit kepanasan terpapar sinar matahari, hampir 15 menit
kami berjalan dari bibir jalan setapak hingga ke pintu hutan, jalur tidak ada
bonus datar dan batu – batu besar terhampar di jalur pendakian, terlihat lebih mirip
sungai kering.
Meskipun jalur masih terlihat jelas, namun tetap pada satu titik
kami sempat salah menentukan jalur yang akan dilalui, karena jalur yang asli
tertutup rerimbunan pohon bambu, membuat kami akhirnya memilih jalur yang
sedikit melambung ke arah kiri jalur sebenarnya, dan jalur ini berakhir tidak
jauh dari titik jalur yang tertutup rerimbunan bambu tadi. Dari sini perjalanan
seharusnya sedikit diperlambat supaya tidak kembali salah menentukan jalur,
namun kami yang bersemangat lupa akan hal tersebut, dan akhirnya kembali harus
masuk ke jalur yang salah, karena belokan ke jalur yang sebenarnya tertutup
rerimbunan. Penyimpangan jalur kali ini lumayan jauh dan menguras tenaga, kami
naik ke punggungan, dan ketika sampai di atas, jalur hilang, sementara jalur
yang sebenarnya ternyata di bawah posisi kami saat ini. Alhasil kami harus menuruni
lembah serta menerabas rerimbunan, webbing
pun dipergunakan untuk mempermudah gerak menuruni lembah yang licin dan lembab,
di dasar lembah kami kembali harus naik dengan menerabas untuk kembali ke jalur
yang sebenarnya, dan webbing kembali
menjadi penolong melewati lembahan ini.
Sekitar pukul 12.30
siang kami baru bisa kembali ke jalur pendakian yang sebenarnya di ketinggian ±1388
m, beristirahat sebentar dan perjalanan pun dilanjutkan kembali karena masih ada
sekitar 1,6 km lagi untuk mencapai puncak Mandalawangi. Kami diingatkan kembali
untuk jangan meremehkan gunung – gunung Bandung, persoalannya bukan hanya
sekedar ketinggian yang tidak seberapa, tetapi samarnya jalur, rapatnya vegetasi
serta terjalnya medan menjadi catatan tersendiri yang bisa membuat siapapun
tidak akan mudah mendakinya
Target awal mencapai
puncak pukul 12 siang tampaknya harus segera direvisi menjadi mencapai puncak
secepat mungkin. Jalur pendakian masih menanjak namun tidak securam di awal
tadi, pepohonan semakin rimbun, tampak juga pepohonan berbatang raksasa, berusia puluhan tahun. Target untuk cepat
menggapai puncak membuat para leader
di depan mempercepat langkah, namun sayangnya langkah mereka tidak terkejar
oleh kami yang berada di belakang, kami tercecer menjadi beberapa grup kecil.
Sekitar pukul 13.45 kami tiba di sebuah puncakan
di ketingian ±1590 m, di sana kami bertemu dengan beberapa pemburu burung,
sepertinya sang leader menanyakan
arah puncak Nini Ranteng ke pemburu tadi dan mereka menunjuk ke puncakan yang
ada di sebelah barat puncak utama, kami juga yang buta jalur mengikuti saja
petunjuk yang diberikan oleh pemburu, beruntung tak lama kemudian para leader datang dan menyebut bahwa puncak Nini
Ranteng yang dimaksud para pemburu berbeda dengan puncak Nini Ranteng atau
puncak utama hasil plotting kawan JGB
sebelumnya, setelah sedikit berunding kami memutuskan untuk mengikuti jalur
dari tracklog yang mengarah ke puncak
tertinggi.
Jalan semakin menanjak,
fisik semakin melemah membuat kembali beberapa peserta tercecer, pada pukul 14.00
saya beserta 5 orang kawan akhirnya menginjakkan kaki di puncak Mandalawangi
kemudian berturut – turut anggota tim berdatangan, alhamdulillah akhirnya
seluruh tim tiba di puncak Mandalawangi. Puncak utama mandalawangi (1650 mdpl)
berupa dataran tidak terlalu luas dan tepat di tengahnya terdapat formasi
batuan menyerupai makam, yang menurut kawan yang mendaki gunung ini jauh
sebelum kami, inilah “makam Nini Ranteng”, bertolak belakang dengan “makam Nini
Ranteng” versi pemburu yang merujuk pada puncak berketinggian 1560 m di sebelah
barat puncak utama, mungkin saja di “puncak 1560” itu memang terdapat makam,
harus didatangi pada kesempatan berikutnya untuk membuktikannya.
Makam Nini Ranteng Puncak Mandalawangi |
“Makam Nini Ranteng” awalnya terlihat seperti berada di dalam saung, hanya ketika kami tiba disana, bangunan saung tersebut hanya menyisakan rangkanya saja, juga kain putih yang melilit batang – batang pohon di sekeliling makam yang dijumpai teman – teman tim 7S JGB sudah tidak nampak lagi. Beruntung sekali cuaca selama perjalanan naik cerah sehingga bisa mempermudah langkah kaki menuju puncak, namun meskipun cerah, tetap saja beberapa dari kami terkena serangan pacet, mungkin akibat lingkungan yang sangat lembab karena pepohonan yang rindang membuat sang pacet tidak terganggu oleh cuaca cerah saat itu.
Segera kami membuka perbekalan dan mengisi perut untuk mengembalikan stamina yang sudah terkuras sejak tadi, 4 orang peserta turun lebih dahulu berhubung waktu yang mereka miliki tidak memungkinkan untuk ikut turun bersama kami. Hampir 1 jam kami berada di puncak Nini Ranteng, rencana turun pukul 16 dan target sampai mesjid kampung Cibisoro saat magrib atau pukul 18.00. setelah berfoto bersama dan berdoa untuk kelancaran kami semua, satu per satu tim meninggalkan “peristirahatan terakhir Nini Ranteng”, puncak utama Mandalawangi.
Pukul 15.40 kami beranjak
turun tidak menggunakan jalur semula, tapi mengambil jalur yang sedikit mengarah
ke timur, dengan harapan bisa memotong jalur memutar di sekitar tempat bertemu
pemburu burung tadi. Entah karena keasyikan menikmati jalur menurun, kami jadi
lengah tidak memperhatikan GPS akhirnya berjalan terlalu melenceng ke arah selatan, beruntung kami cepat tersadar. Kami berhenti, melihat
peta digital dan berdiskusi, dan diputuskan untuk kembali ke jalur asli dengan
cara melipir melintasi 2 punggungan dan 1 lembahan, saat itu kami sudah berjalan
sekitar 700 m dan berada di sebuah puncakan di ketinggian 1494 m, dari puncakan
kami mencoba untuk terus turun ke arah lembahan di sebelah utara. Namun karena
hari semakin sore, apabila diteruskan untuk menerabas membuka jalur, kami tidak
tahu akan memakan waktu berapa lama lagi meskipun posisi kami sebenarnya berada
tidak begitu jauh dari posisi melenceng di waktu perjalanan naik tadi siang,
hanya berjarak ± 200 m saja. Pertimbangan lainnya adalah kami tidak tahu
kondisi medan di depan real-nya
seperti apa, karena rupa kontur di peta tidak akan sama persis dengan apa yang
ada di lapangan, di lembahan dengan kondisi seperti sungai kami takutkan akan
dihadang tebing air terjun, atau semak belukar sangat rapat yang sulit ditembus.
Maka diputuskanlah kami akan melintasi punggungan ini menuju lembah, kemudian
naik lagi ke punggungan berikutnya tempat jalur yang asli berada.
Saat itu waktu sudah
menunjukkan pukul 17.00, alhamdulillah setelah berjalan sekitar 350 m menerabas
semak kami sampai juga di jalur yang asli. GPS menunjukkan ketinggian 1478 m, dan masih menyisakan
jarak ± 2.8 km lagi untuk mencapai kampung Cibisoro. Segera kami re-grouping, senter – senter
dipersiapkan, dan perlahan mulai bergerak menembus hari yang sudah beranjak
gelap, jalur yang siang pun terlihat samar membuat kami harus ekstra
konsentrasi ketika melewatinya di kegelapan malam, beberapa kali kami melenceng
keluar dari jalur. Pukul 17.50 kami tiba di sebuah dataran, beristirahat sejenak
sambil mendiskusikan jalur yang akan ditempuh untuk turun, khususnya di
persimpangan tempat tadi melenceng sewaktu naik, dan diputuskan kami akan
mengikuti jalur 7S.
Pukul 18.00 perjalanan
dilanjutkan, hari telah gelap sempurna, kami berjalan ditemani senter dan tak
lama kemudian tiba di persimpangan jalur 7S dan jalur melenceng siang tadi. Kami
tidak menyadari bahwa ternyata jalur ini sudah sangat banyak berubah dari semenjak
tim 7S melewatinya, sekarang jalur tersebut sudah serupa sungai kering dengan
jeram – jeram yang cukup dalam, tidak mungkin rasanya untuk terus memaksakan
melewatinya, solusinya adalah dengan melewati pinggirannya. Satu per satu kami
pun berjalan di pinggiran “sungai kering” tadi, semakin ke bawah medan semakin
curam, webbing pun dipergunakan untuk
memperlancar pergerakan. Jalur yang berat dan kondisi fisik yang melemah benar
- benar menjadi ujian bagi kami, satu per satu anggota tim menuruni jalur
dengan berpegangan pada webbing yang
sudah ditambatkan di atas. pukul 19.00 kami semua berhasil melewati jalur
sungai dan tiba di sebuah persimpangan dengan area dataran cukup luas, kami
beristirahat sejenak sekedar mengendurkan otot kaki yang semakin menegang.
Masih tersisa ±2 km lagi untuk mencapai kampung Cibisoro, namun dari sini
kerlip lampu pemukiman sudah mulai terlihat, cukup membuat kami sedikit tenang,
setelah tim lengkap segera perjalanan dilanjutkan. Jalur berbatu cukup menyiksa
namun semangat untuk segera keluar hutan dan kembali ke “peradaban” membuat
perjalanan serasa cepat. Pukul 20.15 akhirnya
kami keluar pintu hutan, dan tidak lama kemudian masuk ke jalur ladang, dan bertemu jalan makadam. Tepat
pukul 20.30 saya dan seluruh tim akhirnya
tiba dengan selamat di kampung Cibisoro.
Tracklog |
Hari semakin larut
membuat kami tidak bisa berlama – lama, terutama saya yang masih harus
melanjutkan perjalanan pulang ke Singaparna Tasikmalaya. Saya dan beberapa
teman memutuskan untuk pulang duluan, setelah berpamitan kami pun meninggalkan
teman – teman yang lain yang masih beristirahat, satu per satu motor beranjak
turun meninggalkan kampung Cibisoro yang sudah senyap dalam dekapan malam, dan hari
itu Mandalawangi telah memberikan kami banyak cerita, pengetahuan dan
pengalaman berharga untuk kami bawa pulang.